NovelToon NovelToon
Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng

Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Ketos / Murid Genius / Teen Angst / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api Dalam Diam

Suasana kelas Hasanudin udah kayak pasar malam. Semua anak baru heboh latihan yel-yel, tapi bukannya kompak malah makin chaos.

“Hasanudiiin… semangaattt!” teriak Rio sambil ngangkat botol minum kayak toa.

Kiara langsung nyamber, “eh lo jangan sumbang gitu suaranya, bikin telinga sakit!”

Semua anak ketawa ngakak, termasuk Citra yang sampai nutup mulut biar nggak terlalu kelihatan.

Sementara itu, ada anak lain yang malah beatbox asal-asalan, bikin suasana makin pecah. Yel-yel yang seharusnya semangat malah jadi kayak stand-up comedy gratis.

“Eh serius napa sih, ntar kalo salah malah makin dimarahin senior,” protes salah satu cewek.

Tapi tetap aja, bukannya serius malah ada yang joget-joget nggak jelas.

Citra ikutan senyum kecil, rasa deg-degan habis ketemu Dion tadi sempet agak mereda. Tapi begitu matanya tanpa sengaja ketemu tatapan Raka… suasana hatinya langsung berubah.

Raka berdiri bersandar di meja belakang, tangannya nyelip di saku, matanya nyorot dingin ke arah Citra.

Waktu Citra salah gerakan yel-yel dan diketawain Rio, Raka bukannya ketawa, malah ngelirik tajem.

Kiara nepuk bahu Citra, “santai aja, Cit, namanya juga latihan.”

Tapi Raka tiba-tiba nyeletuk, nadanya agak ketus, “Santai mulu… lo kira gampang jadi beban satu kelompok?”

Suasana kelas yang tadinya ketawa-ketawa langsung agak hening. Beberapa anak melirik ke arah mereka, ngerasa hawa jadi beda.

Citra kaget, hatinya panas. Tapi dia milih diam, cuma gigit bibir nahan rasa nggak enak.

Kiara langsung ngelotot ke Raka, “eh bro, lo apaan sih ngomong gitu ke Citra? Baru juga latihan!”

Rio yang biasanya cuek pun ikutan nimbrung, “yaelah Rak, jangan bikin tegang lah, lagi asik gini.”

Tapi tatapan Raka tetep ngunci ke Citra, kayak ada sesuatu yang numpuk di pikirannya.

Citra yang dari tadi diem akhirnya nggak tahan juga. Dia ngangkat kepalanya, matanya balik natap Raka dengan tenang.

“Kalau gue beban, kenapa lo nggak sekalian ajarin daripada cuma nyindir?” suara Citra terdengar jelas, bikin beberapa anak langsung “Woooo…” kayak lagi nonton bola.

Raka agak kaget, nggak nyangka Citra berani balas. Dia maju selangkah, nyengir tipis, “Oh jadi lo ngerasa pantes diajarin gue? Baru juga masuk udah songong ya.”

Citra ngehela napas, berusaha nggak terpancing. “Songong atau nggak, yang jelas gue nggak suka diremehin.”

Kalimat itu keluar begitu aja, tapi sukses bikin kelas makin hening.

Kiara langsung merangkul bahu Citra, bisik, “Buset berani banget lo, Cit. Gue suka nih!”

Rio tepuk tangan pelan, “Akhirnya ada yang ngelawan si Raka…”

Sementara itu, Raka bukannya marah… justru makin tertarik. Tatapannya makin dalam, seolah lagi nguji keberanian Citra.

“Hmm… oke, gue liat-liat lo bukan cuma culun doang ternyata,” kata Raka lirih, lalu balik duduk sambil nyengir misterius.

Citra duduk lagi, tapi jantungnya deg-degan. Rasanya antara lega karena berhasil jawab balik… tapi juga bingung kenapa Raka kayak makin ngeliatin dia setelah itu.

Kelas Hasanudin yang tadinya ribut langsung makin panas gara-gara Citra dan Raka saling balas kata. Kiara sampe semangat sendiri, sementara anak-anak lain ada yang tepuk tangan, ada juga yang nyeletuk “Asik nihhh perang dingin.”

Tiba-tiba brak! pintu kelas dibanting.

Kak Sherly masuk dengan wajah jutek plus tangan bawa clipboard.

“APA-APAAN INI RAME BANGET?!” suaranya nyaring bikin semua anak baru langsung kaget.

Citra refleks nunduk, Raka malah nyengir tipis tapi tetep diam.

Sherly jalan ke tengah kelas, matanya nyapu semua murid. “Lo semua tuh OSPEK, ngerti nggak? Bukan ajang gosip, bukan arena stand up comedy!”

Beberapa anak langsung ciut, suasana yang tadinya kayak pasar malam langsung hening.

Sherly berhenti pas di depan meja Raka dan Citra. “Lo berdua… bisa tenang nggak sih?!” nadanya tegas, bikin Citra langsung ngeremas rok seragamnya.

Raka cuma ngangkat alis, sok santai. “Tenang kok, Kak.”

Citra pelan jawab, “I-iya, Kak. Maaf.”

Sherly mendengus. “Bagus. Mulai sekarang fokus sama tugas lo. Gue nggak mau ada drama nggak jelas. Kalau masih ada yang ribut, gue kasih sanksi langsung.”

Sherly lalu balik ke depan kelas, ngasih instruksi soal yel-yel lagi, dan perlahan suasana mulai lebih tenang.

Tapi Citra masih bisa ngerasain tatapan Raka dari samping. Tatapan yang entah kenapa bikin jantungnya makin nggak karuan.

*

*

*

*

Malam di Rumah Mahardi

Lampu kristal ruang makan keluarga Mahardi berkilau lembut. Aroma lilin lavender menenangkan, tapi hati Citra tetap penuh gelisah.

Di meja makan panjang yang megah itu, hanya dia seorang. Sup krim dan steak kecil terhidang rapi, namun hanya disentuh sekedarnya.

Matanya kosong menatap sendok.

“Kenapa ya… di sekolah aku selalu jadi pusat masalah? Padahal aku cuma pengen hidup tenang, biasa aja…” batinnya lirih.

Selesai makan, langkah kakinya bergema di lorong marmer menuju kamar.

Begitu masuk, suasana elegan menyambut: dinding gothic Eropa, ranjang canopy putih dengan sprei satin, dan meja rias berhiaskan foto ibunya yang sudah tiada.

Citra duduk di depan meja rias, meraih foto itu. Jarinya mengusap kaca bingkai pelan.

“Mami… andai Mami masih ada, Citra bisa cerita semua. Rasanya capek banget pura-pura kuat…” bisiknya, suara tercekat.

Ia lalu merebahkan tubuh di ranjang, menarik selimut tipis. Pandangannya kosong menatap langit-langit.

Jantungnya masih berdegup cepat setiap kali bayangan Dion di kelas kosong tadi siang terlintas. Antara takut, kesal… tapi juga ada sesuatu yang aneh, tak bisa ia mengerti.

Tok tok.

ART masuk dengan sopan. “Non, ada telepon dari Tuan.”

Citra refleks bangun duduk. “Papi…?”

ART mengangguk sambil menyerahkan gagang telepon rumah.

Suara berat dan tenang Tuan Mahardi terdengar dari seberang.

“Citra, sayang… gimana hari pertamamu di sekolah baru?

Suara berat tapi penuh kehangatan terdengar dari gagang telepon.

“Citra, sayang… gimana hari pertamamu di sekolah baru?”

Citra menggigit bibir, menahan isak kecil. “Baik, Pi… ya, lumayan capek sih, soalnya ada OSPEK juga. Tapi Citra bisa kok.”

Tuan Mahardi terdiam sebentar, lalu suaranya terdengar lebih lembut.

“Kalau capek jangan dipendam sendiri, Nak. Kamu tuh nggak sendirian. Ada Papi, ada semua yang sayang sama kamu.”

Citra tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Iya, Pi…”

Ada jeda singkat sebelum Papi melanjutkan, suaranya dibuat ceria.

“Eh, minggu depan Papi pulang dari Singapura. Kamu mau hadiah apa, hm? Apa aja, bilang sama Papi.”

Citra termenung sebentar, lalu tertawa kecil.

“Hadiah? Hmm… Citra nggak mau apa-apa deh, Pi. Yang penting Papi pulang aja, itu udah cukup.”

Tuan Mahardi terkekeh. “Ah, masa nggak mau? Biasanya anak perempuan Papi selalu minta boneka baru, tas baru, atau… apa tuh, sneakers mahal itu.”

Citra ikut tersenyum. “Hehe, iya sih… tapi kali ini beneran nggak, Pi. Citra cuma kangen Papi.”

Suara di seberang telepon terdengar menghangat.

“Papi juga kangen kamu, Nak. Kamu anak yang kuat ya. Sebentar lagi Papi pulang, kita dinner bareng, ngobrol lama. Papi janji.”

“Hmm… janji ya, Pi? Jangan batalin lagi kayak dulu…” suara Citra melemah.

Ada jeda hening yang penuh rasa bersalah.

“…Iya, Papi janji. Kali ini nggak akan batal.”

Citra tersenyum kecil, menatap foto ibunya di meja rias.

“Iya, Pi. Citra tunggu.”

Setelah menutup telepon, Citra menarik selimutnya lagi. Hatinya hangat, tapi juga masih ada ruang kosong yang tak terisi.

1
Ical Habib
lanjut thor
Siti H
semangat... semoga sukses
Putri Sabina: maksih kak Siti inspirasi ku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!