NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 - Pertemuan Di Desa Osca

Hutan Osca pada malam hari bukan tempat yang ramah. Pepohonan menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang hendak meraih siapa saja yang melintas.

Namun Elara berlari, menahan napas sekuat mungkin, jubahnya tersangkut ranting berkali-kali, seolah alam sendiri menolak pelariannya.

Dentuman kaki kuda tiba-tiba mengguncang tanah. Dari kejauhan, cahaya obor menembus gelap, bergerak cepat. Elara terhuyung, panik, dan tanpa sengaja ia keluar dari jalur sempit ke tanah lapang yang berlumpur.

Seekor kuda hitam besar dengan penunggangnya berlari tepat ke arahnya. Elara, dalam kepanikan, tersandung dan jatuh ke depan. Tubuhnya menabrak kaki kuda, dan dengan teriakan kecil ia terhempas ke tanah… tepat di hadapan Zevh Obscura.

Sang penguasa Osca menarik kudanya berhenti mendadak. Wajahnya mengeras, matanya menyala berwarna di Kegelapan malam, bagai bara di balik kegelapan. Suara kudanya meringkik, sementara pasukan di belakang segera mengelilingi.

"Apa ini?" suara Zevh bergemuruh, penuh murka. "Berani sekali kau menghadang jalanku seperti seorang pengacau!"

Elara merangkak, tubuhnya berlumuran tanah dan dedaunan. Wajahnya merah, bukan hanya karena sakit, tapi juga malu. Ia menegakkan diri, menatap lurus pada pria yang berpakaian zirah hitam yang menatapnya bagaikan pemangsa.

"Itu… bukan salahku!" seru Elara, napasnya tersengal. "Aku hanya berlari, dan itu murni kecelakaan!x"

Zevh menunduk sedikit, sorot matanya menusuk seperti belati. "Kecelakaan? Kau membuat kudaku hampir kehilangan kendali. Kau hampir mencelakakan pasukan ku. Dan kau pikir aku akan menerima alasan konyol itu?"

Pasukan di sekeliling bersiap, menunggu perintah. Namun Elara, meski tubuhnya gemetar, tetap mendongak.

"Aku tidak akan meminta maaf atas sesuatu yang bukan salahku," katanya tegas, setiap kata terdengar bagai tantangan.

Suasana menegang. Pasukan menahan napas, terkejut dengan keberanian perempuan asing itu.

Zevh perlahan turun dari kudanya. Langkahnya berat, berwibawa, membuat tanah terasa ikut bergetar. Ia berdiri tepat di hadapan Elara, tinggi menjulang, auranya pekat dan mendominasi.

"Kau… berani menentang ku?" suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Matanya berkilat mencari sesuatu yang tampak membuat Zevh tertarik sejenak.

Elara mengangkat dagunya, meski hatinya berdegup liar. "Selama aku berada dalam kebenaran, aku tidak akan pernah meminta maaf. Bahkan pada seorang penguasa sepertimu."

Diam. Hening sejenak, hanya suara dedaunan dan napas kuda yang terdengar.

Kemudian, sudut bibir Zevh terangkat tipis, bukan senyuman ramah, melainkan ekspresi yang lebih berbahaya.

"Menarik…" bisiknya. "Jarang sekali ada yang berani menatap mataku, apalagi berbicara seperti itu."

Tangannya terulur cepat, mencengkeram pergelangan Elara, membuat gadis itu tersentak.

"Kau akan ikut denganku. Mulai malam ini, kau tawanan Zevh Obscura."

Elara berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya terlalu kuat. Ia tahu ia tidak bisa melawan Panglima yang di juluki kejam di hadapannya ini. Meski begitu, ia tetap menatapnya tanpa gentar.

"Kalau itu mau mu… tapi jangan pernah harap aku tunduk padamu."

Alih-alih marah, Zevh justru tertawa pelan, suara berat yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Semakin menarik." mata Zevh merasakan sesuatu yang menarik dari tawanannya.

Ia kemudian menyeret Elara naik ke kudanya. Malam yang tadinya hanya pelarian sunyi kini berubah menjadi awal dari jerat takdir, antara seorang penguasa kejam dan gadis bangsawan yang menolak tunduk pada siapa pun.

---

Derap kuda Zevh menghentak tanah, membawa mereka menembus hutan pekat menuju padang rumput luas. Rembulan bergantung di langit, sinarnya menorehkan kilau pucat pada hamparan perbukitan dan laut yang berkilat tenang di sisi jauh.

Elara duduk di depan, tubuhnya terjepit oleh pelukan kendali Zevh. Ia menunduk, kedua tangannya mencengkeram erat jubah hitam kuda gagah itu.

"Apa yang dilakukan seorang gadis bodoh keluar malam di desa Osca, ketika desa ini sedang tidak baik-baik saja?" suara Zevh dalam, bergemuruh tepat di telinganya.

Elara menggertakan giginya. "Itu bukan urusanmu." jawabnya ketus, tanpa ragu.

Tatapan Zevh mengeras, dan ia tanpa aba-aba memacu kudanya lebih cepat. Angin kencang menghantam wajah Elara, rambutnya terurai liar, namun gadis itu sama sekali tidak berteriak. Sebaliknya, ia semakin erat memegang jubah kuda.

Di belakang, salah satu pemimpin pengawal menoleh pada pasukannya. "Jaga jarak! Jangan dekatkan diri pada Tuan Zevh!" serunya lantang.

Kecepatan kuda meningkat, dan Zevh merendahkan suara, hampir seperti bisikan yang menekan dada Elara.

"Siapa namamu?"

"Elara." jawabnya singkat, dingin.

"Elara…" Zevh mengulang perlahan, seakan menimbang berat nama itu di lidahnya. Tiba-tiba jemarinya menyentuh tangan Elara yang mencengkeram jubah kuda.

Elara tersentak. "Jangan pernah menyentuhku!"

Namun Zevh justru merapatkan tubuhnya ke punggung gadis itu. Karena tidak menyangka Elara telah salah paham padanya.

"Menjauh dariku!" teriak Elara, suaranya pecah karena marah dan panik bersamaan.

Kuda berlari semakin kencang, menembus padang rumput liar. Angin membawa bau laut dan desir gelombang yang memecah di tebing jauh di depan.

"Kau, berhentilah! Kita bisa jatuh ke sisi tebing di ujung sana!" jerit Elara, suaranya tertelan angin malam. Jemarinya yang tadi tegas menolak, kini tanpa sadar berpegangan pada lengan Zevh, mencari keseimbangan.

Kuda itu meringkik keras. Dan seketika, Zevh menarik kendali dengan kekuatan penuh. Kudanya berhenti mendadak, tepat sebelum tebing curam. Tanah tergores tapal, debu berhamburan. Kedua kaki depan kudanya terangkat ke atas.

Para pengawal di belakang terkejut, beberapa hampir berteriak karena melihat kuda pemimpin mereka nyaris melompat ke jurang.

Elara terhuyung, punggungnya bersandar ke dada Zevh yang kokoh. Napasnya tersengal, wajahnya pucat.

"Kau gadis keras kepala," suara Zevh turun perlahan, tapi dinginnya menusuk lebih tajam dari pedang. "Diam, dan patuhlah."

Elara memaksa dirinya bangkit, menepis tangan Zevh yang melingkar di perutnya. Tatapannya keras, menantang.

"Aku tidak akan pernah patuh pada kesewenang-wenangan mu."

Senyum tipis, berbahaya, kembali terbit di wajah Zevh. "Tidak kah kau merasa senang? Aku mempertahankan desa Osca hari ini. Apa kabar itu belum sampai pada telingamu, gadis keras kepala?"

Elara membeku. Untuk sesaat, kata-katanya terhenti. Namun segera ia menggeleng, matanya menatap tajam ke arah Zevh.

"Senang? Mungkin mereka di Osca bersyukur. Tapi aku? Aku tidak pernah suka pada pria yang menyelamatkan desa dengan satu tangan… lalu dengan tangan lain merampas kebebasan seorang perempuan sesuka hati."

Keduanya terdiam, hanya napas berat dan desir angin laut yang terdengar. Benturan ego mereka menggantung di udara, seperti dua api yang saling menyambar, sama-sama enggan padam.

"Hari ini. Kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal," suara Zevh serak, rendah, namun menggetarkan.

Sebelum Elara sempat membalas, jemari kokoh Zevh melingkar di leher jenjang gadis itu. Cengkeraman dingin dan kuat menekan tenggorokannya. Elara tercekik, matanya membelalak, tangannya buru-buru menepuk-nepuk lengan Zevh, berusaha melepaskan diri.

"Argh... hentikan…!" suaranya patah-patah, terbata.

Namun tatapan Zevh tak berubah, tajam menusuk, seolah sedang menguji sejauh mana gadis keras kepala itu sanggup menantang dirinya.

Derap langkah kuda dari belakang semakin dekat. Seorang ajudan dengan wajah tegang segera bersuara, "Tuan, apakah kita akan langsung pergi ke kediaman Anda?"

Seakan baru tersadar, Zevh akhirnya melepaskan cengkeramannya. Elara jatuh tersungkur pada punggung kuda, batuk-batuk keras, napasnya terengah, matanya berair.

"Tidak." jawab Zevh datar. "Kita terus mengawasi desa Osca."

Ajudan itu sempat melirik Elara yang masih berusaha mengatur napas. "Baiklah, Tuan. Kalau begitu, gadis ini akan saya perintahkan anak buah untuk mengantarnya ke kediaman Anda."

Zevh menoleh, sorot matanya dingin bagai baja. "Tidak perlu."

Tanpa memberi peringatan, ia mendorong tubuh Elara dari kuda. Gadis itu terjatuh keras ke tanah berumput, tubuhnya terbentur kerikil kecil yang menusuk kulit.

"Ahh sshh!" Elara meringis kesakitan, tangannya memegangi siku yang tergores. "Kau sungguh tidak sopan!" teriaknya dengan suara gemetar, tapi matanya tetap menyalakan api perlawanan.

Zevh tidak memandangnya. Ia menarik kendali kudanya, berbalik dengan dingin. "Tinggalkan dia di sini. Biarkan dia merenungi kesalahannya."

Kuda gagah itu melangkah menjauh, diikuti rombongan pengawal yang sempat terdiam mendengar perintahnya.

Salah seorang ajudan menoleh ke arah Elara, suaranya lirih namun tegas. "Nona, bersyukurlah. Jangan pernah membuat kekacauan lagi di hadapan Panglima." Setelah itu, ia ikut memacu kudanya, meninggalkan Elara sendirian.

Langit malam masih menggelayut pekat. Hamparan padang rumput liar terhampar luas, dan di ujung tebing, lautan bergelora di bawah cahaya bulan.

Elara berusaha bangkit, tubuhnya gemetar namun sorot matanya membara. Ia berteriak lantang, suaranya menggetarkan udara malam.

"Zevh Obscura! Kau pria paling sombong, paling angkuh, dan aku bersumpah… aku tidak akan pernah tunduk padamu!"

Suara makiannya menggema di tanah kosong menyebar ke segala arah terbawa angin malam. Para pengawal yang sudah berjalan jauh spontan menoleh, terkejut mendengar keberanian gadis itu.

Zevh di atas kudanya tak menoleh. Tapi telinganya menangkap jelas setiap kata yang dilontarkan Elara. Rahangnya mengeras, matanya lurus menatap jalan kembali menuju desa Osca.

Sementara Elara berdiri di ujung tebing, angin laut menyibakkan rambutnya yang berantakan. Nafasnya masih memburu, dadanya sesak, namun api dalam matanya tak padam. Ia menatap punggung rombongan itu dengan rasa kesal yang semakin mengakar.

"Dia akan aman sejenak di sini" gumam Zevh dalam hatinya, saat meninggalkan Elara.

----

Elara menatap rombongan kuda Panglima yang terkenal kejam itu semakin menjauh, meninggalkan hamparan padang rumput luas yang berguncang diterpa angin laut.

Ombak di bawah tebing bergemuruh, pecah menabrak karang, seolah ikut menyuarakan kegelisahannya. Cahaya obor yang dibawa pasukan perlahan meredup, lalu lenyap ditelan rimbun hutan menuju desa Osca.

Napas Elara masih terengah, tubuhnya bergetar akibat adrenalin yang belum reda. Ia mengusap sikunya yang perih karena terbentur kerikil kecil. Darah tipis mengalir, membuat kulitnya terasa perih.

"Aku merenungi kesalahan?" desisnya lirih, menirukan ucapan Zevh dengan nada getir. "Tidak akan pernah. Lagi pula… aku tidak sepenuhnya bersalah. Tadi itu kecelakaan."

Ia mendengus pelan, mencoba menenangkan diri. Meski hatinya masih dipenuhi rasa marah, ada secuil kelegaan dalam benaknya.

"Setidaknya… aku bisa menjauh dari Osca berkat dia," gumamnya, matanya terpaku pada sisa nyala obor yang kian mengecil.

Namun rasa lega itu tak berlangsung lama. Bayangan wajah ayahnya muncul jelas dalam ingatan. Sosok yang keras, menuntut kepatuhan.

"Aku harus berjalan menjauh sekarang, sebelum Ayah menyadari aku hilang…" katanya pada dirinya sendiri, suara lirih namun sarat tekad.

Ia mengangkat gaun sederhana yang dikenakannya, gaun yang dengan berani ia curi dari salah satu pelayan. Benang kusam dan potongan kasar gaun itu berbeda jauh dari pakaian bangsawan yang biasa ia kenakan. Sederhana, namun justru itulah yang kini bisa menjadi penyelamatnya.

Elara tahu, dengan penampilan seperti ini, ia bisa mengelabui dunia. Ia bisa berjalan sebagai siapa saja, seorang pengembara, pelayan, bahkan gadis desa.

Namun, saat ingatannya kembali pada tatapan Zevh Obscura, ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Tatapan tajam itu menembus segala penyamaran, seakan menelanjangi seluruh rahasia dalam dirinya.

"Tidak di mata Panglima itu…" Elara meremas gaun lusuh di genggamannya. "Zevh Obscura bukan orang yang mudah dikelabui."

Ia menarik napas panjang, memandang langit yang gelap dengan bulan pucat menggantung sendirian. Ada ketakutan yang samar, tapi juga dorongan untuk terus maju.

"Dan sebelum pria itu kembali… sebelum benar-benar menjadikanku tawanan…" Elara menggertak kan giginya, lalu melangkah mantap ke arah berlawanan dari Osca. "Aku harus pergi. Sekarang."

Kakinya melangkah menembus padang rumput, suara desis angin dan deru ombak menjadi satu-satunya iringan perjalanan. Luka di sikunya berdenyut, namun tekad di matanya lebih kuat dari rasa sakit itu.

Di kejauhan, samar-samar, ia merasa seakan bayangan kuda hitam itu masih mengikutinya. Entah nyata atau hanya bayangan pikiran, Elara tak tahu.

Yang jelas, satu hal pasti, sejak pertemuan malam ini, bayangan Zevh Obscura akan terus menghantuinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!