NovelToon NovelToon
Endless Journey: Emperors Of All Time

Endless Journey: Emperors Of All Time

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Fantasi Timur
Popularitas:517
Nilai: 5
Nama Author: Slycle024

Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.

Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.

Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lanlan

Di depan gerbang desa, Hao berdiri cukup lama, mengamati suasana yang tidak asing namun asing baginya.

Dari sorot mata orang-orang, ia bisa menebak desa ini kini dikuasai para pengusaha dan bandit. Suasananya begitu sunyi, tapi penuh ketegangan.

Ia mulai melangkah perlahan. Semakin jauh ia masuk, semakin terasa tatapan tajam yang mengikuti geraknya. Ia mempercepat langkah, pura-pura tak peduli.

Di depan sebuah kedai kecil, ia melihat beberapa anak berpakaian kotor duduk lesu, seakan menunggu belas kasihan. Hao hanya menoleh sekilas, lalu membeli beberapa makanan. Dengan gerakan cepat dan tersembunyi, ia juga melempar beberapa koin perak ke arah anak-anak itu.

Tanpa menunggu reaksi, ia kembali berjalan. Setelah memastikan persediaan makanannya cukup, ia menoleh kanan-kiri, lalu segera menaiki bukit kecil di tepi desa dengan langkah gesit.

Setelah sampai di tujuan, Hao melangkah perlahan mendekati sebuah pohon setinggi dua meter yang tumbuh di atas gundukan tanah—sebuah kuburan sederhana.

“Lama tidak bertemu… sudah empat tahun berlalu,” ucapnya pelan, menatap pohon itu dengan sorot mata dalam.

Secara perlahan, ia memindahkan beberapa batu  dan meletakkannya di sekeliling pohon tersebut, lalu duduk bersila di hadapannya.

Dari tasnya, ia mengeluarkan sebuah buku dan makanan yang tadi dibeli.

Perlahan, ia membuka halaman demi halaman, sambil menyuap sedikit demi sedikit, seakan sedang menemani seseorang di sana.

---

Setelah satu jam duduk dalam keheningan, Hao tiba-tiba merasakan samar seseorang berada di balik pepohonan. Tubuhnya menegang, tangannya siap siaga.

“Keluarlah,” ucapnya tenang namun tajam.

Dari balik batang pohon, muncul seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan tahun. Pakaiannya lusuh, wajahnya kotor, matanya penuh rasa takut sekaligus lapar. Melihat itu, Hao menghela napas pendek, segera mengerti.

“Kau lapar?” tanyanya.

Gadis itu hanya mengangguk pelan.

Hao menurunkan kewaspadaannya, lalu meletakkan bungkusan makanan di sampingnya. “Ambillah sendiri.”

Tanpa ragu lagi, si gadis segera berlari kecil mendekat. Tangannya gemetar saat meraih makanan, lalu ia melahapnya dengan rakus, seakan sudah lama menahan lapar.

Hao hanya diam, menatapnya makan sambil membuka kembali bukunya.

Suara kunyahan gadis itu terdengar jelas di tengah sunyi bukit. Sesekali ia melirik Hao, takut makanan itu akan direbut kembali.

“Aku masih punya banyak,” ucap Hao tanpa menoleh.

Gadis itu berhenti sejenak, menatapnya dengan mata lebar, lalu mengangguk kecil. Ia mencoba makan lebih santai, meski perutnya jelas masih menjerit kelaparan.

Setelah beberapa saat, pandangan Hao jatuh pada sebuah kantong penyimpanan dan cincin di tangan gadis itu—persis seperti yang biasa digunakan para kultivator.

Ekspresinya perlahan berubah. Ia menutup bukunya, lalu bertanya

“Kenapa kamu mengikutiku? Dengan tas dan cincin itu, seharusnya kau sudah bisa mengendalikan energi spiritual. Tapi kenapa tampak seperti gelandangan… bahkan kelaparan?”

Sekejap, gadis itu berhenti makan. Tatapannya berubah tajam, penuh amarah.

“Jangan menatapku seperti itu,” ucap Hao dingin. “Mungkin saja aku tanpa sengaja membunuhmu.”

Segera, ia melempar sebuah belati ke ular kecil yang kebetulan melintas. Seketika ular itu mati.

Gadis itu—yang tadi menatap tajam—langsung mundur, tubuhnya bergetar. Air mata mulai menetes di pipinya. Namun Hao kembali membuka bukunya, sama sekali tak peduli.

Beberapa saat kemudian, setelah selesai makan, gadis itu berjalan mendekat, lalu menunduk. Suaranya pelan, penuh ketakutan.

“Terima kasih… atas makanan tadi. Kau bisa memanggilku Lanlan. Saat ini aku baru tahap awal alam Laut Spiritual, tapi karena racun, pamanku menyegel kultivasiku. Saat di perjalanan kami disergap… dan aku terpisah darinya.”

Hao berhenti membaca, menatap Lanlan dengan tajam. “Jadi, kau buronan.”

Lanlan mengangguk kecil, wajahnya tertunduk malu.

“Pergilah,” ucap Hao singkat.

Lanlan menginjak tanah keras-keras. “Bukannya kau laki-laki? Kenapa tidak membantu anak kecil lemah ini!” protesnya dengan suara serak.

Hao hanya mengangkat tangan, telapak terbuka—jelas meminta imbalan.

Lanlan menggertakkan gigi, lalu dengan berat hati melepaskan cincin penyimpanannya dan menyerahkannya. Tapi melihat tangan Hao masih terulur, ia akhirnya juga menyerahkan tas penyimpanan di pinggangnya.

Barulah Hao tersenyum tipis. Ia menunjuk tempat kosong di sampingnya. “Duduklah.”

Lanlan mendengus kesal, tapi tetap menuruti. Hao kembali membuka bukunya, seakan tidak terjadi apa-apa.

Lanlan duduk di sampingnya dengan wajah muram. Tangannya memeluk lutut, pandangannya sesekali tertuju pada Hao, lalu beralih ke buku di tangannya.

“Kenapa dia tenang sekali ditempat seperti…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Angin bertiup lembut, membawa suara dedaunan berdesir. Hao tetap tak bergeming, matanya terpaku pada tulisan, seakan Lanlan hanyalah bayangan.

Lanlan menggigit bibirnya. Ia ingin bicara, ingin mengeluh, tapi ragu. Sesekali ia melirik Hao, menunggu reaksi, namun yang didapat hanya keheningan.

Akhirnya ia menarik lutut lebih dekat ke dada, lalu menyandarkan dagunya. Perlahan, tatapannya melembut, seakan mencoba membaca sosok yang ada di sebelahnya.

Namun Hao tetap diam, terus membaca, seolah benar-benar tidak menyadari sorot mata penuh rasa ingin tahu dari gadis kecil di sampingnya.

----

Waktu berlalu, matahari mulai condong ke barat. Hao menutup bukunya dan segera mengemas barang-barangnya.

Sebelum beranjak, ia menoleh pada Lanlan. “Kenapa kau tidak pulang?” tanyanya datar.

“Aku sudah mengirim pesan. Paman kemungkinan sampai malam ini,” jawab Lanlan, lalu menatap Hao dengan kesal. “Lagipula… kau sudah mengambil barang-barangku. Temani aku sampai paman datang!”

“Koreksi,” ucap Hao sambil memainkan belati di jarinya, sorot matanya dingin. “Aku tidak mengambil. Kau yang memberikannya. Paham?”

Lanlan langsung terdiam. Dengan wajah muram, ia mengangguk pasrah. Namun dalam hati ia bergumam penuh dendam: Ketika paman datang, aku akan membuatmu menderita…

Hao memperhatikan sikapnya sekilas. Ada ketakutan yang jelas dari tatapan Lanlan, tapi di baliknya, ia juga merasakan perasaan bahaya yang samar.

Srek… krek…

Tiba-tiba suara langkah berat terdengar. Beberapa sosok berjubah hitam muncul, bergerak cepat mendekat.

Refleks, Hao menarik tubuh Lanlan, lalu menutup mulut gadis itu dengan satu tangan. Tanpa banyak pikir, ia melemparkan tubuh mereka ke dalam semak belukar.

“Mmhh—!” Lanlan ingin berteriak, tapi hanya air mata yang mengalir karena mulutnya terkunci rapat oleh tangan kasar Hao. Duri-duri semak menggores kulit mereka, meninggalkan aliran darah tipis di sekujur tubuh mereka.

Suara jubah hitam itu semakin dekat… lalu perlahan menjauh, menghilang ke arah desa.

Hao baru melepaskan genggamannya, lalu tanpa banyak bicara, ia mengangkat Lanlan yang sudah pingsan ke punggungnya, lalu pergi ke arah hutan iblis.

***

Setengah jam setelah kepergian mereka.

Di puncak bukit, seseorang berjubah hitam melihat bercak darah segar di sela semak-semak. Ia menelusuri jejaknya beberapa langkah—darah, torehan kain, lalu bekas langkah kecil yang masuk ke dalam Hutan Iblis.

Wajahnya mengeras. Ia segera membalik badan, memerintahkan dengan suara dingin: “Segera tutup semua jalan keluar hutan. Jangan biarkan dia keluar hidup-hidup.”

Beberapa orang bergerak cepat, menyebar ke tiap jalur— menutup tikungan, mengintai relung batu, memasang pengintai di gerbang desa. Di bawah bayang-bayang pohon, rencana mereka sederhana dan kejam: membiarkan gadis itu mati di dalam.

1
誠也
7-10?
Muhammad Fatih
Gokil!
Jenny Ruiz Pérez
Bagus banget alur ceritanya, tidak monoton dan bikin penasaran.
Rukawasfound
Lucu banget! 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!