Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu tanpa dasar
Aroma parfum itu masih melekat. Kehangatan dari jaket kulit hitam yang kini tergeletak di pangkuannya belum juga sirna. Sudah beberapa jam sejak Camelia tiba di rumah, tapi pikirannya tetap tertambat pada pemilik jaket itu, Sena. Ia mengusap permukaan jaket itu perlahan, seolah menyentuh satu kenangan yang baru saja tercipta.
“Rasanya aneh saat aku menerima kebaikan dari seseorang, tapi aku tahu niat di baiknya.” gumamnya lirih.
Camelia ingin menjaga jarak, tetap berada di batas yang aman. Ia bukan tipe gadis yang mudah tersentuh perhatian, terlebih jika datang dari seorang dosen, apalagi Sena, sosok yang digandrungi banyak mahasiswa di kampus.
“Akan jadi bahan gosip besar kalau sampai Pak Sena beneran dekat sama aku. Dosen favorit tiba-tiba akrab sama mahasiswi pendiam?” pikirnya sambil memijit pelipis yang mulai berdenyut.
Pusing, bukan karena sakit, tapi karena terlalu banyak hal yang harus dicerna oleh hatinya yang belum siap.
Drtt!
Ponselnya bergetar dari dalam tas, memecah keheningan. Nama ‘Gray’ tertera di layar. Panggilan itu membuat sudut bibir Camelia terangkat sedikit. Setidaknya, malam ini ia tidak sendiri. Lantas, ia menerima telepon itu dan menyapa, “Hai, selamat malam. Sudah istirahat?”
Suara berat Gray langsung terdengar di seberang, “Belum. Kamu juga belum, kan? Tumben, kamu angkat cepat. Biasanya aku harus telfon dua kali,”
Camelia terkikik pelan. “Tumben kamu telepon agak sore. Biasanya tengah malam baru muncul,”
“Sore? Malika, ini udah jam setengah sembilan malam. Gimana ceritanya itu masih sore?”
“Menurutku masih sore. Malam itu jam satu,” sahut Camelia santai.
“Lucu banget sih kamu.” Gray terkekeh kecil. “By the way, gimana harimu? Ada yang seru?”
Camelia terdiam sesaat sebelum menjawab. “Hmm, seperti biasa sih. Aku... masih risih sama orang itu.”
“Orang itu?” Gray menggantungkan nada. “Yang kamu tolong itu? Yang kamu bilang pernah bikin kamu ilfil?”
“Yap. Kayaknya dia emang lagi deketin aku... dalam konteks cewek dan cowok, ya.” Suara Camelia melembut, seolah ingin terdengar biasa saja, padahal hatinya tak karuan.
“Ah, PDKT dong, namanya,” sahut Gray cepat.
“Mungkin, tapi... aku nggak mau kepedean. Bisa jadi aku cuma salah asumsi,”
Dari seberang, Gray terdiam sesaat. Lalu suaranya terdengar, "Tapi kamu terganggu, kan? Karena dia?"
“Aku nggak tahu, aku cuma nggak biasa diperlakukan kayak gitu."
"Kayak gimana maksudnya?"
"Kayak... diperlakukan istimewa. Diperhatikan lebih, diberi perhatian kecil yang bikin aku mikir, ini maksudnya apa, sih? Padahal aku cuma pengen hidup tenang tanpa mikirin orang lain," jelas Camelia, jujur.
"Kalau kamu dikasih pilihan, Malika... kamu lebih pilih dicintai diam-diam, atau dicintai terang-terangan tapi penuh drama?"
Camelia terdiam. Pertanyaan itu menghantam tepat di jantungnya. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia menjawab.
"Dicintai diam-diam... mungkin. Karena aku nggak suka sorotan. Tapi, aku juga nggak mau disimpan diam-diam, Gray. Itu menyakitkan."
"Kamu tahu nggak, jawaban kamu barusan... Kayak kamu lagi ngomong bukan sebagai Malika yang biasanya suka menyendiri, tapi sebagai seseorang yang sedang... takut patah hati."
Camelia tersenyum miris. “Mungkin memang aku takut.”
"Kalau boleh jujur... aku ngerti rasanya. Aku juga lagi dekat dengan seseorang. Tapi aku nggak tahu dia merasa yang sama atau nggak. Setiap kali aku mau lebih dekat, ada tembok dan aku takut kalau aku paksakan, dia malah menjauh." ujar Gray.
"Kalau dia penting, kenapa kamu nggak coba jujur aja? Mungkin dia nunggu kamu juga," ujar Camelia.
"Kamu pikir... orang kayak dia bisa suka sama aku?"
Camelia tersenyum kecil, memeluk lututnya di atas kasur. "Aku pikir, semua orang bisa disukai... asal dia tahu caranya melihat, bukan menuntut."
"Terima kasih, Malika. Kamu selalu bisa bilang sesuatu yang sederhana, tapi nyampe banget."
“Aku juga nggak tahu, ini sebenarnya siapa yang sedang dengerin siapa, ya?”
"Mungkin kita cuma dua orang yang sama-sama butuh pelarian, dan akhirnya nemu satu sama lain," balas Gray.
"Kalau memang kita pelarian, apa kamu nggak takut kita terlalu nyaman, tapi nanti terluka?" Camelia menggigit bibir bawahnya.
"Aku lebih takut kehilangan seseorang yang membuatku nyaman... daripada terluka karena berharap," jawab Gray cepat, seakan kalimat itu memang sudah lama menunggu untuk diucapkan.
Camelia terdiam. Dada kirinya seperti diremas pelan, ucapannya barusan terasa terlalu mengena.
"Kamu serius ngomong kayak gitu ke semua orang?" tanya Camelia mencoba mengurai emosi yang mulai menumpuk di dada.
"Nggak, cuma ke kamu."
Kalimat itu datang seperti bisikan yang memecah keheningan malam, mengendap di telinganya.
"Gray… kita bahkan belum pernah saling bertatap wajah."
"Tapi kenapa rasanya seperti aku mengenalmu sejak lama, ya?" sahut Gray.
Camelia tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan keheningan mengambil alih, membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab menggantung di antara ruang yang mereka cipta.
"Aku pernah baca, bahwa kadang yang kita butuhkan bukan orang yang datang bawa bunga atau janji... tapi yang hadir tanpa alasan, lalu bertahan tanpa syarat." Gray melanjutkan.
"Kenapa kamu bisa tahu apa yang ingin aku dengar sebelum aku sadar aku butuh dengar itu?"
"Mungkin karena aku juga butuh dengar hal yang sama."
"Terima kasih, Gray..." bisik Camelia akhirnya.
"Sama-sama, Malika."
"Tidurlah. Hari ini sudah cukup berat buat kamu."
"Dan kamu?"
"Aku akan tetap di sini, kalau kamu butuh teman. Tinggal kirim pesan."
Camelia menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya mematikan layar dan membiarkannya tergeletak di samping bantal. Suara Gray lebih menenangkan daripada siapapun di dunia nyata. Padahal, siapa dia sebenarnya pun Camelia tak tahu.
......................
Pagi di Kampus Avanya menghadirkan udara hangat yang berbaur dengan suara burung dan gemerisik dedaunan. Langit masih pucat, dan matahari baru saja menyibakkan sinarnya dari balik gedung-gedung tinggi fakultas. Suasana kampus perlahan mulai ramai, mahasiswa berlalu-lalang, sebagian terlihat tergesa, sebagian lagi berjalan santai dengan kopi di tangan.
Camelia berjalan menapaki koridor menuju bangunan seni rupa, tempat studio kelasnya berada. Rambutnya diikat setengah, seperti biasa. Di tangannya, ia menggenggam map besar berisi sketsa dan rancangan tugas minggu ini.
Studio pagi itu masih lengang. Beberapa mahasiswa tampak sibuk dengan papan sketsa mereka, menggambar siluet tubuh dan memadukan warna-warna kain. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar menyorot ke arah meja Camelia, yang tengah fokus membentuk kerutan pada desain gaun malam berbahan tile.
Camelia baru saja menyelesaikan render ilustrasi pertamanya ketika suara langkah kaki berhenti di sebelah mejanya. Ia menoleh dan mendapati sosok lelaki tinggi, berambut sedikit keriting dengan senyum lebar yang ramah.
“Camelia, kan?” sapa lelaki itu.
Camelia mengangguk pelan. “Iya, hm … Giovani, ya?”
Giovani tersenyum, menarik kursi kosong di samping meja dan duduk santai. “Ketahuan banget ya aku nggak pernah ganti gaya rambut. Nama aja langsung hafal,” candanya.
Camelia tersenyum kecil. “Iya, gaya rambutmu cukup... ikonik.”
“Hah! Jadi itu pujian?” tanya Giovani sambil tertawa.
Hari ini, setelah beberapa waktu, Camelia merespons seseorang di luar zona nyamannya. Ada yang berbeda. Mungkin karena ingatan akan obrolannya dengan Gray.
“Tapi menurutku, kamu jangan terlalu membatasi diri. Kamu berhak punya teman, di dunia nyata juga. Biar hidupmu berwarna.”
Ucapan itu kembali mengendap dalam benaknya dan saat melihat Giovani, yang jelas-jelas ramah dan terbuka, ia tergerak untuk memberi dirinya ruang bernapas, meski hanya sebentar.
“Eh, sorry ganggu,” ujar Giovani setelah tawa mereka mereda. “Tapi kamu udah sempat baca materi tentang draping teknik yang baru itu? Yang mau dipakai untuk mentoring besok?”
Camelia mengangguk. “Udah. Tapi aku masih agak bingung bagian lipatan leher belakangnya, soalnya bentuknya nggak simetris kalau aku praktikkan,”
“Serius? Kamu bingung? Aku jadi tenang sekarang,” celetuk Giovani sambil menepuk dadanya. “Berarti aku nggak sendirian di dunia ini,”
Camelia tertawa. “Mungkin kita sama-sama butuh tutor,”
“Atau, kita bikin tim. Kamu yang gambar, aku yang pura-pura ngerti. Tapi serius, aku bisa bantuin, kok. Aku barusan nonton ulang video demo dari dosennya. Nggak jelek-jelek amat kalau kamu mau coba bareng,” balas Giovani.
Camelia menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Boleh,”
“Oke! Tapi kita barter, ya. Kamu bantu aku bikin presentasi, aku bantu kamu bagian draping. Deal?”
“Deal.”
Mereka tertawa lagi, dan Camelia merasa lebih ringan, ia tidak bisa memungkiri bahwa Giovani punya daya tarik tersendiri. Cara bicaranya yang tenang, humornya yang tidak memaksa, dan ketulusannya saat menawarkan bantuan, semuanya terasa menyenangkan.
Mungkin, membuka sedikit ruang untuk orang lain bukan hal buruk, pikir Camelia.
Sementara itu, Sena baru saja keluar dari ruang kelas di lantai dua gedung seni ketika langkahnya terhenti di lorong kaca yang menghadap ke studio desain. Tangan kirinya masih memegang tablet digital berisi catatan mahasiswa, sementara tangan kanan sibuk melepas kancing kemeja bagian atas yang terasa sesak.
Namun bukan kelelahan yang menghentikan langkahnya. Melalui kaca bening itu, pandangannya tertuju pada seseorang yang sejak pagi terus berputar di pikirannya, Camelia.
Gadis itu duduk di sudut studio, dikelilingi gulungan kain dan lembar sketsa, tampak tertawa kecil dengan seorang mahasiswa laki-laki berpostur jangkung yang mengenakan hoodie abu-abu. Mereka berbicara cukup dekat, bahu mereka sesekali bersenggolan saat keduanya menunduk melihat sesuatu di layar tablet milik Camelia.
Giovani Pangaribuan.
Sena mengenali laki-laki itu. Mahasiswa tahun kedua dari jalur prestasi yang cukup dikenal karena keahliannya dalam ilustrasi digital dan sayangnya keramahannya terhadap siapapun, termasuk Camelia.
Rahang Sena mengencang tanpa sadar. Tangannya yang menggenggam tablet mulai mengepal erat, hingga buku jarinya memucat. Ia mencoba menahan mengontrol emosi, namun matanya tetap terpaku pada interaksi itu.
Camelia tersenyum.
Senyum yang jarang sekali ia lihat ketika mereka berada di satu ruang. Senyum yang bahkan belum pernah ia dapatkan secara penuh, meski sudah berusaha berkali-kali mendekat dan kini, di hadapannya, senyum itu diberikan begitu mudah kepada orang lain.
Sena menurunkan pandangannya. Tangannya gemetar saat ia melepaskan kacamatanya dan mengusap wajah. Ia tahu betul, sebagai dosen, ia tidak bisa sembarangan masuk ke studio mahasiswa jurusan lain. Apalagi hanya untuk memuaskan rasa penasaran atau kecemburuan yang tidak beralasan secara akademik.
Tapi hatinya tidak seprofesional pikirannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar, entah itu amarah, kecemburuan, atau rasa tidak rela. Mungkin semua bercampur jadi satu dan meledak diam-diam di balik wajah datarnya.
Sena menunduk, menatap layar tabletnya yang kini penuh dengan goresan tekanan jari. "Kenapa bukan aku yang bisa buat dia tertawa seperti itu?"
Pertanyaan itu bergaung dalam kepalanya, membuat dada Sena terasa sesak. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang, tidak dalam perannya sebagai dosen dan tidak dalam posisinya yang hanya bisa menatap dari jauh.
Aku bisa bersabar... tapi jangan terlalu lama, Camelia. Aku bisa gila kalau terus begini.
Pada akhirnya, Sena memilih untuk pergi, ia melangkah cepat menyusuri koridor hingga tiba di ruang kerjanya. Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, ia menghela napas panjang, lalu meletakkan tablet yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja kayu yang mulai penuh dengan tumpukan dokumen dan maket tugas mahasiswa.
Tangan kirinya menyisir rambut ke belakang, sementara matanya masih kosong, dipenuhi bayang-bayang Camelia yang tertawa bersama mahasiswa laki-laki itu, Giovani. Nama itu terus berputar dalam pikirannya, seolah menghantam sisi paling rapuh dari hatinya.
Ia berusaha menepis rasa itu, rasa yang tidak seharusnya muncul dari seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tapi semuanya sudah terlalu dalam. Camelia bukan sekadar mahasiswa, bukan sekadar gadis yang pernah mengusirnya dengan tatapan dingin.
Camelia adalah candu yang membuatnya terus kembali.
Sena duduk di kursinya, menyandarkan tubuh lelahnya dengan kedua tangan menutupi wajah. Bukannya mereda, pikirannya justru semakin kacau. Setiap detik interaksi antara Camelia dan Giovani tadi terputar ulang seperti kaset rusak yang tidak kunjung berhenti.
"Dia tertawa. Bukan karena aku, tapi karena orang lain. Ah, sialan!"
Kecemburuan itu membara diam-diam. Ia tidak pernah segila ini sebelumnya. Bahkan ketika bersama Sasa dulu, ia tidak pernah sampai segelisah ini hanya karena satu tatapan, atau satu senyuman yang tidak ia miliki.
Sena bangkit lagi, kali ini berjalan ke meja kecil di sudut ruangan yang biasa ia gunakan untuk menyeduh kopi. Ia menyalakan pemanas air, tapi bahkan aroma bubuk kopi yang mulai menguar tak mampu menenangkannya.
Tangannya terdiam di atas gelas.
“Apa aku terlalu terburu-buru? Atau justru terlalu lambat sampai dia sudah lebih dulu didekati orang lain?”
Pertanyaan itu menggantung. Ia tahu jawabannya tidak akan datang saat ini, mungkin tidak akan pernah datang kalau ia terus membiarkan perasaannya terjebak di antara batas profesional dan ketulusan yang semakin sulit disangkal. "Aku tidak bisa hanya menatap dari jauh. Tidak lagi.”