Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIAPA DIA?
"Kamu masih sakit. Nggak bisa banget ya menunda untuk nggak ketemu pria sialan itu?" tanya Bhumi, berdiri di ambang pintu menatap Thalia yang sedang mengoleskan lipstick di bibir.
Bhumi terkejut melihat Thalia yang sudah rapi, padahal seingatnya ini baru empat hari Thalia istirahat di rumah.
Pagi ini Bhumi berencana untuk mengajak Thalia kontrol ke Regina. Namun, saat ia ingin mengecek kondisi Thalia, wanita itu ternyata sudah tampil rapi dan... Cantik!
Thalia yang masih malas menanggapi Bhumi pun diam. Hari ini adalah jadwal pentas Jemia. Mana bisa ia melewatkan momen ini begitu saja. Tanpa menghiraukan Bhumi yang menatapnya datar itu, Thalia mematut dirinya di depan cermin. Memastikan penampilannya sudah rapi.
Tubuh Thalia berjengit saat Bhumi tiba-tiba berdiri di belakangnya. Tatapannya seperti biasa, kalau tidak datar maka ia akan menatap Thalia seakan ingin menembus mata Thalia.
Bhumi menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan telinga Thalia. Kemudian berbisik, "Kalau untuk menemani pria sialan itu kamu sudah sanggup, berarti melayani saya pun kamu sudah bisa, kan?"
Sial! Bhumi bahkan sengaja berlama-lama di area telinga Thalia, membuat wanita itu menahan diri untuk tidak berteriak.
"Aku ada keperluan pagi ini. Bukan untuk menemui Julian. Buang pikiran negatif mu itu!"
Bhumi terkekeh, remeh. Tangannya menarik pinggang Thalia. Merapatkan tubuh wanita itu agar menempel padanya.
"Apa lagi kesibukan kamu selain untuk menemui pria sialan itu? Kamu bahkan sengaja meminta pekerjaan padanya agar kalian bisa bertemu setiap hari."
Thalia berusaha melepaskan diri dari Bhumi. Tetapi tenaganya yang memang baru pulih itu tidak akan sebanding dengan Bhumi. Thalia memejamkan matanya. Kemudian, kedua bibirnya membentuk lengkung hangat. Matanya menatap Bhumi dari cermin.
"Kamu cemburu?"
Wajah Bhumi mengeras. Kemudian, tangannya melepaskan Thalia begitu saja.
"Nggak ada hal yang bisa membuat saya cemburu. Jangan bermimpi! Pria sialan itu nggak sebanding dengan saya. Lagipula kamu nggak seberharga itu untuk saya cemburui."
Thalia tertawa pelan. Lalu berbalik menghadap Bhumi. "Baguslah. Akan sangat repot kalau kamu sampai cemburu."
"Tidak ada kata cemburu dalam kamus saya. Apalagi jika menyangkut kamu!" desis Bhumi rendah. Namun, urat-urat di pelipisnya terlihat samar.
Thalia tahu, pria di depannya ini berusaha menahan diri agar tidak terlihat kesal. Sayangnya, ekspresi ini sangat membuat Thalia senang.
Thalia mendekat, hingga jarak di antara mereka begitu dekat. Jemari Thalia lalu merapikan dasi Bhumi dan jas kerjanya. Kemudian, mendongak menatap Bhumi.
Satu alis Bhumi terangkat, bingung dengan tingkah wanita itu. Sialnya, sentuhan lembut tangan, aroma manis tubuh dan rambut wanita itu serta senyuman manis penuh kepalsuannya, membuat jantung Bhumi berdebar tanpa permisi.
Pria itu menelan ludah dengan susah payah, saat tiba-tiba Thalia berjinjit.
"Aku pergi dulu, Suamiku Sayang. Jangan tunggu aku, ya. Kayaknya hari ini aku akan terlambat pulang." Thalia tersenyum, mengejek Bhumi yang mematung saat Thalia goda.
Bhumi baru sadar saat Thalia mundur selangkah untuk menjauh. Wanita itu sengaja menggodanya. Satu sudut Bhumi terangkat. Saat Thalia hendak berbalik, Bhumi dengan cepat menahan bahu Thalia.
Kemudian, tanpa bisa dicegah Bhumi menyentuh bibir yang mengejeknya itu. Mata Thalia terbelalak, tangannya bahkan mengambang di udara. Ciuman itu terlalu mendadak.
Bhumi menyunggingkan senyum sinis di sela ciumannya. Bibirnya terus mencicipi bibir Thalia yang selalu manis itu. Awalnya hanya untuk menggertak Thalia, tetapi kenyataannya Bhumi justru semakin memperdalam ciuman mereka.
Thalia mendorong dada Bhumi dengan kuat. Akhirnya ciuman itu pun terlepas. Warna lipstik Thalia bahkan membekas di bibir Bhumi.
Thalia mendengus kasar. Pria itu menghancurkan riasannya. Napasnya masih belum teratur. Namun, matanya menyala tajam.
Bhumi mengusap bibirnya sendiri. Matanya menatap Thalia dengan nakal. "Jangan menggoda saya Thalia. Kamu bisa saya tiduri saat ini juga jika kamu berani melakukan itu lagi."
"Brengsek!" Thalia bersungut kesal. Kemudian meraih tasnya dan segera keluar kamar.
Jantung Bhumi berdebar kencang. Pria itu tersenyum lembut, terhibur dengan ekspresi kesal Thalia. "Sialan! Bibir manis itu membuatku hampir hilang kendali."
***
"Acaranya sudah mulai, Lang. Sudah sepi begini." Bhumi berjalan dengan santai di samping Elang.
Sepupunya yang kini menjalin hubungan dengan seorang janda itu menyeretnya pagi-pagi minta ditemani ke acara sekolah anak pacarnya.
Dan kini, di sinilah mereka berada. Sekolah calon anak Elang.
"Berisik, Bhumi. Diandra bilangnya baru tadi pagi. Gue aja lagi asyik-asyiknya tidur. Eh malah ditelepon minta gantiin dia ke sekolah Nona."
"Dasar bucin!" cibir Bhumi pada Elang.
"Lo belum aja, Bhumi. Liat aja nanti kalau gengsi lo udah menghilang, kayaknya kebucinan lo bakalan lebih parah dari gue!" balas Elang.
Bhumi melirik Elang tanpa minat. "Nggak bakalan. Seenggaknya saya nggak akan selebay kamu. Awas saja nanti kalau nego sama Pak Nugroho gagal."
Bukannya panik, Elang justru tertawa. "Gampang! Gue sama Pak Nugroho udah kayak bapak dan anak. Cocok banget deh itu gue sama calon bapak mertua gue. Gak kayak mertua lo, licik!"
"Sialan!" Bhumi mendengus kesal. Mengiyakan dalam hati pernyataan Elang.
Pria itu bahkan rela memberikan putri kandungnya untuk Bhumi. Tanpa malu bahkan, ia seringkali menyusahkan Bhumi saat ada masalah. Kalau bukan karena Thalia, sudah lama Bhumi benar-benar menghancurkan pria tua bangka licik itu.
"Buruan, Bhumi! Lelet banget sih, kayak model." Elang menarik tangan Bhumi.
Bhumi mendesis kesal. Harga diri dan wibawanya hancur saat bersama Elang.
Dalam satu dorongan, Elang lalu berhasil membuka pintu besar aula sekolah. Dua bagian kursi sudah ramai dengan kehadiran para wali siswa. Sementara panggung di depan mereka sudah dihias dengan begitu cantik.
Khas negeri dongeng.
"Nah itu kursi kosong!" Elang berseru pelan. Menunjuk pada kursi bagian tengah sebelah kanan.
Bhumi mengangguk. Kemudian, melangkah santai menuju bangku tersebut.
"Semoga belum terlambat. Bisa mati gue kalau Nona tahu gue terlambat. Gagal deh jadi papi kesayangan!" ujar Elang khawatir. Ia baru saja duduk.
Bhumi yang duduk di samping Elang hanya diam. Malas menanggapi keluhan Elang yang sedang mengejar restu anak pacarnya itu.
Definisi menyusahkan diri sendiri. Setelah dikenalkan dengan beberapa perempuan single, Elang malah kepincut sama janda di kantornya. Kalau kata Elang bukan sembarang janda, karena Diandra adalah pacar pertamanya.
Iya. Elang ada korban gagal move on.
"Persembahan terakhir, mari kita sama-sama mendengarkan story telling yang akan dibawakan oleh ananda kami, perwakilan dari Kindergarten B"
Bhumi terlihat acuh saat melihat MC di panggung. Ia tidak pernah tertarik menghadiri acara seperti ini.
"Mari kita sambut, ananda kami, Jemia Prameswari dari KG B!"
Sorak sorai tepuk tangan di sekitarnya tidak membuat Bhumi berhenti sibuk dengan layar ponselnya.
"Woilah! Itu anak lucu sekali. Liat deh, Bhum. Buruan!" bisik Elang, menyikut lengan Bhumi.
Bhumi mendengus lagi. Akhirnya memasukkan kembali ponselnya dan menatap ke depan.
Tepat pada seorang anak perempuan berambut cokelat sepinggang. Poni depannya begitu lucu. Ia mengenakan dress putih dengan renda pink di bawahnya. Di kepalanya terdapat mahkota kecil.
Bhumi tertegun. Wajah itu mengingatkannya pada seseorang.
Anak itu melambaikan tangan. Binar matanya seirama dengan senyum mereka yang ia tunjukkan.
"Halo semuanya! Aku Jemia. Aku akan membawakan cerita dengan judul Putri Anastasya dan Kaktus Kesayangannya!"
'Siapa dia? Mengapa senyumnya membuatku berdebar begini?' batin Bhumi.
*
*
*
Mas Bhum Bhum ketemu Mia 🤣. Gimana reaksinya kalau tau itu anaknya, ya?
Jangan lupa klik love, komen (biar aku bisa ngobrol bareng kalian) dan klik rating 5 juga yaaa, plis.
TERIMA KASIH 😊
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭
Duaaaaar..
Booooooooom....
apa lagi yaa, yg bisa menggambarkan keterkejutan si Tuan saat ini.... 😄