Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Kedatangan Tamu
Bab 11. Kedatangan Tamu
Dua minggu berlalu setelah berkunjung ke rumah mertuanya, sedikit demi sedikit perubahan mulai terjadi.
Diantara perubahan itu yang terlihat adalah, Arumi sudah mulai bebas keluar masuk ke kamar Dimas untuk mengambil pakaian kotor dan membersihkan kamar itu. Ia tidak perlu lagi berkirim pesan terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar Dimas.
Meski tidak banyak bicara, Dimas mulai menikmati setiap sarapan yang Arumi sediakan. Juga mulai sering makan malam bersama Arumi jika ia pulang tepat waktu.
Terkadang mereka juga duduk bersama di depan balkon sambil menonton televisi meski tidak saling bicara. Arumi menonton televisi, sedangkan Dimas sibuk dengan laptopnya.
"Kenapa kau bisa bercerai?"
Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Dimas meski matanya tetap tertuju pada laptopnya.
"Eeh..."
Arumi menoleh pada Dimas. Memastikan bahwa lelaki itu tadi berbicara padanya.
"Apa aku tidak boleh tahu?" Tanya Dimas lagi.
Arumi terdiam sesaat. Ada keraguan ingin menceritakan kisah hidupnya yang pahit. Namun tidak mungkin juga mengabaikan pertanyaan Dimas yang merupakan suaminya saat ini.
"Aku pikir, kamu tidak akan peduli dengan kisah hidupku." Jawab Arumi.
"Aku hanya ingin tahu, wanita seperti apa yang aku nikahi di usia muda tetapi sudah menjadi janda."
Kata-kata Dimas terdengar pahit untuk di dengar, namun itulah kenyataannya. Namun Arumi tidak tersinggung dan berbesar hati menerima nasibnya sendiri.
"Nasib ku tidak pernah baik dalam urusan pernikahan. Menikah untuk pertama kali karena perjodohan. Menikah untuk ke dua kali karena menjadi pengganti. Sepertinya, akan sangat terdengar membosankan bila aku ceritakan."
Dimas menghentikan kegiatannya menatap laptopnya sesaat dan menoleh kepada Arumi.
"Maaf." Ucap Arumi singkat.
Tanpa sadar dirinya menyinggung Dimas yang menjadikannya pengantin pengganti.
"Aku tidak akan memaksa mu untuk bertahan. Kau boleh meninggalkan, atau mencari suami yang pantas untukmu."
Arumi yang tadinya duduk santai mendadak menegakkan tubuhnya. Ia cukup terkejut mendengar rencana dimas.
"Apa?!"
"Kenapa kau terkejut? Bukankah seharusnya kau senang? Lagi pula kita menikah karena terpaksa oleh keadaan."
Arumi menyandarkan tubuhnya lemah pada sandaran sofa. Dirinya tidak bisa berkata apa-apa mendengar ucapan Dimas.
Arumi tahu hal itu pasti terjadi, tetapi entah mengapa, hati kecilnya merasa sedih mendengar harus berpisah dengan Dimas.
Arumi menghela napas berat. Pandangan menelusup jauh ke depan. Bukan lagi ke arah televisi, tetapi pada kerlap kerlip bintang di langit malam yang terlihat di jendela balkon rumah itu.
"Ayah menjodohkan ku dengan anak temannya yang bernama Arman. Padahal teman Ayah sudah meninggal, tetapi janji mereka dia ingat sampai meninggalkan wasiat kepada anaknya untuk tetap menepati janjinya kepada Ayah. Lalu kami menikah tanpa senyumnya di hari bahagia. Aku berusaha menerima keputusan, dan menerima Mas Arman dengan tulus. Tetapi ternyata, Mas Arman tidak bisa menerima ketulusan ku. Di hari kedua usia pernikahan kami, dia mengenalkan ku kepada kekasihnya yang sudah dia pacari selama 3 tahun. Dan setelah itu, aku hanya orang asing yang berada di antara mereka. Mas Arman tidak pernah memberi ku nafkah apapun sehingga aku pun memutuskan untuk bekerja. Dan aku juga tidak bisa menceritakan keadaan ku kepada kedua orang tuaku karena pastinya, Ayah akan sangat merasa bersalah dan menyesal akan keputusannya. Aku tidak ingin orangtua ku bersedih. Lalu tiba masa kekasih Mas Arman hamil. Dan Mas Arman pun memutuskan menikahinya dan menceraikan diriku setelah mendapat ijin menikah lagi dariku."
Arumi menghela napas berat kembali karena harus mengingat kenangan pahit ketika berumah tangga dengan Arman. Dalam keheningan itu, hanya suara televisi yang terdengar di antara mereka.
"Setidaknya, kamu lebih baik dari Mas Arman. Meski kamu sedingin kutub utara, tapi kamu masih bertanggung jawab kepadaku. Dan aku merasakan peran seorang istri yang selayaknya meski tidak termasuk urusan ranjang." Kata Arumi lagi sembari di akhiri dengan tersenyum saat berbicara kepada Dimas yang memandangi dirinya.
Entah mendapat kekuatan dari mana Arumi berani berkata demikian. Membuat Dimas tersenyum getir setelahnya, tanpa Arumi tahu arti senyuman tersebut.
"Kalau kamu sudah berkata begitu...., haaah. Aku tidak akan meninggalkan mu, juga tidak akan mencari yang lain sampai kamu sendiri yang memutuskan, untuk tetap bertahan atau berpisah." Kata Arumi lagi dengan nada pasrah.
Arumi lantas beranjak berdiri. Dan perlahan berjalan menuju kamarnya meninggalkan Dimas yang tersadar di sofa menatap langit-langit rumah yang tak bersalah. Entah apa yang di pikirkan Dimas sampai-sampai ia terus merenung dan melipat kedua tangannya di depan dada.
***
Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari sikap Arumi meski ia sudah tahu akan nasib pernikahan keduanya. Ia tetap membersihkan rumah seperti biasa, memasak dan menyiapkan keperluan Dimas seperti biasa dan menjadi istri yang patuh dan menurut seperti biasa.
Lalu ketika sore datang tanpa memberi kabar membawa seorang tamu yang sudah sangat tua dan berumur. Tanpa basa basi pria 70 tahunan itu masuk ke rumah Dimas dan duduk santai di ruang tamu rumah tersebut.
Arumi awalnya bingung bagaimana harus bersikap kepada tamunya itu. Tetapi setelah mengetahui dari Hasan kalau pria menuju seabad itu adalah kakeknya Dimas, ia pun menerima kehadiran lelaki itu dengan tangan terbuka.
Arumi dengan santun perlahan mendekati sang kakek dan hendak menyalami tangan keriput yang memegang tongkat tersebut. Namun siapa sangka, tangan itu mau terulur walau pun sikapnya dingin seperti seseorang yang sudah Arumi khatam atas sikapnya.
Namun ujian Arumi tidak hanya sampai di situ. Lelaki tua itu diam seribu bahasa dan hanya menatap lurus ke depan tanpa Arumi tahu maksud dan tujuannya datang ke rumah itu.
"Emm... Kakek mau minum? Biasanya minum apa? Panas apa dingin?"
Ragu-ragu Arumi mulai membuka obrolan dengan bertanya pertanyaan sederhana kepada sang kakek.
"Ehem! Panas." Jawab sang kakek tampak acuh tak acuh.
Meski demikian, senyum Arumi terbit karena sang kakek mau menjawab pertanyaannya.
"Baik Kek, tunggu sebentar ya." Ujar Arumi tersenyum senang.
Lalu wanita itu segera menuju ke dapur untuk membuatkan minuman untuk sang kakek. Selang beberapa menit Arumi datang dengan secangkir minuman yang tercium aroma jahe yang menyeruak. Dengan sopan, Arumi meletakkan minuman itu di atas meja di hadapan sang kakek.
"Maaf, saya menyediakan wedang jahe alih-alih teh atau kopi. Cuaca sedang mendung dan hujan nyaris turun. Akan lebih baik minum minuman ini untuk menyehatkan tubuh." Ujar Arumi di akhiri dengan senyum.
"Kalau ada pisang goreng akan lebih enak." Jawab sang kakek masih dengan sikap acuh tak acuh.
"Oh, ada! Sebentar ya Kek."
Arumi bergegas beranjak setengah berlari menuju dapur. Mencari bahan yang di butuhkan dan segera membuat olahan yang di inginkan.
Arumi yang sudah terbiasa membantu orang ibunya di dapur tentunya tidak kesulitan hanya sekedar membuat camilan pisang goreng. Dengan cekatan dan cepat, Arumi mengupas pisang, memotongnya tipis mirip kipas dan mencelupkannya dalam adonan tepung sedikit cair yang sudah diberi sedikit gula dan garam.
Hanya dalam waktu 20 menit, sepiring pisang goreng sederhana tertata rapi siap di sajikan. Dengan percaya diri Arumi membawa camilan itu dan di berikan kepada sang kakek.
"Silahkan Kek."
Arumi menunggu dengan penuh harap respon sang kakek atas camilan yang sudah ia buat. Namun si kakek tidak berkomentar meski mulutnya terus mengunyah dan telah menghabiskan 2 pisang goreng.
Meski di acuhkan Arumi tetap sabar menunggu dalam diamnya. Dan tetap duduk dengan sopan menemani si kakek yang baru pertama kali ia temui setelah menikah dengan Dimas.
Ketika di hari pernikahannya beberapa bulan yang lalu, Arumi tidak melihat kehadiran kakeknya Dimas sehingga ia tidak mengenali lelaki tua yang berkunjung ke tempat tinggalnya itu. Arumi tidak tahu pasti alasan ketidak hadiran sang kakek, namun saat ini ia senang lelaki tua itu menampakkan diri dan berkunjung ke rumahnya.
"Allahu Akbar, Allaaaaahu... Akbar!"
Tanpa terasa adzan maghrib mulai berkumandang menggema di langit yang berwarna jingga keemasan. Sudah waktunya bagi Arumi untuk menunaikan kewajibannya sehingga ia pun ijin kepada sang Kakek untuk meninggalkan sebentar lelaki tua itu.
"Maaf Kek, saya pamit sholat dulu. Tidak apa-apa kan ditinggal sebentar? Nanti setelah selesai, saya akan masakan makan malam yang enak buat Kakek." Ujar Arumi dan lagi-lagi di akhiri dengan senyum ramahnya.
"Ehem....ya."
"Terima kasih Kek. Sebentar ya Kek."
Kemudian Arumi beranjak dan melangkah meninggalkan sang kakek dan menuju kamarnya. Arumi membersihkan dirinya lalu melakukan kewajibannya. Selesai sholat seperti biasa, Arumi mengaji sebentar. Melantunkan ayat-ayat suci Al - Qur'an dengan suara merdunya.
Lantunan ayat-ayat suci itu samar-samar terdengar sampai ke ruang tamu. Menembus pendengaran sang kakek. Awalnya si kakek celingak celinguk mencari keberadaan pemilik suara. Bahkan ia ragu suara itu berasal dari lantai atas dimana Arumi berada.
Namun alih-alih mencari tahu, sang kakek memilih keluar rumah dan mendatangi Hasan yang sedang mengobrol bersama supirnya si kakek.
" Apa istrinya Dimas bisa mengaji?" Tanya si kakek tiba-tiba kepada hasan.
"Ya Tuan besar. Ibu sering mengaji setiap waktu maghrib dan subuh." Jawab Hasan menjelaskan.
"Hmm."
Setelah mendengarkan penjelasan Hasan sang kakek masuk ke dalam mobilnya. Sang supir yang kebingungan pun tidak ingin bertanya dan mengikuti saja keinginan tuannya dan segera menjalankan mobil, meninggalkan rumah Dimas tersebut. Namun karena itu, Arumi pun kebingungan mencari keberadaan si kakek setelah ia selesai menunaikan kewajibannya.
"Loh kok tidak ada?"
Arumi mencari keberadaan sang kakek sekeliling rumah yang lenyap begitu saja. Beruntung ia mendapatkan laporan dari Hasan kalau si kakek sudah pergi bersama supirnya.
"Oh, syukurlah..."
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
hari ini apes bener arumi.. bertemu org2 ##$$@## dpt tlp dr pamannya yg juga sama2 ##$@##$🙄
suka dgn gaya rumi yg tdk mudah memperlihatkan kelemahannya pd lawan bicara yg pd nyebelin itu..meski dlm hatinya remuk redam... pasti berat bagi rumi dlm situasi yg spt ini.. semangat arumi... semoga semua masalah cpt berlalu n kamu bisa hidup dgn lbh baik kedepannya
kamu yg ninggalin dimas... tp sekarang malah gk tau malu minta balikan... maksudmu piye? jgn takut arumi lawan aja itu si renata.. bkn kamu yg salah.. dia yg ninggalin dimas jd jgn kepengaruh sama renata...