Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam lama
Di tempat lain, Xuan Ying’er tampak sangat berantakan. Meridian di seluruh tubuhnya perlahan-lahan rusak, dan ekspresinya benar-benar berbeda dari dirinya yang biasa ceria dan menawan.
Kini, matanya dipenuhi keputusasaan, hanya bertahan berkat kemauannya yang kuat. Tubuhnya terhuyung-huyung, sementara tangannya masih menggenggam erat token komunikasi yang retak. Hanya satu pikiran berputar di dalam benaknya—Melarikan diri...dan menemukan seseorang yang mau menolongnya.
Selangkah demi selangkah, saat pandangannya mulai kabur, dia menggigit lidahnya berulang kali untuk tetap sadar. Waktu seolah berjalan lambat. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh sudah lama tak ia rasakan; hanya sisa dorongan naluri untuk hidup yang membuatnya terus berlari.
“Apakah aku hanya bisa melarikan diri seperti ini…? Bagaimana dengannya…?” Bibirnya kering dan pecah-pecah, jemarinya gemetar menggenggam token itu erat, seolah itu sebuah harapan.
Selama empat tahun ini, dia menyadari token komunikasi hanya berfungsi pada jarak tertentu. Ketika akhirnya terhubung dengan saudarinya, malah semuanya terlambat
Dalam pikirannya, mengalahkan musuh di ranah yang sama seharusnya bukan masalah besar. Namun, energi hitam yang digunakan pihak lawan begitu mengerikan—dingin, korosif, dan mampu mencemari energi spiritual.
Ting!
Sebuah cahaya lembut akhirnya menyala di token komunikasi itu. Mata Xuan Ying’er seketika memancarkan secercah kelegaan. Ia segera bersembunyi di balik batu besar, lalu dengan paksa mengalirkan sisa energi spiritualnya, berharap pesan itu bisa terkirim.
“Adik Lanxing… apakah itu kamu? Cepat kemari… Saudari Zhao dalam bahaya. Aku mohon, selamatkan dia. Aku sudah mengirimkan perkiraan lokasinya… cepat, selamatkan dia” Begitu pesan suara terkirim, tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Air mata mengalir di wajahnya yang berlumuran darah, membasahi salju kasar di bawahnya.
Meski dia suka membuat masalah, Zhao Lixue selalu memperlakukannya dengan tulus, tanpa pernah mengeluh sedikit pun.
“Kakak Zhao… semoga kamu bisa bertahan…”Bisikan terakhir dari bibirnya, sebelum akhirnya terjatuh dan pingsan.
-----
Di atas perahu kecil yang sederhana, Zhang Hao fokus mengendalikan kemudi agar tetap stabil. Sesekali, ia harus mengorbankan batu spiritual miliknya lagi dan lagi.
Sementara itu, di ujung haluan, Mu Lanxing berdiri tenang menatap hamparan salju. Rambut panjangnya bertiup lembut angin utara, sorot matanya setenang air, seolah dirinya selaras dengan musim dingin.
“Token di pinggangmu bergetar, sepertinya itu sebuah pesan” kata Zhang Hao dengan tatapan iri.
Mu Lanxing menunduk. Sebuah sinar lembut melintas di matanya ketika ia menyalurkan kesadarannya ke token itu. Namun sesaat kemudian, aura dingin menyembur dari tubuhnya.
“Ke barat,” ujarnya. “Aku harus membunuh mereka semua.”
Zhang Hao tersentak. Ia menelan ludah dan segera menggerakkan kendali perahu dengan hati-hati. Energi spiritual berputar liar di sekeliling mereka, mendorong kapal menembus kabut salju dengan kecepatan tinggi.
Mu Lanxing melangkah mendekati Zhang Hao yang berusaha agar tidak membuat kesalahan.
“Pelajari ini. Nanti ikuti instruksi dariku.”
Cahaya biru muda keluar dari ujung jarinya, masuk ke dalam dahi Zhang Hao. Gelombang informasi membanjiri pikirannya.
“Langkah Awan…” gumam Zhang Hao pelan. Bukankah ini teknik milik sekte? Kenapa dia memberikannya begitu saja?bagaimana kalau jadi masalah?Namun ia tidak berani bertanya. Ia hanya menggertakkan gigi dan mulai memahami teknik itu.
Lima belas menit kemudian.
Enam sosok terlihat di tengah kekacauan, bahkan masih ada bekas darah yang belum terkubur oleh salju. Satu orang bertahan mati-matian di bawah perisai spiritual yang sudah retak, sementara lima lainnya terus melancarkan serangan bergelombang, menunggu saat di mana mereka kehabisan energi.
Di langit, Mu Lanxing telah mengambil alih kendali. Aura dingin memancar liar dari tubuhnya, membekukan udara di sekitarnya. Tatapannya tajam dan penuh dendam—penghinaan masa lalu masih terukir jelas di hatinya.
Tanpa sedikitpun ragu, dia melesat turun dengan kecepatan tinggi.
“Setelah aku menabrakkan kapal ini, kau segera rampas semua harta mereka, lalu kabur dan cari Xuan Ying’er di tepi hutan,” ujarnya dengan nada setajam es. “Sepuluh detik, cukup?”
Zhang Hao menelan ludah dan mengangguk cepat. Ia tahu betul—jika menolak, nyawanya bisa melayang sebelum sempat bicara. Selain dua teknik utamanya, yang tersisa hanyalah belati dan langkah awan yang belum sepenuhnya dikuasai.
Di bawah sana, kelima individu itu menatap perjuangan target dengan senyum sinis. Mereka mungkin telah kehilangan Dewi Es dari Sekte Roh Awan, tapi menangkap putri kedua masih cukup untuk menebus kegagalan itu. Kali ini mereka jauh lebih berhati-hati dan tak ingin target mereka menghilang dan mati seperti sebelumnya.
“Kau yakin dia masih punya energi tersisa?” tanya salah satu dari lima individu itu dengan nada ragu. Individu yang masih menutupi wajahnya menoleh, memutar tombak, lalu sebuah sinar merah mengarah ke perisai. Dia menatap perisai spiritual yang bergetar.
“Hmph, lihat saja, paling lama setengah jam” jawab individu lain, bibirnya tersenyum mengejek.“Aku tidak tahu kenapa tuan ingin menangkap mereka hidup-hidup.”
“Jangan terlalu santai,” sela seorang pria dengan tongkat seram di tangannya, suaranya dalam. “Lihat langit berubah merah... seperti sesuatu sedang mendekat.”
“Hah? Mendekat?” Salah satu dari mereka terkekeh. “Langit selalu biru mana mungkin ada meteorkan….hahaha”
Tawanya itu terhenti seketika.
Langit yang semula biru kini berubah merah gelap. Awan bergulung, terbakar dari dalam.
“Ini… bukan kelahiran harta karun kan,” gumam pria dengan tongkat seram, pupil matanya menyempit. “Seseorang… sedang turun dari langit!”
Dari kejauhan, cahaya menyala—seperti meteor merah menembus awan, menimbulkan gemuruh yang membuat udara bergetar. Di balik cahaya itu, tampak kapal terbang kecil berlapis api, menukik tajam dan langsung mengarah ke perisai yang dibuat target mereka.
“Sialan, kenapa dia ingin membunuh putri ketua sekte roh awan. Cepat lindungi dia! kita tidak bisa membiarkannya mati. Jika tidak tuan pasti akan murka, kita sudah kehilangan dewi es itu. Ini kesempatan kita” sahut pria dengan tombak.
“Kalian berempat lindungi dia” kata pria dengan tongkat seram. “Aku akan menahan orang yang turun tadi.”
Mereka berlima bertindak sesuai instruksi. Empat lainnya, langsung membuat perisai tambahan untuk melindungi target mereka atau setidaknya dia dalam keadaan hidup.
Ledakan!
Suara ledakan antara meteor kapal dan perisai menimbulkan gelombang ke segala arah. udara panas ekstrim mulai melelehkan salju di sekitar.
Sedangkan, Zhao Lixue berusaha memperkuat pelindung dengan sekuat tenaga. Dia bingung apakah harus menerima kematian atau dibawa oleh kelima individu ini hidup-hidup.
“Sudah empat tahun, akhirnya aku menemukan Ying’er. Tapi bagaimana dengan Lanxing. apakah dia mati seperti yang dikatakan mereka.” gumamnya dalam hati.
“Tidak aku ingin hidup….aku harus menemukan dalangnya. Aku harus membunuh mereka semua” suaranya lemah namun tajam. Dengan tekadnya, kekuatan spiritual tersisa mengalir ke dalam perisai. Lambat laun mulai menipis dan akhirnya tidak bisa menahan gelombang panas menerpa. Namun sebelum menyentuhnya, tubuhnya dibungkus oleh lapisan demi lapisan es dan akhirnya dia terkurung dalam sebuah bola es sembilan lapis.
Dalam formasi pertahanan, empat individu terkejut dan langsung membatalkan formasi membiarkan meteor itu menabrak bola es yang didalamnya ada Zhao Lixue.
Sedangkan, di dalam bola es. Zhao Lixue terkejut, lalu tersenyum lebar. Dia tahu betul di bawah alam istana ilahi, murid pribadi ibunya tak terkalahkan. Namun ketika memikirkan energi hitam yang korosif, ekspresi berubah drastis. Dia dengan panik berharap bisa memberikan peringatan tapi lapisan es kusam menghalangi pandangannya.
-----
Di tempat lain, Mu Lanxing mendarat dengan anggun di hamparan salju. Dia menoleh ke arah tabrakan, lalu menghela nafas.
Kemudian, pandangannya mengarah ke satu individu dengan tongkat seram di tangannya yang mendekat dengan kecepatan tinggi.
“Aku sudah menunggumu” kata Mu Lanxing dengan dingin. Dia mengeluarkan pedang, niat membunuh yang selama ini ia tekan keluar sepenuhnya
“Tidak mungkin…kamu dewi es—Mu Lanxing!? kamu masih hidup” suara keterkejutan terdengar jelas dari nadanya. Dia tahu betul kemampuan senjata miliknya sangat sensitif dengan aura kehidupan. Bahkan formasi tingkat tinggi tidak bisa menghalangi kemampuan senjata yang sangat ia banggakan.
Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
“Jadi bagaimana kalau kau masih hidup?” katanya dengan nada menggoda namun getir. “Bagaimanapun juga, kultivasi kita ditekan di tempat ini, aku masih bisa menebus kesalahan empat tahun lalu!”
Seketika, belasan tengkorak spiritual muncul dan melesat menuju Mu Lanxing. Namun sebelum sempat menyentuhnya, tengkorak-tengkorak itu membeku, lalu hancur berkeping-keping.
“Hanya itu?” kata Mu Lanxing, nada suaranya datar.
“Tidak mungkin… kenapa auramu masih stabil?!” teriak pria itu panik, matanya membelalak tidak percaya. Ia menghentakkan tongkat hitam di tangannya, memanggil puluhan bahkan ratusan tengkorak baru. Mereka meluncur seperti badai maut, namun hasilnya sama. Satu per satu membeku di udara dan hancur menjadi debu es sebelum menyentuhnya.
Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia mundur selangkah, tapi tiba-tiba menabrak lapisan tipis tak kasatmata yang mengurungnya.
Dari depan, Mu Lanxing berjalan perlahan, langkahnya tenang namun membawa tekanan luar biasa. Aura di sekelilingnya berubah menjadi dingin, tajam, dan tak terhindarkan. Sebagai respon, tongkat di tangan pria itu menyala, mengeluarkan asap hitam pekat yang membentuk lapisan pelindung di sekelilingnya.
Dalam konfrontasi, aura hitam mulai menelan aura dingin, menjadikan miliknya. Energi hitam itu seperti api, sedangkan aura spiritual milik Mu Lanxing sebagai bahan bakar yang membuat api itu membesar.
"Jadi seperti itu, ini sejenis energi kematian yang sangat korosif….menarik ” gumam Mu Lanxing, langkahnya terhenti, lalu memikirkan sesuatu. Seketika, auranya sedingin es miliknya dilapisi warna kehijauan yang langsung bertabrakan dengan energi hitam.
“Aku tidak suka darah,” kata Mu Lanxing lirih.“Jadi matilah membeku. Adapun jalang itu…” senyumnya menipis, “akan menyusul segera.”
Kemudian udara dingin dalam radius seratus meter meluncur ke arah pria itu dengan ganas.
Pria itu hanya sempat menjerit setengah sebelum seluruh tubuhnya mulai membatu, dimulai dari kulit, menjalar ke pembuluh darah, lalu organ dalam. Dalam hitungan detik, ia berubah menjadi patung es sempurna, wajahnya membeku dalam ekspresi ngeri dan tak percaya.
Mu Lanxing berjalan mendekat. Dengan sentuhan ringan di ujung jarinya, patung es di hadapannya mulai retak halus, lalu pecah menjadi butiran kristal yang jatuh dan menyatu dengan salju di bawah kakinya.
Ia menatap sisa serpihan itu sejenak, kemudian mendesah pelan.
“Harusnya aku mengambil harta mereka terlebih dahulu,” gumamnya sambil memutar pandangan, mengingat wajah pria bodoh itu.
Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh, Mu Lanxing tiba-tiba menoleh tajam ke arah lain. Tatapannya berubah serius, auranya berguncang halus.
“Lapisan kelima sudah hancur,” katanya pelan, namun nada suaranya tajam. “Aku harus segera menyelamatkan Kakak Zhao.”
Tanpa ragu, tubuhnya melesat meninggalkan jejak kabut dingin di udara. Dalam sekejap, sosoknya sudah menembus kabut putih dan muncul di atas tempat lain.
“Apakah kalian sudah selesai?” suara dingin Mu Lanxing bergema di udara.
Empat individu itu serempak menoleh ke atas. Mata mereka melebar. Tak ada tanda-tanda kehadiran sebelumnya, bahkan sedikit pun fluktuasi aura tidak terasa.
Salah satu dari mereka bergumam lirih, “Bagaimana mungkin… aku bahkan tidak merasakan kehadirannya”
Mu Lanxing melayang tenang di udara, tenang namun aura dinginnya sangat mematikan. Melihat mereka terdiam, ia menghela napas kecil.
“Aku akan memberi kalian lima menit lagi,” ucapnya tenang. “Apakah itu cukup?”
Ia perlahan menurunkan tubuhnya, mendarat di atas tanah bersalju dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Aura dingin mulai merembes keluar dari kakinya.
Suasana menjadi sunyi. Hanya suara angin yang berputar di antara kabut dingin. Empat individu itu saling berpandangan, lalu salah satu diantaranya menatap dengan tajam.
“Kau dewi es, Mu Lanxing?” ucap pria itu dengan keterkejutan. Aura hitam mulai keluar dari tubuhnya, membentuk perisai menghalangi udara dingin. “Tidak mungkin, auramu berbeda dan si tongkat itu mengatakan kamu sudah mati!”
“Oh benarkah? apa yang berbeda?” tanya Mu Lanxing yang berjalan mendekat, setiap langkahnya seolah selaras dengan alam musim dingin.
“Aku hanya butuh satu orang, sisanya silahkan jadi patung.” Suara Mu Lanxing terdengar datar namun dingin.
Begitu ucapannya berakhir, aura dingin merayap dari bawah kakinya, lalu menyebar. Dalam sekejap, tiga pria berjubah hitam yang berdiri di depannya terdiam kaku. Mereka bahkan tidak sempat berteriak sebelum tubuh mereka membeku sepenuhnya dan berubah menjadi patung es.
Suasana menjadi sunyi. Hanya satu orang yang tersisa—seorang wanita dengan jubah hitam yang kini gemetar hebat. Ia melangkah mundur perlahan, matanya dipenuhi ketakutan dan keputusasaan, mencari sedikit saja peluang untuk kabur.
Tiba-tiba, ia menjerit panik. “Ahh! Cincin dan tas penyimpanan milikku… kenapa… tidak ada?!”
Ia menatap ke tangannya yang kosong dengan wajah pucat. Tatapannya penuh kebingungan, sejak kapan benda itu hilang? Ia tidak tahu, dan sejujurnya tidak pernah sempat tahu.
Melihat pemandangan itu, Mu Lanxing tersenyum tipis. Ada kepuasan dingin di matanya.
Dengan jentikan jarinya, sebuah gunung es terbentuk. Lalu ia menggantung wanita berjubah hitam yang sudah pasrah. Bagaimana tidak, kekuatan mereka bergantung pada energi kematian, namun hal itu ditekan dengan mudah oleh perempuan di depannya. Pada akhirnya dia dengan pasrah menunggu kematian.