Program KKN Sarah tidak berakhir dengan laporan tebal, melainkan dengan ijab kabul kilat bersama Andi Kerrang, juragan muda desa yang sigap menolongnya dari insiden nyaris nyungsep ke sawah. Setelah badai fitnah dari saingan desa terlewati, sang mahasiswi resmi menyandang status Istri Juragan.
Tetapi, di balik selimut kamar sederhana, Juragan Andi yang berwibawa dibuat kewalahan oleh kenakalan ranjang istrinya!
Sarah, si mahasiswi kota yang frontal dan seksi, tidak hanya doyan tapi juga sangat inisiatif.
"Alis kamu tebel banget sayang. Sama kayak yang di bawah, kamu ga pernah cukur? mau bantu cukurin ga? nusuk-nusukan banget enak tapi ya sakit."
"Jangan ditahan, cepetin keluarnya," bisiknya manja sambil bergerak kuat dan dalam.
Saksikan bagaimana Andi menahan desah dan suara derit kasur, sementara Sarah—si malaikat kecil paling liar—terus menggodanya dengan obrolan nakal dan aksi ngebor yang menghangatkan suasana.
Ini bukan sekadar cerita KKN, tapi yuk ikuti kisah mereka !!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Azzahra rahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah yang Tak Bisa Lagi Ditunda
Hari itu desa ramai oleh acara kerja bakti bersih-bersih balai desa. Semua warga turun tangan: ibu-ibu menyiapkan konsumsi, bapak-bapak mencangkul tanah, pemuda mengecat dinding. Rombongan KKN pun ikut serta, Sarah dan teman-temannya membantu membuat mural di tembok luar.
Di tengah suasana riuh itu, Bayu datang dengan gaya percaya diri. Ia membawa beberapa kaleng cat baru dan langsung menghampiri Sarah.
“Sarah, ini cat tambahan. Aku pikir kamu butuh warna cerah buat muralnya,” katanya sambil tersenyum lebar.
“Oh, iya. Terima kasih, Mas Bayu,” jawab Sarah sopan.
Bayu tidak berhenti di situ. Ia mengambil kuas dan berdiri tepat di samping Sarah, ikut mengecat. Gerakannya sengaja didekatkan, bahkan sesekali tangannya hampir menyentuh tangan Sarah.
Warga yang melihat hanya bisa saling melirik. Rani yang memperhatikan dari jauh mendengus kesal. “Aduh, ini Bayu makin nekat.”
Sarah sendiri mulai merasa risih, tapi ia tak tahu bagaimana menolak tanpa menyinggung. “Mas, biar saya aja. Mas Bayu bisa bantu yang lain.”
“Enggak apa-apa, Sarah. Aku senang bisa bantu kamu langsung,” jawab Bayu tanpa malu.
Tak jauh dari sana, Andi berdiri memperhatikan. Wajahnya tegang, dadanya sesak. Ia melihat jelas bagaimana Bayu dengan mudah mendekati Sarah, membuat warga berspekulasi lebih jauh.
Seorang bapak menepuk pundaknya. “Ndik, kalau kamu diam saja, bisa-bisa Sarah direbut orang.”
Andi hanya terdiam, tapi hatinya bergolak.
Siang menjelang, saat makan bersama di balai desa, Bayu kembali membuat gerakan mencolok. Ia dengan sigap mengambilkan air minum untuk Sarah, bahkan menyodorkan piring nasi langsung ke tangannya.
“Sarah, makan yang banyak ya. Kamu pasti capek.”
“Terima kasih, Mas,” jawab Sarah pelan.
Tapi kali ini Andi tak tahan lagi. Ia berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekat dengan wajah serius. Suasana mendadak hening saat ia berkata, “Sarah, sini duduk di dekatku saja. Biar aku yang jagain.”
Semua mata seketika tertuju pada mereka. Bayu terperanjat, Sarah bingung, dan warga menahan napas. Rani sampai hampir tersedak menahan tawa melihat keberanian mendadak Andi.
Sarah menatap Andi ragu. “Mas, nggak usah repot—”
“Ayo,” potong Andi tegas, tapi nadanya tetap lembut.
Akhirnya, dengan wajah memerah, Sarah menurut. Ia pindah duduk di dekat Andi. Bayu hanya bisa terdiam, genggaman tangannya pada gelas air mengepal kuat.
Setelah acara usai, gosip baru langsung beredar.
“Wah, Mas Andi akhirnya berani juga.”
“Bayu kayaknya nggak senang, tuh.”
“Sarah jadi rebutan dua pemuda desa. Seru, ya.”
Sarah sendiri merasa canggung luar biasa. Di posko, ia menghela napas panjang. “Ran, aku malu banget. Semua orang lihat.”
Rani justru terkikik. “Malu apanya, Sar? Justru bagus. Itu bukti kalau Mas Andi serius. Bayu nggak bisa main-main lagi.”
Sarah menutup wajah dengan kedua tangan. Hatinya berdebar keras, bukan hanya karena malu, tapi juga karena kalimat Rani ada benarnya.
Malam itu, Andi duduk di rumahnya. Ayah dan ibunya menatapnya penuh arti.
“Ibu dengar kamu tadi ngajak Sarah duduk di dekatmu. Bagus, Ndik. Kalau memang serius, jangan ragu lagi,” kata ibunya.
Ayahnya menambahkan, “Jangan biarkan Bayu bikin ribut. Kalau kamu nggak bergerak, bisa jadi Sarah berpaling. Ingat, umurmu juga sudah cukup. Jangan tunggu lama-lama.”
Andi menatap mereka dengan sorot mata mantap. “Baik, Bu, Pak. Aku akan bicara dengan Sarah. Aku nggak bisa lagi cuma diam.”
Keesokan harinya, kesempatan datang. Sarah sedang sendirian di posko, merapikan buku untuk mengajar. Andi datang, membawa sebungkus roti dari rumahnya.
“Sarah,” panggilnya pelan.
Sarah menoleh, sedikit gugup. “Mas Andi… ada apa?”
Andi duduk di kursi bambu, wajahnya serius. “Aku minta maaf kalau sikapku kemarin bikin kamu malu. Tapi aku nggak bisa lagi pura-pura. Aku memang peduli sama kamu, Sarah. Lebih dari sekadar peduli.”
Sarah terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak menyangka Andi akan sejujur itu.
“Mas… jangan bicara sembarangan. Kita di sini untuk KKN. Kalau orang dengar—”
“Aku tahu,” potong Andi. “Tapi justru karena itu aku bicara sekarang. Aku nggak mau orang lain menganggapmu bisa diperebutkan seenaknya. Aku ingin kamu tahu, aku sungguh-sungguh.”
Matanya menatap dalam ke arah Sarah, membuat gadis itu salah tingkah. Ia tak bisa mengelak dari ketulusan yang terpancar.
Namun sebelum percakapan bisa berlanjut, Bayu tiba-tiba muncul di depan posko. “Sarah!” panggilnya.
Sarah dan Andi terkejut. Bayu berjalan masuk dengan langkah cepat, wajahnya penuh emosi.
“Aku mau bicara. Aku nggak suka cara Mas Andi kemarin di balai desa. Kamu bikin seolah-olah Sarah cuma milikmu.”
Andi berdiri, menatap Bayu dengan tenang tapi tajam. “Kalau kamu benar-benar peduli, buktikan dengan perbuatan, bukan cuma kata-kata. Sarah berhak memilih, bukan jadi bahan rebutan.”
Suasana mendadak tegang. Sarah merasa terhimpit di antara dua lelaki yang sama-sama menunjukkan rasa.
Bayu melirik Sarah. “Sarah, kamu tahu kan aku tulus. Aku ingin serius sama kamu.”
Andi menambahkan dengan suara mantap, “Dan aku juga. Bedanya, aku nggak cuma ngomong.”
Sarah terdiam. Ia ingin lari dari situasi itu, tapi hatinya tak bisa menyangkal—Andi yang selama ini diam-diam menjaga justru menunjukkan keberanian yang berbeda.
Setelah Bayu pergi dengan wajah kesal, Sarah akhirnya menatap Andi. “Mas… kenapa harus begini? Aku jadi bingung.”
Andi menarik napas dalam. “Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku. Aku nggak mau lagi sembunyi. Kalau kamu merasa risih, aku akan mundur. Tapi kalau kamu… sedikit saja punya rasa yang sama, aku akan berjuang.”
Kalimat itu membuat Sarah menunduk, pipinya merah. Ia tak langsung menjawab, tapi senyumnya yang samar sudah cukup memberi tanda.
Malamnya, gosip desa makin meledak. “Mas Andi dan Bayu hampir ribut soal Sarah!” Tapi di balik gosip itu, ada satu hal yang pasti: Andi akhirnya berani menunjukkan keseriusannya, dan langkah itu membuat banyak orang mulai melihat bahwa ia tak main-main.
Sarah di kamarnya memeluk bantal, wajahnya panas. Kata-kata Andi terus terngiang: “Aku akan berjuang.”
Dan untuk pertama kalinya, Sarah tak bisa lagi menutup-nutupi. Ada bagian dalam dirinya yang diam-diam berharap Andi benar-benar menepati janjinya.