Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Gian
Seperti biasa, rutinitas pagiku adalah beberes kamar, dari membereskan tempat tidur, nyuci, nyapu dan ngepel selalu didahulukan agar selalu nampak rapi dan bersih, setelahnya baru nanak nasi. Aku bangun mulai dari jam empat subuh untuk mengerjakan sesuatu agar badan masih fresh, sambil menunggu nasi matang biasanya aku mandi.
Tin tin tin ...!
Aku menatap ke arah jam dan itu menunjukan waktu setengah enam, siapa yang datang sepagi ini? Bahkan aku pun baru selesai mandi dan belum dibaju.
Aku menengok dari gorden jendela yang tersingkap dan ternyata di depan sana ada Gian. Anak itu lagi, sepagi ini dia datang. Apakah dia menjemputku untuk ke sekolah lebih awal agar tidak seperti kemarin?
"Tunggu di luar!" teriakku karena aku belum memakai baju, aku pun langsung bergegas memakai baju, menyisir rambut serta mengikatnya dan membukakan pintu untuknya.
"Ada apa? Tumben pagi-pagi ke sini?" tanyaku.
"Ah, Teteh mah pelupa," jawabnya sembari turun dari motor, nyerobot masuk dan mencopot sepatu—disimpannya di atas teras.
Ya ampun anak ini, baru juga selesai dipel sudah diinjak aja. Ya sudah gapapa, wajar ini adalah kost-an.
Melihat mataku yang menatap sepatunya, Gian langsung minta maaf dan menurunkannya, padahal sih gapapa asal jangan punya orang lain. Pokoknya aku akan cerewet jika orang lain yang menginjaknya.
Aku pun masuk, tetapi membiarkan pintu terbuka agar tidak timbul fitnah, ngeri soalnya ibu-ibu di sini mainnya fitnah, entah itu ibu muda atau ibu tua, mereka sama saja, bahkan remaja-remaja pun bergosipnya sudah kental juga.
Aku memang tidak mendengar mereka menggosipkan aku, tetapi setiap sore selalu saja ada mereka berkumpul di salah satu kamar kost tetangga.
Di lingkungan sini, kost-annya bukan hanya anak sekolahan atau pun mahasiswa, tetapi ibu-ibu rumah tangga juga ada. Di sini seperti lengkap tetapi rumahnya pada ngontrak bukan milik pribadi, aku bisa saja membeli rumah di lingkungan sini, tetapi di sini tidak nyaman dan aku lebih tertarik sama satu rumah dua lantai dekat warung seblak malam itu, karena agak jauh dari tetangga dan tamannya lumayan luas. Cocok rasanya untuk aku yang suka dengan keheningan dan keindahan, jika terlalu luas dan aku takut bisa saja kujadikan gudang produksi, tetapi tidak semudah itu mengurusnya. Jadi, sabar aja dulu di sini.
"Gian, ini kamu ngajak teteh berangkat pagi?"
"Astagfirulloh, Teh." Dia menepuk jidatnya sambil membuka tasnya.
"Ini." Tunjuknya mengeluarkan kresek putih berisi sayur dan juga telur.
"Ini buat teteh?" tanyaku dengan mata yang membulat, jujur saja rasanya tidak percaya jika anak ini benar-benar melakukannya.
"Iyalah, Teh. Makanya ayo cepat makan, jangan nunggu siang. Aku udah bawain sayur loh, biar teteh ga makan sosis dan nugget lagi."
"T-tapi ... tapi ini ngerepotin kamu, Gian. Kamu masih sekolah dan kamu masih butuh bekal."
"Engga, Teh. Aku gak repot. Jika aku ngerepotin diri sendiri, ga bakalan aku melakukannya. Ini juga untuk teteh bukan untuk orang lain."
Aku diam seketika, bingung juga harus apa. Gian duduk lebih dulu sedangkan aku masih berdiri.
"Ayo, Teh. Duduk sini, makan dulu. Jangan pikirin aku, nanti juga aku cerita siapa aku."
Aku pun duduk di sebelahnya.
Dia mengambil mangkuk dari rak piring mini milikku, lalu menuangkan sayur sopnya.
"Teh, telurnya belum aku rebus. Rebusnya di sini aja, ya. Gapapa, aku yang lakuin, teteh duduk aja."
"Kenapa gak digoreng?"
"Gaboleh, aku tahu gimana kondisi teteh kalau makan berminyak, suka pusing kan?" Dia berbalik tanya.
Kok dia bisa tahu? batinku
"Kok kamu tahu, sih?" tanyaku.
"Pas aku pegang tangan teteh kemarin, aku tau kondisi teteh dari telapak tangan teteh."
Bersama anak ini rasanya harus berhati-hati, dia seperti tahu banyak hal.
"Tapi teteh engga kolesterol kok," bantahku takut dia mengatakan itu.
"Iya, tahu tapi aku tahu teteh gak suka makanan yang banyak mengandung minyak, jadi tolong jangan dipaksain meskipun suka, usus teteh aja bermasalah, semua organ dalam teteh bermasalah, aku gak mau ada sesuatu yang buruk terjadi," jelasnya membuatku diam sekalipun takjub karena dia benar-benar bisa memahami aku.
Aku ingat dulu saat masih kuliah ada seseorang melihat garis tanganku dan katanya aku kolesterol dan banyak mengandung gas, tetapi saat aku cek lab, aku baik-baik saja bahkan kolesterol dan gula darah juga rendah. Tapi kalau soal banyak gas dalam tubuh, iya memang, usus dan lambung bermasalah pun iya juga. Namun, entahlah aku belum periksa semuanya.
Gian mengambil panci listrik tanpa disuruh lalu mengambil air dan meresbus telurnya. Aku hanya duduk dan melihatnya.
Dia benar-benar memperhatikan aku tapi aku juga merasa tidak enak, rasanya seperti aku tidak akan bisa membalas kebaikan Gian, tetapi aku akan mencoba membuat Gian selalu bahagia.
"Teh, jangan melamun," ujarnya tersenyum menatap ke arahku karena sepertinya dia tahu kalau aku sedang membatin melihat dan memikirkannya.
Aku pun mengalihkan pandanganku ke depan, sehingga kami tidak lagi beradu tatap.
"Jangan dipikirin, Teh. Aku bukan tipe orang yang mengistimewakan seseorang dari uang orang tua," imbuhnya.
"Mengistimewakan seseorang?"
"Iya."
"Apa sebelumnya ada seseorang yang diistimewakan juga?" tanyaku seketika penasaran.
"Tidak ada, aku melakukan ini pertama kali sama teteh."
Deg! Aku dibuat deg-degan lagi olehnya. Ini harus senang atau bagaimana?
Please Gian, jangan membuatku kebingungan karena jujur saja aku orangnya gak enakan, aku terus saja meracau dalam hati.
"Gian ...." Sebutku.
Dia tersenyum dan senyuman itu benar-benar meneduhkan, sampai aku pun lupa kalau umurku jauh lebih tua darinya.
"Tenang, Teh. Aku tidak akan berharap lebih, aku hanya berharap teteh baik-baik aja."
Aku kembali membalasnya dengan senyuman. Sebenarnya aku ingin bertanya, jika bukan dari ayahnya yang memberikan uang jajan, lalu dari mana dia punya uang?
"Eh, Teh. Ini telurnya sudah matang, aku kupasin, ya."
Aku mengangguk.
"Teteh, ambil dulu nasinya."
Aku pun bergerak mengambil piring dan nasi beserta sendoknya dan kembali duduk di sebelahnya.
Kemudian dia menyendoki sayur dan menyimpan telur rebus di piringku.
"Makan yang kenyang, habiskan juga sayur dan telurnya."
"Tapi sayurnya kebanyakan," protesku.
"Buat nanti siang aja, sekarang habiskan aja telurnya. Suka gak suka sama telur rebus, teteh harus makan."
Aku diam mengangguk.
"Untuk makan siang aku belum bisa bawain ya, teh. Kan aku sekolah, sore juga gak bisa apalagi malam. Aku hanya bisa bawain untuk pagi aja."
"Sudah, ah. Ini juga berlebihan," ujarku sekaligus penasaran keseharian dia selain sekolah.
"Ya sudah makan dulu," titahnya.
Bagaimana aku bisa makan jika dia saja di sebelahku dan akan melihatku makan. Tidak, aku tidak bisa makan jika dilihatin orang ganteng seperti dia.
"Jangan malu, jangan canggung. Teteh udah anggap aku ade juga kan? Berarti kita saudara meski tidak sedarah," ujarnya seakan dia tahu saja apa yang ada di kepalaku.
Seketika aku pun langsung menatapnya, jujur saja setiap dia berbicara bukan ingin makan melainkan selalu ingin menatapnya. Wajahku sudah tidak bisa bohong, pipi ini sepertinya sudah berwarna merah, aku malu.
"He he, lihat teteh kayak gini ya, bukan seperti ngelihat kakak. Tapi justru aku seperti ngasuh adik," kelakarnya, membuatku mengalihkan pandangan ke nasi.
"Ya sudah, kalau gitu aku tunggu di luar. Teteh makan dulu," ujarnya sembari menahan tawa.
Seketika aku melihat diriku apa ada yang salah apa ada yang lucu atau ada sesuatu yang nempel, tetapi tidak ada.
"Teteh sudah perfect kok, gak ada yang salah di teteh, teteh lucu apalagi kalau sudah lihatin aku kayak gitu. Dan maaf nih ya teh maaf, jujur aja berasa aku kakaknya, karena teteh pendek sih ha ha," kelakarnya lagi sambil lari keluar dan menjinjing sepatu-dibawanya ke motor.
"Gian ...," geramku. Dia sudah berani meledekku, iya emang aku pendek. Tapi, engga gitu juga kali bilangnya.
"Bercanda teh bercanda." Sambil terus tertawa.
Akhirnya aku pun makan setelah Gian keluar, jujur saja aku tidak terlalu suka telur rebus apalagi harus dicampur dengan sayur sop, jujur saja sayur sop aja aku kurang suka karena banyak airnya. Aku lebih suka masakan yang ditumis atau digoreng-goreng saja, mungkin itu yang membuatku kurang sehat.
Namun, untuk saat ini aku harus suka sayur dan telur atau bisa dibilang harus suka makanan yang sehat-sehat, apalagi dipantau terus sama Gian. Bagus sih, dia perhatian, cuma aku hanya takut satu hal yaitu aku takut tidak bisa membuatnya bahagia.
"Teh, makannya sudah belum?" tanyanya dari luar.
"Sudah," jawabku.
Aku pikir dia akan duduk saja di luar di motornya, tetapi ternyata dia masuk lagi.
"Teteh cepet dandan, biar ini aku yang beresin," titahnya sudah berjongkok dan menyimpan piring ke tempat cucian.
Sesuai perintah, aku pun berdandan dan memakai kerudung. Tapi perutku tiba-tiba tidak enak, bukan sakit perut melainkan mual, mungkin karena makan telur yang bau anyir itu.
"Teh, kenapa?" tanya Gian khawatir.
"Teteh, butuh permen."
"Mual, ya?"
Aku mengangguk.
"Ya sudah tunggu."
Dia langsung sigap keluar, pastinya mau ke warung. Se-semangat itu dia.
"Ini, teh." Dia memberikan empat biji permen.
Aku mengambilnya satu.
"Ambil semuanya."
Aku menggelengkan kepala sambil menatapnya, karena aku tidak mengambilnya dia pun menyimpannya di atas meja belajarku.
Aku tersenyum, senang dan benar-benar bahagia. Seumur hidup baru kali ini aku diperlakukan selembut ini, secara aku selalu bertindak kasar kepada siapa pun agar aku mengenal bagaimana orang tersebut, tetapi di depan Gian aku tidak perlu melakukannya, justru dia sudah melakukan yang terbaik tanpa harus mengujinya dengan bahasa yang tidak baik dariku.
Jujur saja aku memang butuh perhatian dan didengarkan, hal itu juga membuatku aku menjadi wanita yang keras kepala dan ber-ego tinggi dalam menghadapi laki-laki, karena aku tidak ingin mengemis perhatian, jadi aku melakukan sesuatu untuk melihat dia benar-benar sabar, sayang dan perhatian.
"Jangan kebanyakan melamun, Teh. Tidak semua laki-laki sama, tidak semua laki-laki paham maksud teteh, intinya jika bukan untuk teteh dia akan pergi," celetuknya.
"Jadi jangan khawatir," lanjutnya.
"Iya, mungkin memang belum waktunya."
"Jangan jadi orang lain, cukup jadi diri sendiri aja teh. Baik dan buruknya teteh, akan tetap terlihat istimewa di mata orang yang benar-benar menginginkan teteh."
Aku mengangguk saja mendengar nasihatnya sambil terus berkaca membenarkan kerudung.
Kata-katanya benar, dan dia berbicara benar-benar sesuai dengan isi kepalaku yang saat ini masih kebingungan bagaimana menghadapi laki-laki.
"Teh, teteh suka apa selain permen?" tanyanya membuatku berbalik badan menatap ke arahnya.
"Sebenernya kurang suka permen, tapi teteh suka yoghurt, kebetulan kemarin di warungnya habis, atau minum yakult. Apa aja asal ada asamnya dikit biar gak enek."
"Oh, yaudah."
Aku mengangguk.
"Selain itu apalagi?"
"Keju."
Gian mengangguk-angguk.
"Ya sudah, ayo berangkat sekarang biar nyantai juga di sekolah." Dia beranjak berdiri.
Aku diam sejenak dan malah duduk di tepi ranjang, jujur saja aku malas ke sekolah karena tidak ada jadwal juga, tetapi aturan harus tetap datang. Aku malas ketemu Pak Ardi lagi, meskipun Pak Ardi juga tidak jelek, tapi kadang bikin ilfeel juga, aku risih diperlakukannya karena terlalu serius tetapi seperti lebay menurutku, ini menurutku bukan orang lain.
"Jangan terlalu dipikirin, tidak semua hal yang kita inginkan masuk ke dalam diri kita, terkadang ada hal yang memuakkan dan kita tidak suka menghampiri kita. Tinggal bagaimana kita mengolahnya, jika suka lanjut, jika tidak biarkan saja jangan dibuat pusing."
"Tapi dia selalu mengikuti?" Aku bersuara.
"Kumbang mengikuti bunga karena cantik dan manis."
"Maksudnya?"
"Hal baik atau pun buruk akan tetap datang, hal baik kita bersyukur, jika ada hal buruk maka kita berhati-hati. Bunga tidak bisa mengusir kumbang, tetapi kumbang juga tidak akan kembali mendekat ke bunga yang terawat dan dipelihara, kecuali dia gangguan jiwa."
"Jadi maksudnya, teteh jaga diri aja? Tidak perlu mengusir dia juga akan pergi dengan sendirinya jika teteh menjaga diri sendiri?"
"Iya."
"Tapi ini terkesan aneh."
"Intinya, teteh harus punya pasangan dulu yang mau menjaga tetehnya, paham?"
"Ooh, gitu. Iya, tapi sulit."
"Kalau sama aku gimana?
Seketika mataku membulat menatap matanya.