Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Seminggu berlalu sejak malam itu—malam yang mengubah segalanya bagi Elanor. Tubuhnya memang sudah pulih, tak ada lagi selang infus menusuk di tangannya, tak ada lagi bau obat yang menempel di kulit. Tapi luka di dalam jiwanya masih menganga, dingin, dan sepi.
Hari-hari di rumah sakit memberinya sedikit ruang bernapas. Dinding putih, suara mesin monitor, dan perawat yang ramah memberi ketenangan yang selama ini tidak pernah ia rasakan di rumah keluarga Cromwel. Setidaknya, selama seminggu itu, ia merasa… aman.
Tapi rasa aman itu runtuh ketika akhirnya ia kembali ke rumah besar itu.
Sore itu, ruang tamu keluarga Cromwel diselimuti keheningan. Elanor duduk sendirian di sofa panjang berlapis kulit, punggungnya menyandar tapi matanya kosong, menatap ke arah meja marmer yang dingin. Kedua kakak kembarnya tidak ada; Daniel sibuk dengan urusan perusahaan, sementara Dominic entah di mana dengan pekerjaannya yang keras kepala.
Ela menggenggam jari-jarinya erat, mencoba menahan bayangan-bayangan buruk yang terus menghantuinya. Ketika ia menarik napas panjang, suara tok… tok… tok… langkah sepatu berhak tinggi terdengar mendekat dari arah koridor. Suara itu berat, tegas, penuh dengan aura penghakiman.
Pintu ruang tamu terbuka kasar. Madan Casandra berdiri di sana, tubuh anggun berbalut gaun mahal, tapi wajahnya penuh amarah yang meledak-ledak.
Tanpa sepatah kata pun, tangannya terulur cepat. Rambut panjang Elanor ditarik kasar, menjambaknya hingga tubuh mungil itu terhentak dari sofa dan terjerembab ke lantai marmer yang dingin.
“AAAHK!” teriak Ela pelan, kepalanya tertarik ke belakang, matanya berkaca-kaca menahan sakit.
Casandra menunduk, wajahnya dekat sekali dengan Elanor, napasnya terasa panas di kulit gadis itu. “Kau benar-benar anak pembawa sial!” suaranya bergetar, penuh racun. “Kau sudah mempermalukan keluarga ini! Video memalukanmu di sekolah sudah menyebar ke mana-mana, semua orang menertawakan nama Cromwel karena ulahmu! Dan sekarang, berita tentang kau hilang sudah mendunia. Semua orang melihat kita sebagai keluarga yang tidak bisa menjaga anak bungsunya!”
PLAKK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Elanor, keras, membuat kepalanya terhuyung ke samping. Panas menjalar, matanya basah, bibirnya bergetar ingin bicara tapi tak ada suara keluar.
“Kau tidak tahu diuntung!” Casandra melanjutkan, nadanya semakin menusuk. “Ayahmu memberimu segalanya, rumah, pakaian, pendidikan… tapi apa balasannya? Skandal, masalah, dan rasa malu! Kau bukan apa-apa selain beban di rumah ini!”
Tamparan kedua menghantam pipi sebelah kiri, sama kerasnya. Suara tamparan itu menggema di ruangan yang sepi, memotong keheningan dengan brutal.
Ela jatuh terduduk, kedua tangannya gemetar menopang tubuhnya yang lemas. Matanya berair, bukan hanya karena sakit fisik, tapi karena setiap kata Casandra menusuk hatinya lebih dalam daripada tamparan itu sendiri.
Casandra berdiri tegak, menatapnya dari atas dengan pandangan penuh jijik. “Mulai hari ini, jangan harap kau diperlakukan seperti putri. Kalau kau masih ingin tinggal di bawah atap ini, kau harus belajar tahu diri.”
Ia melipat tangan di depan dada, matanya menyipit tajam. “Hukumanmu sederhana: kau akan membersihkan seisi rumah ini. Lantai harus berkilau, debu harus hilang, piring kotor harus dicuci. Dari ujung ke ujung, sampai aku bisa melihat wajahku di lantai. Mengerti?”
Ela hanya bisa mengangguk kecil, tubuhnya masih gemetar di lantai. Air mata mengalir pelan di pipinya yang memerah akibat tamparan. Ia tidak berani menatap mata ibu tirinya.
Casandra tersenyum tipis, puas melihatnya begitu hancur. “Bagus. Sekarang bangun. Dan jangan berani-berani melawan.”
Dengan langkah angkuh, wanita itu meninggalkan ruang tamu, menyisakan Elanor yang terisak pelan, tubuhnya masih terpuruk di lantai dingin.
Di balik pilar ruang tamu, ternyata sejak tadi ada sosok yang menyaksikan semuanya dengan hati bergetar. Ibu Fitri, kepala maid yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Cromwel, berdiri dengan tangan gemetar menggenggam apron lusuhnya. Ia mendengar setiap kata, setiap bentakan, bahkan suara tamparan yang menggema barusan.
Begitu langkah angkuh Madam Casandra menghilang di koridor, Ibu Fitri segera melangkah masuk. Suaranya lembut namun bergetar.
“Nona Ela…”
Ela tersentak kecil, menoleh dengan mata berair. Wajahnya berusaha tersenyum, walau senyum itu lebih mirip retakan di kaca yang hampir pecah.
Ibu Fitri mendekat, lalu berlutut di hadapannya. Dengan hati-hati, tangannya menyingkirkan helaian rambut Ela yang kusut akibat jambakan tadi. Ia menata rambut itu perlahan, seakan sedang merapikan hati yang porak-poranda.
“Kami tidak apa-apa, Nona? Sakit, ya?” suaranya penuh kasih sayang, hampir berbisik.
Ela menggeleng pelan, meski air mata masih jatuh membasahi pipinya. Senyuman tipis ia paksakan, seolah ingin menenangkan orang lain meski dirinya hancur. “Aku… tidak apa-apa, Bu.”
Mendengar itu, dada Ibu Fitri serasa diremas. Ia menarik napas bergetar, lalu tanpa bisa menahan diri, ia meraih tubuh mungil Elanor ke dalam pelukannya. Erat, hangat, seakan ingin melindunginya dari seluruh dunia.
“Maafkan Ibu, Nona…” bisiknya sambil menahan tangis. “Ibu ingin sekali menolongmu, tapi Ibu tidak punya kuasa untuk melawan Madam… Ibu hanya bisa melihat… dan itu yang paling menyakitkan.”
Air mata jatuh dari pipi Ibu Fitri, membasahi bahu Elanor. Wanita paruh baya itu menutup mata, ingatannya kembali ke masa lalu.
“Dulu, saat Tuan Alexander masih hidup… tidak pernah, tidak pernah sekali pun beliau membiarkanmu diperlakukan seperti ini. Kamu selalu dijaga, selalu disayangi…” suaranya patah, tercekat. “Andai beliau masih ada, semua ini tidak akan terjadi padamu.”
Ela tidak berkata apa-apa. Hanya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan Ibu Fitri, membiarkan air matanya mengalir deras. Di dada hangat itu, ia menemukan sedikit ketenangan yang sudah lama hilang.
Dan di dalam hati kecilnya, ia berbisik, betapa ia merindukan ayahnya, betapa ia ingin sekali ada seseorang yang melindunginya seperti dulu.
Malam akhirnya turun dengan sunyi yang berat. Langit di luar jendela kamar Elanor bertabur bintang, seolah ikut menyaksikan bagaimana seorang gadis muda berusaha menutupi luka yang bukan hanya di tubuhnya, tapi juga di hatinya.
Ia duduk di depan meja rias, memandangi bayangan dirinya sendiri di cermin. Wajah pucat itu tak lagi sama dengan Elanor yang dulu. Kedua pipinya tampak memerah, sisa jejak tangan Casandra yang masih membakar kulitnya. Mata sembab, kelopak bengkak karena terlalu lama menahan tangis. Elanor menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri, lalu berbisik lirih pada bayangan yang menatap balik kepadanya.
“Aku bisa melewati ini… aku pasti bisa,” katanya, meski suaranya terdengar rapuh.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil bedak di meja riasnya dan mulai menutupi bekas memar itu. Setiap sapuan bedak seperti perang kecil melawan kenyataan. Ia menutup bukan hanya lebam di pipinya, tapi juga luka yang lebih dalam di hatinya. Setelah merasa cukup, ia tersenyum tipis pada dirinya di cermin, meski senyuman itu lebih mirip topeng daripada kebahagiaan.
Pelan-pelan ia berdiri, merapikan bajunya, lalu berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Aroma masakan hangat sudah memenuhi udara. Di meja panjang yang mewah itu, Daniel dan Dominic sudah duduk, sementara Madam Casandra menunggu dengan senyum ramahnya—senyum palsu yang hanya muncul ketika kedua putranya ada di sana.
“Elanor, ayo sini. Duduk,” ujar Casandra dengan nada manis, berbeda seratus delapan puluh derajat dari nada bentakannya sore tadi.
Ela menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya, lalu duduk di kursi yang masih kosong. Ia mencoba menyantap makanannya dengan tenang, meski tangannya sedikit bergetar saat memegang sendok. Daniel sibuk bercerita soal urusan pekerjaannya, Dominic hanya sesekali menanggapi, sementara Casandra tertawa kecil menimpali percakapan dengan gaya keibuan yang begitu dibuat-buat.
Namun, semua itu buyar ketika tiba-tiba tangan Dominic bergerak. Dengan ekspresi santai, ia meraih wajah adiknya, hendak mengusap sisa nasi yang menempel di pipi Elanor.
“Ela, kamu makan seperti anak kecil saja, lihat ada nasi di pipimu,” katanya pelan.
Sekejap waktu berhenti. Sapuan jarinya membuat bedak di pipi Elanor sedikit luntur, menampakkan warna merah memar yang kontras dengan kulit pucatnya.
Dominic terdiam. Matanya menyipit, menatap bekas itu dengan tajam. Elanor terkejut, seketika menutup pipinya dengan tangan, berusaha menutupi apa yang sudah terlihat. “A… aku sudah kenyang. Aku permisi dulu yah…” ucapnya terburu-buru, suaranya terdengar gugup.
Ia meletakkan sendok di piring dengan gemetar, lalu bangkit dari kursinya. Tanpa menunggu izin, ia langsung berjalan cepat menuju tangga, meninggalkan meja makan yang kini diliputi keheningan aneh.
Dominic masih menatap arah Ela pergi, matanya dingin, rahangnya mengeras. Lalu perlahan, tatapannya beralih ke arah Casandra. Pandangan itu tajam, menusuk, seolah menuntut jawaban tanpa sepatah kata pun.
Casandra tersenyum kaku, mencoba mempertahankan topeng manisnya. “Ela… mungkin dia masih lemah setelah keluar dari rumah sakit. Wajar kalau tubuhnya terlihat… seperti demam,” katanya sambil tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Namun Dominic tidak menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke kursi, tapi sorot matanya tetap terarah pada wanita itu, dingin, curiga, dan penuh ancaman yang belum terucap. Daniel, yang sedari tadi hanya mengamati, sempat menoleh ke Dominic, menyadari ada sesuatu yang tidak beres, meski ia belum benar-benar mengerti apa yang sudah terjadi.
Suasana makan malam itu, yang seharusnya hangat, berubah kaku. Hening terasa menusuk, hanya suara sendok dan garpu yang memaksa terdengar, sementara di lantai atas, Elanor bersembunyi di balik pintu kamarnya, menahan isak kecil agar tidak terdengar siapa pun..
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭