seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Lu Ban menatap Rynz yang masih duduk bersila dengan tenang di atas batu. Kabut tipis menyelimuti kolam, sementara empat murid lain sudah tampak hampir tak tahan—wajah pucat, napas tersengal, tubuh gemetar menahan rasa sakit yang menggerogoti dari dalam.
Namun Rynz tetap tak bergeming.
Seolah rasa sakit yang mengamuk dalam tubuh keempat murid lain hanyalah hembusan angin lewat baginya.
Lu Ban mengerutkan kening.
Ia mengangkat sebelah tangan dan melepaskan sedikit kekuatan spiritualnya—sebuah pancaran cahaya keemasan tipis menyelimuti tubuh Rynz. Ia mengamati dengan saksama.
Dan…
tidak ada reaksi.
Energi itu seharusnya merangsang jalur nadi Rynz untuk menunjukkan riak—setidaknya pancaran aura yang menandakan pembersihan sedang terjadi. Namun yang muncul justru adalah…
Kekosongan.
Atau lebih tepatnya—
api hitam pekat yang seperti menelan energi itu hidup-hidup.
Bukan menolaknya, bukan juga memantulkannya. Tapi membakarnya habis, menghilangkan jejaknya seolah tak pernah ada.
Lu Ban langsung terdiam.
Wajahnya berubah serius.
Ia menatap Rynz dengan pandangan yang kini tak lagi santai, tapi penuh analisis.
Lalu pelan-pelan ia bergumam…
"…Inti Void."
Li Jiu di sampingnya melirik cepat.
"Guru?"
Lu Ban tetap menatap ke arah Rynz, namun nada suaranya pelan, seolah hanya untuk dirinya sendiri.
"Beberapa waktu lalu, langit retak.
Ratusan kultivator dari berbagai ras terbang di langit demi memperebutkan sesuatu yang bahkan kekaisaran tak bisa kendalikan…
…sebutir kristal, dijuluki Inti Void."
Ia menyipitkan mata, seperti sedang menyatukan potongan-potongan kecil dari sebuah teka-teki yang telah lama terpecah.
"Inti itu pecah… dan serpihan kecilnya tersebar ke segala arah.
Jika ada seseorang… yang tidak memiliki kekuatan, tidak memiliki nadi kuat… namun mampu menelan pecahan itu tanpa terbakar…"
Matanya tajam, seperti menembus tubuh Rynz.
"Kau…"
"…apakah kau memiliki pecahan dari benda itu?"
Hening menggantung di udara.
Rynz tetap duduk bersila… namun kini perlahan membuka mata.
Tatapannya kosong, lelah, namun dalam.
Dan tanpa menjawab, ia hanya berkata pelan…
"Aku tidak tahu benda apa itu… tapi aku menelannya saat kelaparan."
Lu Ban menghela napas panjang. Tatapannya tak lepas dari wajah Rynz, yang kini mulai duduk tegak dan menatap balik dengan sorot mata yang… tidak tahu apa-apa, namun menyimpan sesuatu yang tidak dimiliki siapa pun di tempat itu.
"Pecahan itu… bukan sekadar batu langit biasa," ucap Lu Ban dengan suara yang mulai terdengar berat.
"Inti Void adalah benda yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Itu adalah sisa dari kehancuran ranah tertinggi—dimensi di atas para immortal, yang tak bisa diakses oleh manusia maupun makhluk suci sekali pun."
Li Jiu berdiri kaku di samping gurunya.
Wajahnya tegang, tidak lagi menyembunyikan kekhawatiran.
"Setiap pecahan dari Inti Void mengandung kekacauan yang belum dipahami… kekuatan asing yang tidak bisa dikendalikan oleh sistem alam semesta biasa. Bahkan Immortal sendiri bisa binasa jika mencoba menyatu dengannya."
Lu Ban melangkah perlahan ke depan, mendekati tepi kolam.
"Kau bilang kau menelannya karena kelaparan… dan tubuhmu tidak hancur. Justru sebaliknya, tubuhmu sembuh, dan… tanganmu tumbuh kembali dengan simbol api hitam itu."
Ia menunjuk samar ke arah tangan kiri Rynz yang kini terkulai di sisi paha, tenang… namun dingin seperti batu.
"Itu bukan api biasa. Itu adalah jejak dari kehendak Void."
"Jika ada sesuatu di dunia ini yang bisa melahap racun, energi, bahkan roh lain tanpa sisa… maka itu adalah Api Hitam Void."
Rynz masih diam. Mulutnya terbuka sedikit, ingin bertanya, namun tak tahu harus mulai dari mana.
Lu Ban melanjutkan,
"Sayangnya, kekuatan seperti itu… tidak akan pernah memberimu kedamaian. Kau tidak akan pernah diterima sepenuhnya oleh dunia ini. Dunia akan menolakku."
"Karena dirimu—"
"—adalah anomali. Sebuah penyimpangan dari jalur yang seharusnya."
Li Jiu menunduk, namun tidak berkata apa-apa. Ia tahu, sejak melihat serangan Rynz pertama kali, bahwa pemuda itu tidak seperti mereka.
"Namun justru karena itu…"
Lu Ban kini menatap Rynz dengan tatapan yang berbeda.
"...kau akan kubimbing sendiri. Sampai aku bisa memastikan apakah kau akan menjadi penentu keseimbangan dunia ini… atau pemicu kehancurannya."
Angin berhembus lembut. Kabut mulai terangkat dari kolam.
Rynz akhirnya menjawab, suaranya pelan… namun tegas:
"Kalau begitu… setidaknya beri aku kesempatan untuk mengetahui siapa diriku sebenarnya."
Lu Ban tersenyum kecil.
"Dan itulah yang akan kita mulai… dari pelatihan tahap kedua."
Lu Ban berdiri di tengah lembah, tubuhnya tegap, lengan bersedekap di balik jubah abu-abunya yang sederhana. Di hadapannya, Rynz berdiri diam, masih dengan lengan kirinya yang dibalut perban baru. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah dan embun pegunungan.
"Dengarkan baik-baik, Rynz," ucap Lu Ban perlahan.
"Sekte ini bernama Lembah Angin. Bukan karena anginnya sejuk, tapi karena kami menghormati elemen yang tak bisa dilihat, namun mampu menembus segalanya."
"Aku tidak memiliki teknik api. Bahkan tidak ada satu pun warisan api dalam sekte ini."
Rynz sedikit terkejut. Ia menatap wajah gurunya, seolah menunggu penjelasan lebih.
Lu Ban mengangguk pelan, lalu melanjutkan:
"Angin itu tidak membakar. Tapi menajam. Ia tidak menghancurkan dari depan, tapi menggerogoti dari sisi yang tak terduga. Kami tidak menerobos kekuatan musuh… kami mengiris sedikit demi sedikit… hingga yang tersisa hanyalah kehampaan."
Ia mengangkat satu jari, dan angin di sekeliling mereka mulai berputar, membentuk pusaran kecil di ujung jarinya—nyaris tak terlihat, namun suara tipisnya seperti peluit tajam yang meresap ke dalam kepala.
"Kau memiliki sesuatu dalam tubuhmu yang bertentangan dengan semua ini," ucap Lu Ban, matanya menatap tajam, "Api hitam itu… adalah kehendak penghancur. Ia akan bertabrakan dengan setiap konsep pengendalian yang kubawa di tempat ini."
"Namun justru karena itulah aku harus melatihmu langsung."
Lu Ban berjalan perlahan mengelilingi Rynz.
Angin di sekitarnya seperti bergerak sesuai langkahnya, mengikuti, menyelubungi, mengintai.
"Bakatmu bukan pada teknik… bukan pula pada akar spiritualmu. Tapi pada tubuhmu yang menolak logika dunia ini."
"Dan untuk membuatnya bertumbuh…"
"…aku harus membuatmu menderita."
Tanpa aba-aba, Lu Ban mengibaskan lengan bajunya.
Pusaran angin tipis melesat seperti cambuk, menghantam pundak Rynz.
"GHAAK!!"
Tubuh Rynz terpental ke belakang, berguling dua kali di tanah. Tapi belum sempat berdiri—
serangan kedua datang.
Angin dari bawah menggulung tanah, menghantam punggungnya, melemparkannya ke udara. Tubuhnya kembali terhempas.
"Bangun."
Suara Lu Ban dingin.
"Kau tidak bisa menggunakan apimu? Bagus. Aku tidak akan mengajarkan api."
"Aku akan mengajarkan bagaimana menahan kekuatan tanpa membiarkannya meledak. Aku akan mengajarimu untuk bertahan dalam tekanan, sampai tubuhmu tahu… kapan harus menyalakan nerakamu sendiri."
Rynz terbatuk, darah mengalir dari bibirnya. Tapi ia tidak menjawab.
Ia hanya mengepalkan tangan…
dan perlahan… berdiri lagi.
Langit Lembah Angin perlahan berubah menjadi kelabu. Awan tebal menutup sinar matahari, membuat suasana lembah terasa semakin sunyi dan dingin. Suara denting angin yang terus berhembus seolah menjadi irama dari pelatihan brutal yang baru dimulai.
Rynz berdiri tegak, tubuhnya gemetar, sebagian pakaiannya koyak.
Darah mengalir dari sudut bibir dan luka-luka memar tampak di beberapa bagian tubuhnya. Namun matanya tetap terbuka—tajam, penuh tekad.
Lu Ban melangkah perlahan ke arah sebuah area terbuka, dikelilingi batu-batu besar yang disusun seperti arena kecil.
"Mulai hari ini, kau akan menjalani Pelatihan Lima Tingkatan Angin."
"Tingkat pertama: Tahan angin.
Tingkat kedua: Rasakan angin.
Tingkat ketiga: Berjalan dalam angin.
Tingkat keempat: Menentang angin.
Tingkat kelima…"
Ia berhenti, lalu menatap tajam.
"…menjadi bagian dari angin."
Rynz tidak menjawab. Dia tahu, setiap kata yang keluar dari mulut Lu Ban bukan sekadar teori, tapi perintah langsung dari seseorang yang hidup dan bernapas dengan elemen itu.
Latihan pun dimulai.
Tingkat Pertama: Tahan Angin
Rynz disuruh berdiri di tengah pusaran angin yang diciptakan oleh Lu Ban.
Angin itu bukan sekadar tiupan biasa—ia seperti ribuan jarum kecil yang menyerang kulitnya dari segala arah, menyayat, menggores, dan memukul dengan tekanan konstan.
Setiap kali ia jatuh, ia harus berdiri lagi.
Setiap kali kakinya terpeleset, angin justru menghempaskannya lebih keras.
"Tahan. Jangan gunakan tangan kirimu."
Suara Lu Ban menggema.
"Jika kau mengandalkan api itu, kau akan menjadi budaknya, bukan tuannya."
Rynz mencengkeram tanah dengan gigi bergemelutuk, menahan tubuhnya agar tetap tegak.
Tingkat Kedua: Rasakan Angin
Hari berikutnya, Lu Ban menutup mata Rynz dan menyuruhnya berdiri di atas papan kayu sempit yang diletakkan di atas kolam kecil.
Tiupan angin dari berbagai arah datang secara acak. Jika Rynz kehilangan keseimbangan, dia akan tercebur dan harus mengulang dari awal.
"Angin tidak memiliki bentuk, tapi dia membawa niat. Kau harus merasakannya, bukan melihat."
Setiap kali angin berhembus dari arah yang tak terduga, Rynz terguncang. Tapi perlahan, ia mulai menangkap ritmenya. Kadang dari depan, kadang dari bawah, kadang menyelinap dari sela-sela.
Tubuhnya mulai menyesuaikan diri.
Ia mulai mengenal arah, tekanan, dan niat dari angin itu.
Tingkat Ketiga: Berjalan dalam Angin
Lu Ban melemparkan Rynz ke tepi jurang lembah.
Sebuah jembatan sempit dari tali membentang di antara dua tebing.
"Lewati jembatan itu. Tapi kali ini, aku akan mengganggumu."
Rynz menoleh, dan tiba-tiba—
serangan-serangan angin seperti bilah tajam menyambar dari samping.
Angin memotong tali, mengguncang jembatan, membuatnya bergoyang liar.
Rynz melangkah pelan. Tangannya berpegangan erat. Beberapa kali hampir jatuh, tapi dia bertahan. Angin terus memukul tubuhnya, tapi kakinya terus menapak.
Ia belajar melangkah dalam badai.
---
Hari demi hari berlalu.
Luka baru muncul, namun luka lama belum sempat sembuh.
Namun dalam diam… tubuh Rynz berubah.
Matanya mulai mengikuti arah angin.
Langkahnya lebih ringan.
Dan meski tangan kirinya masih dibungkus kain, ia belum sekalipun mencoba memanggil apinya.
Lu Ban mengamati dari jauh, lalu bergumam:
"Bagus… kendalikan tubuhmu dulu… baru kendalikan kekuatanmu."