"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikah?
Wajah pria itu turun perlahan ke arah kening Luna, tepat di tempat memar kebiruan yang masih terlihat samar di sana.
Dengan tenang Arsen meniup lembut keningnya. Hembusan hangat napas pria itu membuat tubuh Luna kaku, matanya membulat dalam diam.
“Pak Arsen,” bisiknya pelan, dia dibuat tercekat karena ulah pria itu.
Namun, Arsen tetap diam. Setelah meniup pelan, jemarinya menyentuh ujung rambut Luna, menyingkirkannya dari wajah. Tatapannya jatuh tepat ke mata perempuan itu, lembut, tapi penuh intensitas yang membuat udara di dalam mobil terasa lebih berat.
“Luna,” ucapnya perlahan. “Pikirkan jawabanmu baik-baik. Saya tidak sedang main-main waktu bilang ingin menikah denganmu.”
Karena pertanyaan itu, Luna menelan ludah, matanya yang menatap lekat sosok Arsen berkaca-kaca. “Pak Arsen.…”
“Kenapa?” tanya pria itu.
Luna menarik napas panjang, lalu menunduk gelisah. “Saya miskin, Pak. Saya tidak punya apa-apa. Keluarga saya bukan keluarga berada. Saya tidak sepadan dengan Bapak. Ibu saya gila dan saya tidak tahu ayah saya di mana.”
Pria itu mengerutkan dahi, lalu bersandar di kursi, menatap Luna dengan tatapan kesal. “Dan menurutmu aku peduli dengan itu?”
“Pak, tapi ....”
“Aku tidak butuh keluarga kaya. Aku tidak sedang mencari pernikahan bisnis, Luna,” lanjut Arsen. “Aku minta kamu jadi istriku karena aku butuh kamu. Bukan karena hal lain.”
Di luar, Hujan mengetuk kaca jendela, seakan ikut mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir mereka. Kedua orang itu bahkan tidak memperdulikan Danar yang tengah berteduh di bawah pohon kecil, judulnya mungkin berteduh, tapi tubuhnya masih tetap basah.
“Kenapa saya, Pak? Dari semua perempuan, kenapa harus saya?”
“Saya enggak tahu kenapa, tapi yang jelas saya maunya kamu, enggak bisa orang lain.”
Haruskah Luna menggetok kepala Arsen dengan ponselnya? Padahal Luna sudah sedih, tapi Arsen malah seperti itu.
Ia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar di pangkuan. Sekali, dua kali, tiga kali. Ia sempat ingin mengabaikan, tapi getaran itu terus datang. Akhirnya, ia mendorong dada Arsen yang kembali mendekatinya agar menjauh.
“Maaf, ada iklan sebentar.”
Arsen mendengus tapi mengangguk, menarik diri dengan enggan. Luna mengambil ponselnya, dan ketika layar menyala, matanya semakin berkaca-kaca.
Sebuah pesan dari Nayara.
Bersama foto Safira dan Aditya sedang fitting baju pengantin. Safira tampak anggun dalam gaun putih, Aditya berdiri di sampingnya dengan jas hitam dan senyum yang pernah membuat Luna lemah dalam buaian cintanya.
“Datang, ya, Luna. Biar resepsinya rame. Harus ada yang nangis di pojokan, kan?”
Luna menatap layar itu lama. Dada sesak ketika ia kembali terbayang akan hinaan orang-orang itu. Ia menarik napas dalam, lalu menutup ponsel perlahan.
Ketika ia menoleh lagi ke arah Arsen, matanya tak lagi berair, tapi menyala dingin. Senyum kecil tersungging di bibirnya, senyum yang samar namun penuh luka.
“Pak Arsen,” panggilnya lembut.
“Hm?” Arsen mengangkat alis.
Tatapan mereka bertemu, kali ini Luna yang memulainya lebih dulu. “Saya sudah pikirkan baik-baik.”
“Dan?”
“Saya mau menikah dengan Bapak.”
“Kamu yakin?”
Luna mengangguk, tapi di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lain. Bukan cinta, bukan bahagia. Tapi semacam luka yang memilih berdamai lewat keputusan gila.
Ia menatap ke luar jendela saat hujan turun semakin deras.
Dalam hati, ia berbisik pelan, Kalau dunia ingin melihatnya kalah, biarlah. Kali ini, biarkan yang menulis akhir ceritanya sendiri.
“Ya Allah, mereka lagi ngapain sih.” Danar yang sudah sangat kedinginan semakin menggigil, dia menunggu dipanggil tapi tak kunjung ada perintah. “Kayaknya harus dilaporin Satpol-PP nih, bilang aja kalau mereka berduaan di dalam mobil, kan.
** **
Luna benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.
“Ini... ini apa maksudnya, Pak Arsen?” ujarnya terbata, kedua bola matanya menatap sekeliling, memastikan bahwa papan bertuliskan Kantor Urusan Agama yang dia lihat itu bukan halusinasi. “Kenapa kita di sini? Kita mau apa?”
Pagi itu, napas Luna sesak karena situasi absurd yang sedang menjeratnya. Ia mengenakan blus putih dengan celana panjang krem, sama sekali tidak siap menghadapi drama sebesar ini.
Sementara itu, Arsen berdiri di sisi mobil dengan jas abu-abu mahal, tampak begitu tenang seolah-olah sedang menghadiri rapat bisnis, bukan hendak menikahi seseorang tanpa pemberitahuan. Pria itu hanya melirik jam tangannya, lalu menghela napas pendek.
“Luna,” katanya datar, “aku rasa kamu tahu jawabannya.”
“Tahu jawabannya?! Tentu saja aku nggak tahu! Bapak bawa aku ke sini tanpa bilang apa-apa! Ini kantor KUA, Pak Arsen! Jangan bilang, jangan bilang, Bapak ....”
“Apalagi memang, kita akan menikah.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Arsen.
“Ya Tuhan...” desis Luna sambil memegang pelipisnya. “Kalian ini berdua sehat?!” serunya sambil menunjuk Arsen dan Danar bergantian. “Aku tahu kalian sibuk bareng, tapi bukan berarti boleh gila bareng!”
Danar yang sedari tadi menunduk kikuk, buru-buru mengangkat tangannya. “Non Luna, jadi begini...” ujarnya mencoba menjelaskan dengan wajah seperti sekretaris yang baru saja ditugaskan mengantar bosnya ke medan perang. “Pak Arsen belakangan ini sedang... ya, bisa dibilang... mendalami agama.”
“Mendalami agama?” Luna mengulang dengan alis terangkat setengah meter.
“Iya, Non. Jadi, kami baru tahu kalau laki-laki dan perempuan yang belum ada ikatan itu nggak boleh bersentuhan, apalagi terlalu sering berduaan. Makanya Pak Arsen berpikir, daripada dosa terus ....”
“Daripada dosa terus, mending langsung ke KUA?” potong Luna cepat, dia hampir menjerit. “Kamu pikir ini kayak beli pulsa, Pak Danar?!”
Danar mundur setengah langkah. Jujur, dia juga agak deg-degan. Iya semua salah mereka memang yang tidak memiliki persiapan, tapi dan aku lebih khawatir kalau Boss dudanya akan merusak Luna.
“Bukan gitu, Non, Tapi Pak Arsen tuh serius. Beliau cuma mau memastikan hubungan ini, halal. Tapi tenang, Non. Setelah ini, nggak akan ada yang aneh-aneh. Pak Arsen juga udah janji nggak akan melakukan hal yang tidak-tidak tanpa izin Non Luna.”
Sontak Luna ternganga. Ia menatap Arsen, berharap pria itu menyangkal, tertawa, atau berkata bahwa ini sekadar lelucon. Tapi tidak. Arsen tetap di tempatnya, tangan diselipkan ke saku celana, tatapan tajamnya justru membuat Luna semakin tidak tenang.
“Jadi Pak Arsen diem aja?!” seru Luna, spontan nadanya meninggi. “Bapak biarkan Danar ngoceh sepanjang itu tanpa meluruskan?!”
“Saya tidak melihat ada yang salah dengan apa yang Danar katakan,” jawab Arsen kalem, matanya menatap Luna dalam tanpa dosa. “Memang benar, kok, saya hanya ingin memastikan kamu tidak kabur, toh ini yang terbaik untukmu, resepsi bisa kita persiapkan nanti. Kamu enggak terpaksa kan?”
“Terpaksa?! Bapak nyulik aku ke KUA jam tujuh pagi tanpa sarapan, terus bilang nggak terpaksa?!”
Tapi belum sempat Luna melanjutkan protesnya, sebuah suara perempuan terdengar dari arah pintu ruang administrasi.
“Lulu!”
Seketika itu juga, Luna menoleh dengan cepat. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika melihat siapa yang datang, Budhe Ratna. Di belakangnya berdiri Raka dan Keysha, keduanya tampak tidak kalah terkejut.
“Budhe? Kenapa Budhe di sini? Kalian juga?!”
Budhe Ratna tersenyum kecut sambil menghela napas. “Nak, tadi malam ada seseorang datang ke rumah, katanya mau melamar kamu secara resmi. Budhe pikir cuma formalitas... eh, ternyata ....” ia melirik Arsen dan menggeleng pelan. “Ternyata begini, Mas Marbot mau nikahin kamu.”
“Mas Arsen minta izin langsung ke Budhe,” tambah Raka, matanya menatap Luna penuh rasa ingin tahu. “Dia bilang ini keputusan yang udah kamu setujui.”
“Setujui apanya?!” teriak Luna. “Aku bahkan nggak tahu kalau mau dibawa ke KUA!”
“Shutttt!” Bude Ratna tiba-tiba menarik lengan Luna, membawanya menjauh dari semua orang. Dia melirik ke arah Arsen yang sedang berdiri kaku sambil tersenyum kecil. “Kamu liat, kan. Dia gagah juga lho kalau dandan kayak gitu, enggak bakal keliatan kayak Marbot. Kata kamu Naya ngundang kamu, ngeledek kamu. Bawa aja dia. Kakak-kakak sepupu kamu katanya udah nyari tahu latar belakang dia. Arsen orang baik katanya, udah mau aja. Nanti kalau mau kondangan, Bude bantu rental mobil keren buat kalian, ya? Mau, ya!”
Astaghfirullah .... Luna bisa gila kalau seperti ini. Kenapa mereka membuat drama yang .... Astaghfirullah ..... Luna ingin menangis, bagaimana mungkin budenya mau meminjamkan mobil rental untuk pria yang bahkan bisa beli showroom-nya sekaligus.
jadi maksudnya apa ya?????
berteman boleh royal bego mah jangan...😄😄😄🤭