Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Ketegangan di Ruang Tunggu
Langit di luar rumah sakit sudah gelap ketika langkah cepat terdengar di koridor IGD. Dilan muncul dengan wajah panik, keringat menetes di pelipisnya. Begitu matanya menangkap sosok Shannara di ruang tunggu, ia langsung menghampiri tanpa pikir panjang.
"Nara!" panggilnya, suaranya parau karena kelelahan.
Shannara menoleh cepat. "Dilan..."
Di belakangnya, Davin berdiri, tubuh tegak dan berpenampilan rapi dengan setelan formal khas staf profesional. Tatapannya datar, tapi waspada.
Sorot mata Dilan langsung berubah ada rasa ingin tahu yang jelas, bahkan sedikit curiga.
"Siapa dia?" tanyanya pelan tapi tegas, menatap Davin dari ujung kepala sampai kaki.
Shannara terdiam sepersekian detik. Ia tahu kalau menjelaskan siapa Davin sebenarnya hanya akan memperkeruh suasana.
"Oh... ini Davin," ucapnya akhirnya, mencoba tersenyum. "Dia temenku. Aku tadi panik banget, jadi aku minta tolong dia bantu ngurus Ibu."
Kebohongan kecil yang terasa besar di dadanya.
Dilan menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Tapi akhirnya ia hanya mengangguk pelan, walau dari caranya menghela napas, jelas ada yang ia tahan.
Dilan lalu duduk di samping Shannara. "Jadi ... sebenarnya kenapa Ibu bisa pingsan?" Pertanyaan itu sederhana, tapi membuat Shannara menunduk. Ada ragu di wajahnya.
Dilan segera menenangkan, suaranya lembut. "Hei, nggak apa-apa. Cerita aja. Siapa tahu aku bisa bantu sesuatu."
Shannara menatapnya sejenak, lalu akhirnya bicara lirih. "Adikku, Lan ... dia bikin masalah lagi. Masuk kantor polisi. Dua temannya datang kerumah mengabari mungkin ibu syok jadi pingsan."
Dilan memejamkan mata sebentar. Ia sudah tahu reputasi adik tiri Shannara, selalu jadi sumber masalah. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung membuat hatinya ikut berat. "Masalah apa kali ini?" tanyanya pelan.
"Aku belum tahu detailnya," jawab Shannara, menatap lantai. "Mereka cuma bilang kasusnya agak rumit."
Belum sempat Dilan bertanya lagi, Davin tiba-tiba ikut bicara, suaranya tenang tapi terasa tegas.
"Kalau Nona Shannara mengizinkan, saya bisa bantu urus. Saya kenal beberapa orang di sana. Mungkin bisa dipercepat atau difasilitasi."
Kedua pasang mata langsung menoleh padanya Dilan menatap tajam, Shannara terkejut.
Dilan mengerutkan kening. "Anda ini siapa, ya? Kok tiba-tiba ikut campur urusan keluarga orang?"
Nada suaranya masih sopan, tapi dingin.
Shannara buru-buru menengahi. "Nggak apa-apa, Dilan. Davin cuma maksudnya baik. Tapi kamu udah cukup bantu aku hari ini, Davin. Aku nggak mau ganggu waktu kamu terus. Kamu juga pasti capek, kan?"
Ia mencoba tersenyum tulus. "Aku bukan ngusir, sungguh. Cuma... aku nggak enak aja."
Davin menggeleng, tetap tenang. "Tidak apa-apa, Nona. Saya baik-baik saja."
Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, Dilan berkata datar, "Lebih baik pulang aja. Sekarang ada saya di sini."
Suasana menegang seketika. Sorot mata dua pria itu bertemu, tenang di permukaan, tapi ada bara kecil yang menyala di dalamnya. Shannara bisa merasakan hawa dingin di antara mereka, seperti dua kutub yang saling menolak.
Untungnya, dokter datang dan memecah ketegangan. "Maaf, Nona Shannara," ucapnya ramah. "Ibu Anda sudah stabil. Kami akan pindahkan beliau ke ruang rawat."
Mereka bertiga segera mengikuti perawat menuju ruangan. Tak lama setelah dipindahkan, ibunya mulai sadar. Mata tua itu terbuka perlahan, menatap Shannara yang langsung menggenggam tangannya. Namun, yang terjadi setelahnya membuat Shannara tertegun.
Ibunya menggenggam lengannya lebih erat dari sebelumnya, erat hingga nyaris menyakitkan. Air mata jatuh dari sudut matanya.
"Shannara..." suaranya serak, penuh harap. "Tolong ... bantu adikmu. Aku mohon. Pergi sekarang, kesana. Lakukan sesuatu."
Shannara terpaku.
Untuk pertama kalinya, ibunya memohon padanya. bukan memerintah, bukan menuntut, tetapi benar-benar memohon. Dan di saat itu, Shannara tahu ... malam ini belum akan berakhir.