Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Pisah.. lebih baik!
Tessa terkejut mendapati Rajata berdiri di depan rumah. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras, aura dingin menyelimuti sosoknya yang menjulang di bawah lampu teras.
"Masih inget jalan pulang lo?" Sindir Rajata suaranya rendah namun ada tekanan kuat di setiap katanya.
Tessa hanya melirik sekilas ke arah Rajata, tatapannya datar. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia lalu berjalan melewati Rajata, berniat mengabaikan pria itu begitu saja. Namun, tangan besar Rajata lebih cepat bergerak, menahan pergelangan tangannya dengan erat.
"Gue lagi ngomong sama lo," desis Rajata, suaranya dalam menahan amarah.
Tessa menoleh, tatapannya tajam. "Apa sih, Ja...?" ucapnya dingin.
"Gue mau kemana aja itu urusan gue. Mending lo urusin aja tuh mantan lo," sambung Tessa dengan nada sindiran.
Ucapan itu membuat Rajata terdiam seketika. Sorot matanya sedikit meredup. Cengkeraman di tangan Tessa perlahan melonggar. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Tessa untuk melepaskan diri dan melangkah cepat menuju kamarnya tanpa menoleh sedikit pun.
Rajata tak tahan hanya diam di luar. Ia langsung menyusul Tessa ke dalam rumah dengan langkah lebar.
"Gue sama Liora udah nggak ada apa-apa. Tadi cuma nggak sengaja ketemu," jelas Rajata begitu sampai didalam kamar.
"Lo tau dari mana?" lanjutnya
Tessa terkekeh kecil, lalu menoleh dengan tatapan sinis yang menusuk. "Nggak sengaja ketemu... sampai pegangan tangan gitu?" sindirnya pelan, namun tajam di telinga Rajata.
"Udahlah, Ja. Kalau emang lo masih sayang sama dia, nggak papa mending kita pisah aja."
Ucapan itu membuat Rajata menatapnya tajam, napasnya tertahan di tenggorokan, seolah menahan badai di dadanya. "Pisah? Lo pikir gampang mutusin hubungan?"
"Dari pada kayak gini terus, Ja. Keluarga lo juga nggak ada yang suka sama gue."
"Lo nggak lupa kan. Nyokap lo aja sengaja ninggalin gue di Supermaket seharian!" Ia memberi jeda sejenak. Ada sesak di dadanya ketika ingat bagaimana dia menunggu sampai malam didepan Supermarket itu.
"Kita juga nggak saling cinta Ja. Jadi buat apa kita pertahanin?" Tessa balas menatapnya, matanya berkaca-kaca meski ia berusaha tegar.
Rajata terdiam. Seharusnya ucapan Tessa membuatnya senang kan?, tapi kenapa... kenapa kalimat itu justru membuat dia marah.
Rajata memejamkam mata sejenak, mencoba menetralkan rasa marah, kecewa dan sesak yang menekan nya sekaligus.
"Gue nggak mau lo bahas lagi soal pisah!" potong Rajata tajam sebelum melangkah keluar kamar, meninggalkan Tessa yang terdiam.
Begitu suara pintu tertutup, air mata Tessa jatuh perlahan. Ia terduduk di lantai. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Entah harus bagaimana lagi... Kenapa Rajata justru bersikap demikian.. seolah ingin mempertahankan, padahal hatinya sendiri masih milik orang lain?
***
Pagi itu, Tessa baru saja merapikan barangnya dan dikemas ke salam totebag putih favorite nya. ketika Rajata berdiri di depan pintu kamar, menyandarkan tubuh pada kusen dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tajam, membuat Tessa sedikit ragu untuk melewati suaminya itu. Namun langkahnya terhenti ketika suara berat Rajata memanggilnya dari belakang.
"Tess"
Rajata melangkah mendekat, lalu mengeluarkan sebuah kartu debit dari saku celana dan menyodorkannya ke Tessa.
"Buat semua kebutuhan lo. Lo pake ini."
Tessa mengerjap, menatap kartu itu dengan bingung.
"Nggak perlu. Gue..masih ada tabungan," ujarnya datar.
Ia melanjutkam langkahnya, namun Rajata cepat-cepat menahan pergelangan tangannya. Tarikan itu cukup kuat hingga langkah Tessa terhenti.
"Jangan bikin gue dosa karena nggak nafkahin lo," ucap Rajata dengan suara rendah namun tegas. "Ambil nggak!"
Namun Tessa tetap diam, kedua tangannya mengepal, enggan menyentuh kartu itu.
"Gue bilang nggak usah Ja."
Rajata mendecak, tanpa banyak bicara ia meraih tangan Tessa, membuka paksa jemarinya, dan meletakkan kartu itu di telapak tangannya.
Setelah nya. Ia melangkah keluar kamar lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun.
Tessa terdiam, menatap punggung suaminya yang menjauh dengan perasaan campur aduk. Ada sedikit rasa hangat yang ia rasakan, tapi juga getir yang membuat dadanya sesak. Ia akhirnya memasukkan kartu itu ke dalam tas, meski ragu untuk memakai-nya.
Di ruang makan, Reza sudah duduk rapi dengan kemeja santai. Ia baru tiba dari luar kota semalam dan kondisinya jauh lebih baik dibanding minggu lalu.
Begitu melihat Tessa turun, wajah Reza langsung merekah hangat.
"Tessa... ayok sarapan dulu" ajak Reza pada menantu nya yang hampir tiga hari tidak terlihat oleh nya. Entah bagaimana kabarnya selama dia pergi ke Bandung.
Tessa awalnya ingin menolak seperti, namun melihat sorot mata Reza-ayah mertua nya itu sendu, ia jadi tidak tega menolak.
Ia mengambil duduk disamping Rajata. Seolah tempat itu memang sengaja untuknya.
"Gimana kabarnya kamu Tessa?" tanyanya lembut.
"Rajata baik sama kamu kan selama papa pergi?" Tessa resflek menoleh pada Rajata.
Yaa.. Rajata memang baik, meskipun masih dingin kalau bicara. Tapi setidaknya berkat laki-laki itu dia bisa pulang lagi kerumah..
Kemudia tatapannya beralih ke Renata—mertuanya. Ada kilatan rasa khawatir disana. Seolah takut Tessa mencerotakan kejadian tempo hari pada suami nya.
"Tessa?" Suara Reza terdengar membuat lamunan Tessa buyar.
"Rajata memperlakukan mu dengan baik kan?" Tanya nya lagi seolah menuntut jawaban.
Tessa tersenyum canggung, "Rajata baik Pa, dia bahkan rela hujan-hujan-an buat jemput aku di Supermarket"
Jawaban itu membuat jantung Renata seolah terlepas dari tempatnya.
"Bisa bisa nya dia menyinggung hal itu di depan suami nya" batinnya.
Tessa sempat melirik kearah ibu mertua nya. Ia menangkap raut wajah yang tegang dan tidak suka di waktu yang bersamaan. Namun ia memilih tidak peduli.
Rajata juga sempat menoleh ke arah ibu-nya. Dia tersenyum samar, hampir tidak terlihat saking samar nya. Seolah memberi pujian atas keberanian istri—nya.
"Bagus lah.... Papa senang mendengarnya." Ucap Reza sambil meletakkan gelas Teh hijau kembali ke tempat nya.
"Rajata.. Papa harap kamu bisa jadi laki-laki yang bertanggung jawab" Suaranya rendah namun ada tekanan dan kesungguhan di setiap kata nya. Ia menatap serius anak sulung nya.
"Suka atau tidak suka, ketika kamu mengucapkan akad, itu berarti tanggung jawab Tessa sudah resmi menjadi tanggung jawabmu!"
"Papa harap, kalian bisa mulai belajar mengenal satu sama lain" lanjut nya. Menatap lurus ke arah Rajata dan Tesa secara bergantian.
"Aku usahain Pa.." jawab Rajata mantab tidak ada keraguan disana.
Jawaban itu membuat seluruh yang ada di ruang makan menatapnya heran. Seolah berkata: "Hey Rajata, kamu becanda kan?"
Berbeda dengan Reza yang menatap nya dengan senyum bangga.
Tessa yang duduk disebelahnya sontak terkejut, mendengar jawaban spontan yang meluncur dari bibir Rajata.
"Dia nggak serius kan bilang gitu" teriak nya dalam hati.
Sedangkan di depan Rajata. Tatapan tajam Renata tertuju penuh padanya. Ia bahkan sengaja menginjak menginjak kaki anak sulung nya itu, seperti memberi peringatan tanpa kata.
Namun peringatan itu diabaikan begitu saja oleh Rajata. Sikapnya membuat darah Renata mendidih. Ada kilatan amarah yang hampir tumpah jika tidak ia tahan.
Rajata sudah selesai sarapan. Biasanya dia akan langsung berpamitan, namun hari ini, ia memilih bertahan ditempat nya, memainkan ponsel dan sekali melirik kearah Tessa disebelah nya.
Gerak-gerik itu membuat Carissa yang sejak tadi memilih diam , mulai gelisah. Ia merasa ada yang aneh dengan kakak nya.
"Kak Raja udah selesai. Tumben nggak langsung berangkat?" Tanya Carissa pada akhirnya.
Rajata menoleh, meletakkan ponsel nya diatas meja. Dengan santai menjawab "Nunggu kakak ipar mu selesai makan"
Tessa yang sadar sedang dibicarakan langsung tersedak makanannya. Sejak tadi ia kesulitan menelan setiap nasi yang masuk ke mulutnya. Entah sudah berapa kali sikap Rajata membuat nya bingung. Haruskah dia bertanya apa maksdu laki-laki disamping nya ini?..
Melihat Tessa tersedak, Rajata reflek mengambil minum kemudian memberikan nya pada Tessa. "Pelan-pelan bisa kan?" Sedikit mengomel
Carissa syok melihat sikap kakak nya itu. Seumur-umur ia tidak pernah melihat Rajata yang begitu perhatian pada orang asing.
"Jangan-jangan kak Rajata udah mulai suka nih" batinnya berteriak. "Nggak..nggak boleh!!! Ini nggak bener"
kasihan, malang benar nasibmu Tessa