Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
Pagi hari di kediaman keluarga Wijaya...
"Selamat pagi semua! Aduh—kak Nat, jangan habisin perkedel kentangku!" seru Tiara sambil meraih piringnya.
Nathan mengunyah pelan lalu menjulurkan lidah. "Telat! Salah siapa bangunnya kesiangan? Wlekk."
Beberapa asisten rumah tangga dan anggota keluarga yang sedang lewat hanya menggelengkan kepala. Sudah biasa melihat kedua adik–kakak itu ribut kecil setiap pagi. Suasana meja makan keluarga Wijaya memang hampir tidak pernah tenang, tapi justru di situlah kehangatannya.
Hendra, sang ayah, baru saja meminum kopi ketika ia menatap Nathan. "Nath, nanti berangkatnya bareng Tiara ya. Papa mau bertemu kolega di Jerman bareng mama dan kak Micha. Jadi kalian naik mobil satu aja."
"Tapi pah…" Tiara merengek jelas-jelas tidak ikhlas.
Nathan malah menimpali cepat, pura-pura santai, "Kalau nggak mau bareng aku, ya sudah… minta diantar kakek sono."
"Ooh boleh, mau dianter kakek ya?" suara Wijaya, sang kakek, tiba-tiba muncul dari arah belakang, senyum-senyum sambil memegang koran.
Tiara langsung panik. "Tidak usah, Kek! Tia bareng kak Nathan aja. Iya kan, kak?" Ia melirik Nathan dengan tatapan memohon.
Nathan menghela napas panjang. "Bisa aja kamu. Tapi jangan teriak-teriak kalau aku nyetir sedikit kenceng."
"Aku takut kalau ngebut…" gumam Tiara, pasrah.
Dalam hati ia menambahkan, "Daripada bareng kakek, bisa-bisa dapat kuliah subuh sepanjang jalan."
Begitulah kehidupan pagi keluarga Wijaya. Riuh, hangat, berantakan, tapi penuh tawa.
Sementara itu, di kediaman keluarga Hutomo...
Berbeda seratus delapan puluh derajat, suasana meja makan keluarga Hutomo sunyi. Hanya terdengar dentingan sendok mengenai piring.
Sampai tiba-tiba—
BRAKK. Berasal dari tangan Naura
Hutomo menghantam meja hingga gelas bergetar. "NAURA!" suaranya menggema keras.
Naura, yang sejak tadi menunduk, hanya menggigit bibir sambil menahan emosi. Wajahnya memerah, namun ia memilih bangkit dan segera pergi tanpa membalas sepatah kata pun.
Sopir pribadinya, Pak Mamat, sudah menunggu di depan. Naura masuk ke mobil sambil menarik napas kasar, berusaha menahan amarah.
Sementara itu, Vino, sang kakak, yang sedari awal tak berkata-kata, berdiri perlahan, meninggalkan meja tanpa menyelesaikan sarapannya. Suara langkahnya terdengar hampa.
Di dalam mobil, Naura terus menatap ke luar jendela. Pak Mamat melirik lewat kaca spion.
"Nona kenapa? Kok cemberut, tidak seperti biasanya?" tanyanya lembut.
Naura menggigit bibir, mencoba menahan diri, tapi akhirnya matanya berair.
"Pak Mat…" suaranya pecah. "Kenapa sih keluarga Hutomo seperti ini? Kenapa tidak pernah ada kehangatan? Aku capek, Pak… Aku ingin keluarga Naura seperti keluarga-keluarga lain…" ia mulai terisak, suara tercekat.
Pak Mamat panik tapi berusaha tetap lembut. "Aduh, Non… bapak kalau disuruh jawab takut salah. Tapi… ini semua berawal dari kematian Tuan Muda Arnold. Untuk detailnya… mungkin lebih baik tanya ke Tuan Angga atau Den Marvin. Mereka lebih ngerti."
Naura menatapnya. "Tapi bukankah kecelakaan kak Arnold… benar-benar kecelakaan, Pak?"
Pak Mamat terdiam. "Ee… i-iya, Non. Betul. Kecelakaan…" jawabnya sambil menggaruk kepala, jelas gugup.
"Pak Mamat bohong ya?" Naura menyipitkan mata.
"Hah? Nggak! Nggak, Non!" Pak Mamat langsung mengibaskan tangan. "Begini saja, kalau waktunya sudah tepat, bapak janji bakal cerita semua. Sueer." Ia menyodorkan dua jari, gaya khasnya.
Naura akhirnya tertawa kecil di sela air matanya. "Janji ya, Pak?"
"Janji, Non. Bapak sumpah deh."
Setelah itu ia menambahkan, "Eh Non, kata anak bapak, kalau lagi sedih makan es krim stroberi itu paling mujarab. Sebentar ya, bapak beliin dulu."
Naura mengusap matanya. "Sama vanilla ya, Pak…"
"Ahsiappp!" jawab Pak Mamat sambil turun dan kembali lima menit kemudian dengan dua cup es krim.
"Nah ini, stroberi dan vanilla kesukaan Nona. Kalau bapak mah harus yang coklat!" katanya bangga.
Untuk pertama kalinya pagi itu, Naura tertawa lepas. Suasana di mobil berubah hangat. Mereka bercakap ringan sepanjang perjalanan, membahas hal-hal receh hingga tak sadar sudah sampai di plataran Kampus Hijau.
Di pelataran kampus...
Naura baru turun dari mobil ketika matanya menangkap pemandangan yang agak heboh: seorang mahasiswi baru sedang memarahi seorang laki-laki.
"Tiara… sudah kubilang jangan lupa!" Nathan mengomel sambil mengangkat kardus-kardus kecil dari bagasi.
"Iyaaa, aku lupa! Salah aku!" Tiara membalas dengan suara tinggi tapi jelas ketakutan.
Naura otomatis melangkah mendekat. Ada dorongan spontan untuk menolong.
"Hai! Kalian mahasiswa baru juga di Kampus Hijau?" sapanya ramah.
Tiara kaget. "I-iya… kamu juga?"
"Hehe, iya. Eh, kalian kenapa? Kok kayak bertengkar?" tanya Naura sambil menahan senyum.
Tiara buru-buru mengibaskan tangan. "Ah nggak apa-apa. Itu kakakku. Kami memang sering begitu. Aku cuma—lupa bawa spek ospek… yang kardus papermob itu…" ia menunduk, malu.
Naura mengangguk cepat. "Kardus? Tunggu, kayaknya aku ada lebih deh. Bentar ya, aku ambil di mobil."
Beberapa saat kemudian, Naura kembali sambil mengangkat kardus. "Ini. Kalau sesuai spek, harusnya pas."
Tiara matanya berbinar. "Serius? Ya Tuhan, makasih! Eh, bentar—ini harganya berapa? Aku ganti ya."
Naura tertawa kecil. "Santai aja. Gratis. Yuk masuk, takut komdis ngamuk kalau telat."
"Tapi aku harus kabarin sopir dulu…" Tiara membuka ponsel. "Halo Pak Yusuf? Tiar udah dapet kardusnya, jadi nggak usah balik. Jemput nanti aja ya."
Di ujung telepon terdengar suara panik. "Hah? Non, bapak udah setengah jalan—halo? Halo?" Sambungannya terputus.
Tiara memandang Naura. "Aduh… nanti Pak Yusuf ngomel."
Naura tertawa. "Tenang. Sopirku tadi hampir nangis gara-gara aku juga. Kita sama, kok."
Nathan memandang keduanya bingung. "Kalian cepat akrab banget, ya…"
Tiara menatap abangnya, manyun. "Udah ah kak, kita masuk ya. Bye bye"
Mereka pun berjalan bersama menuju auditorium. Dua gadis itu tidak sadar bahwa pagi itu adalah awal dari sebuah pertemuan yang akan mengubah banyak hal.