Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Sesaat wanita paruh baya itu termenung. "Nak, apa kamu lupa apa yang sudah kamu perbuat terhadapnya?"
"Perbuat apa Bu? Benar. Jika aku meninggalkannya tanpa memberi nya kabar. Tapi aku pernah berjanji akan kembali hanya untuknya. Dan apa yang sudah ia perbuat. Ia malah menikah dengan laki-laki lain."
"Dev, apa kamu tidak pernah merasa kamu pernah memberikan sebuah surat untuknya?"
Pemuda itu menautkan kedua alisnya. "Surat apa yang ibu maksud?"
Benar seperti dugaannya. Ini pasti ada yang salah. Putranya tidak mungkin melakukan hal sekejam itu pada gadis yang begitu ia cintai.
Bu Naumi lantas masuk ke dalam kamar. Ia berharap masih menyimpan sebuah bukti agar kesalahan pahaman ini terbongkar.
"Ah, syukurlah. Aku tidak langsung membuangnya tempo hari," gumam Bu Naumi setelah mendapatkan sesuatu di dalam laci kamarnya.
"Ini. Apa kamu benar-benar tidak merasa pernah menulis surat ini?" Beliau menyerahkan sebuah kertas ke hadapan putranya.
Dev mengambil dan membaca surat itu dengan seksama. "Apa maksud semua ini, Bu?" Jelas dia butuh penjelasan.
"Karena isi surat itu, Nay meninggalkanmu dan akhirnya memutuskan menikah dengan laki-laki lain."
Tangannya tiba-tiba bergetar. "Tidak mungkin. Apa maksud dari semua ini. Siapa yang menulis surat ini."
"Itulah yang harus kamu cari tahu. Jika kamu tidak merasa menulisnya. Lalu siapa dan kenapa harus ada surat seperti itu."
"Bu, tolong ceritakan semuanya."
"Duduklah Nak. Ibu akan menceritakannya dari awal." Bu Naumi menarik tangan Dev untuk duduk. Beliau akan menceritakan semuanya agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi.
Tangan Dev terkepal kuat sampai urat-urat di lengannya menegang. Rahangnya mengeras dengan wajah yang memerah setelah ibunya menceritakan semua kronologi yang terjadi pada Nay waktu itu.
'Brengsek! Jadi siapa yang sudah menulis surat ini. Dia begitu apik melakukan skenario murahan seperti ini. Dan sialnya. Bagaimana aku sampai tidak mengetahuinya,' geram Dev.
Tatapan matanya menusuk meremas surat. "Aku harus cari tau siapa pelakunya, Bu. Paman. Ya, semuanya dimulai dari paman."
Ia yang hendak bangun kini terduduk lagi karena merasakan kakinya lemas. Tatapannya berubah getir saat membayangkan betapa hancur hati Nay saat itu.
"Kenapa semua ini terjadi padaku, Bu. Kenapa takdir seolah mempermainkan kami." Dev mengusap wajahnya kasar.
"Dev sangat mencintai Nay Bu, dan aku yakin, Nay pun merasakan hal yang sama. Tapi kenapa harus ada skenario seperti ini. Kenapa kami tidak bisa bersama." Tubuhnya berguncang dengan air mata yang luruh membasahi pipinya. Ini kali pertama Dev menunjukkan sisi rapuh pada Ibunya.
Meski dulu ia menjalani kehidupan yang memprihatinkan tanpa adanya keluarga yang utuh, tapi laki-laki itu berusaha terlihat kuat. Ia hanya tidak ingin, kelemahannya malah membuat ibunya semakin menderita.
"Aku bahkan sudah mengambil kesucian Nay hanya untuk mengikatnya, Bu." Akhirnya tercetus sudah rahasia besar yang sudah putranya lakukan.
Mata Bu Naumi membeliak sempurna. "Apa yang baru saja kamu katakan, Nak?"
Dev menatap ibunya dengan wajah sendu. "Iya Bu. Kami sudah melakukan hal itu. Karena saat itu kami begitu yakin dengan cinta kami yang tidak mungkin terpisahkan."
Plak!
Bahkan untuk pertama kalinya ibunya melayangkan sebuah tamparan. Wajahnya yang selalu terlihat lembut, kini berubah penuh amarah.
"Kamu sudah tidak waras, Dev. Bagaimana bisa kalian melakukan hal itu. Itu hal yang sangat dilarang dalam agama kita. Kalian sudah melakukan dosa besar," ucapnya geram.
"Dev benar-benar bersalah, Bu."
Laki-laki itu memegangi lutut ibunya. Meminta pengampunan. "Maafkan Dev, Bu."
"Bagaimana bisa kamu melakukan hal yang begitu ceroboh. Mengambil kesucian seorang gadis sama saja mengambil sebuah kehormatan. Kamu bahkan tidak pernah membayangkan bagaimana dia menjalani kehidupannya setelah itu dan bagaimana dia menjalani pernikahan dengan keadaannya yang sudah ternoda. Apakah laki-laki lain bisa menerimanya?" Lirih Bu Naumi yang membuatnya sendiri tersentak.
"Dev, apakah Nay tidak bahagia dengan pernikahannya. Kemarin ibu lihat, gadis itu tergugu saat ibu menemuinya di luar."
Dev mendongakkan wajah, menatap ibunya dengan penuh arti.
"Ibu menangkap kesedihan di matanya. Dan ibu yakin, ada sesuatu yang tidak beres dengan kehidupannya saat ini." Bu Naumi menyimpulkan prasangkanya.
Ya. Dev melihat sendiri ibunya menemui Nay di luar. Tapi apakah yang dikatakan ibunya adalah benar. Bahwa Nay tidak bahagia dengan pernikahannya sekarang?
"Aku akan cari tau bagaimana Nay menjalani kehidupannya saat ini. Akan ku pastikan dengan mata kepalaku sendiri," lirih Dev hampir bergumam.
* * *
Dengan mata memerah dan rahang yang mengeras Dev mencengkram kerah kemeja seseorang. "Paman, apa kau dibalik semua ini?" tanyanya penuh geram.
"A-apa maksudmu Dev. Lepaskan tanganmu. Paman kehabisan nafas," ucapnya terbata.
Laki-laki itu bisa melihat kalau keponakannya saat ini sedang marah besar. Nafasnya tersenggal sampai terbatuk saat Dev melepaskan cengkraman tangannya.
"Apa kau mau pamanmu ini mati, hah?"
"Paman," ucapnya tertahan. Kemarahan keponakannya itu belum melunak. Tatapan terhunus Dev seolah ingin membelah tubuh pamannya, membuat laki-laki itu menelan salivanya susah payah.
Dev mengeluarkan secarik kertas dan melemparnya ke tubuh paman yang ditangkapnya gelagapan.
'Sial. Kenapa bocah ini bisa mengetahuinya.' Paman Dev mengeram kesal.
Dev dapat menangkap kegugupan di mata pamannya. Hingga pemuda itu bisa menyimpulkan sesuatu.
"Katakan!"
Paman memalingkan wajahnya.
"Paman belum tau, kalau saat ini aku bahkan ingin membunuh seseorang dengan tanganku sendiri."
Dev kembali mendekat. "Katakan paman! Kalau paman dibalik semua ini!" Bahkan suaranya memenuhi langit-langit.
"Tu-tungu, Dev." Paman melangkah mundur. Ia sempat melirik tangan Dev yang mengambil vas bunga di atas meja.
"Dev, apa yang kamu lakukan?" Tubuhnya berkeringat dingin saat vas itu menggantung di udara.
"Bayangkan paman. Jika benda ini mengenai kepala paman. Apa vas ini akan hancur atau kepala paman sendiri." Seringai tipis muncul.
'Gila. Kenapa bocah ini menakutkan sekali si. Gak ayah gak anak, sama gilanya.' Berkali-kali laki-laki itu menelan ludahnya kasar.
"Kesabaranku benar-benar habis." Dev mengangkat vas itu tinggi ke udara, siap dibenturkan.
"Paman. . ." geram Dev. Suaranya penuh amarah.
"Itu ulah ayahmu, Dev." Akhirnya tercetus kalimat yang seharusnya sejak tadi laki-laki itu katakan.
Tangan Dev mencengkram kuat vas yang masih berada di tangannya. Kilatan amarah benar-benar terpancar seperti petir yang siap menyambar.
Dev benar-benar melemparkan vas itu. "Dev. . ." teriak paman berusaha menutupi kepala dengan kedua tangannya.
Pranggg. . .
Vas itu melayang deras dan menghantam tembok dengan keras. Pecahannya berhamburan, bunga-bunga terlempar acak, airnya mengalir membasahi lantai. Suara benturan masih menggema, seolah mewakili letupan amarah yang tak bisa dibendung.
Nafas paman tersendat-sendat. Ia melihat akhirnya tembok lah yang menjadi sasaran amarah keponakannya. Untung saja bukan kepalanya. Ia bergidik saat melihat serpihan kaca yang terburai dimana-mana.
"Kamu gila, Dev. Bagaimana kalau benda itu mengenai kepala pamanmu ini, huh."
"Paman belum lihat, akan segila apa aku nanti."
Laki-laki itu melihat punggung keponakannya yang menghilang di balik pintu.
"Akan terjadi perang dunia ketiga," gumamnya lirih dengan lutut yang masih lemas.