NovelToon NovelToon
SETIA (Senja & Tiara)

SETIA (Senja & Tiara)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ita Yulfiana

"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-

"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.

.

Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?

Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.

Follow IG @itayulfiana

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SETIA — BAB 2

...Ketika mata bertemu, waktu berhenti, dan cinta memilih kau dan aku💓...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

POV Tiara

"Maaf, maaf, saya tidak sengaja." Karena berlari terburu-buru, aku sampai tidak sengaja menyenggol bahu seorang wanita cantik yang ingin keluar dari gedung, sementara aku sendiri ingin masuk ke dalamnya.

"Tidak apa-apa," ucapnya dengan suara parau khas baru selesai menangis.

Aku menoleh, penasaran dengan apa yang dialami wanita itu. Namun dia malah menundukkan kepala dalam setelah kami sempat bertemu pandang sekilas, lalu dia berbalik pergi dengan cepat sambil menyembunyikan wajah sembab dan mata bengkaknya.

Tunggu dulu, sepertinya aku pernah melihat dia sebelumnya, tapi aku lupa di mana. Oh, aku ingat, dia 'kan Anika, rekan kerja Mas Arkan— pria yang menikahiku sejak 9 tahun yang lalu.

Aku baru berniat menyapa Anika, namun di waktu yang bersamaan, ponselku berdering. Kulihat nama suamiku tertera di layar. Tanpa menjawab panggilan itu, aku langsung berlari menuju tangga untuk naik ke lantai 2, karena katanya dia menungguku di sana.

"Mas, maaf telat sedikit karena tadi aku kembali ke rumah dulu buat ganti baju setelah pulang dari kafe," jelasku. Dia sama sekali tidak menanggapi. Hanya sikap dingin dan ekspresi datar yang dia tunjukkan seperti biasa.

Ya, begitulah suamiku—cuek, dingin, dan tidak perhatian. Romantis? Jangan harap.

Siang ini Mas Arkan memintaku menemaninya menghadiri pesta pernikahan teman kantor sekaligus adik sepupunya.

"Bersikaplah normal seperti biasa, jangan sampai ada yang curiga," ucapnya dengan nada bicara yang dingin. Aku hanya diam, mengerti betul apa maksud ucapannya itu. Aku menghela napas, rasanya lelah juga menjalani semuanya selama bertahun-tahun. Entah kapan ini akan berakhir.

Aku yang sudah terbiasa dengan bahasa tubuh Mas Arkan langsung mengerti dan menggandeng tangannya ketika dia mengangkat lengannya sedikit. Sambil bergandengan mesra layaknya pasangan suami istri pada umumnya, kami berjalan menuju tempat resepsi pernikahan.

"Ya ampun, Arkan, Tiara, terima kasih banyak ya sudah datang." Wanita paruh baya yang merupakan saudara sepupu ibu mertuaku itu langsung menyambut kedatangan kami dengan hangat, bercipika-cipiki denganku lalu dengan Mas Arkan. "Kalian berdua kelihatannya makin hari makin mesra yah, kayak pengantin baru," tambah Bude Desi, lalu tertawa.

Aku dan Mas Arkan sekilas saling tatap lalu ikut tertawa. Kemudian dia meletakkan tangan kirinya di pundakku sambil berkata, "Harus dong, Bude. Kami tidak boleh kalah sama yang masih junior."

"Kamu ini bisa saja, Kan. Ya sudah, kamu dan Tiara masuklah. Silahkan nikmati jamuan yang ada," ujar Bude Desi.

Begitu posisiku dan Mas Arkan membelakangi Bude Desi, senyuman yang sejak tadi kutunjukkan padanya langsung hilang begitu saja, berganti dengan ekspresi datar.

Tuhan, aku lelah sekali berpura-pura. Mau sampai kapan kami seperti ini terus? batinku.

Di tengah kerumunan para tamu undangan, aku dan Mas Arkan memutuskan untuk menjauh satu sama lain. Dia bergabung dengan rekan kerjanya yang kebetulan masih ada di sana, sementara aku memutuskan untuk menghampiri meja prasmanan, ingin mencicipi jamuan yang disediakan.

Saat tengah sibuk memilih-milih makanan, tiba-tiba seseorang pria bertubuh jangkung muncul dan berdiri tepat di sampingku. "Hai, kita ketemu lagi."

Nada ramah yang tidak asing itu sontak membuatku mendongak, merasa sedikit terkejut sekaligus heran kala melihat siapa pemiliknya. "Kamu? Kenapa bisa ada di sini?"

Dia tersenyum. "Aku dan Robby berteman. Dulu kami satu angkatan dan satu jurusan di kampus."

Aku mengangguk mengerti. Robby itu adalah nama mempelai pria.

"Wah, kebetulan sekali," ucapku, sambil kembali memilih makanan.

"Apanya yang kebetulan?" tanyanya, meraih piring dan ikut mengambil makanan bersamaku.

"Niar, istrinya Robby itu adik iparku. Saudara sepupu sama Mas Arkan, suamiku."

"Jadi yang datang bersamamu itu suamimu?" Dari kalimatnya, aku bisa menyimpulkan bahwa sepertinya dia sudah memperhatikanku sejak tadi.

"Iya, dia suamiku."

"Oh," jawabnya singkat. Tiba-tiba dia berhenti mengambil makanan dan menatapku dengan ekspresi berbeda.

"Kenapa?" tanyaku.

Pria yang tidak lain adalah Senja tersebut menggeleng, senyumnya samar. "Tidak apa-apa. Aku ke sana dulu, ya. Nikmati makananmu," katanya, lalu berlalu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi meja kerjaku beberapa saat setelah sampai di rumah, pikiranku masih melayang pada pertemuan dengan narasumber terakhir. Entah mengapa, obrolan itu begitu melekat di ingatan. Aku membayangkan, apakah kelak ketika anakku sudah dewasa dan mengerti, dia juga akan merasa seperti itu?

Jujur saja, setelah mendengar cerita Senja, aku seperti merasa berada di posisi ibunya—bertahan demi anak, tapi tanpa sepengetahuannya, sang anak justru menyalahkan diri sendiri kala mengetahui kebenarannya.

Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan sekarang? Pikiranku kacau. Di satu sisi, aku lelah dengan hubungan yang hanya bertahan demi formalitas sosial dan anak, tapi di sisi lain, aku juga tak tega memisahkan Ardhan dari ayahnya. Hubungan mereka sangat dekat, dan Mas Arkan memang ayah yang baik untuk putra semata wayang kami, meskipun sebagai suami-istri, kami tidak harmonis.

Aku menghela napas, mencoba melepas pikiran yang mengganggu itu. Daripada tenggelam dalam pemikiran yang berputar-putar, aku memutuskan untuk fokus menulis. Pertemuan dengan tiga narasumber tadi pagi sudah memberiku inspirasi yang cukup, ditambah kerangka cerita yang memang sudah aku siapkan sejak beberapa minggu lalu. Saatnya mewujudkan ide-ideku menjadi kata-kata.

Aku membuka laptop dan dokumen baru, lalu mulai mengetik kata-kata pertama sebagai pembuka. "Dalam diam, dia menanggung beban yang tak terlihat..." Aku menulis dengan lancar, membiarkan cerita mengalir dari pikiranku. Karakter-karakter yang telah aku ciptakan mulai hidup, dan plot cerita yang telah aku rancang mulai terurai. Waktu berlalu tanpa aku sadari, aku terlalu tenggelam dalam dunia yang aku ciptakan sendiri.

Itulah mengapa aku suka menulis, karena aku punya prinsip sederhana: jika hidupku kurang manis, aku akan menciptakannya lewat kata-kata. Di dunia nyata, hubungan percintaanku boleh tak sesuai harapan, tapi di dunia novel, aku bisa menciptakan pangeran impian yang meratukanku dengan cinta sejati.

Eaaa... meski kesannya konyol, tapi begitulah faktanya. Wkwkwk.

Singkat cerita, beberapa jam kemudian. Bab pertama akhirnya sudah aku unggah dan lolos review. Sebelum meninggalkan meja kerja untuk beristirahat, aku membuat postingan dan story di Instagram untuk mengabarkan kepada para pengikutku bahwa karya terbaruku sudah rilis, dan cerita yang mereka tunggu-tunggu akhirnya bisa mereka baca.

10 Menit pertama postingan itu sudah mendapat banyak like dan komentar dari para warganet. Aku kemudian sengaja menonaktifkan koneksi internet demi menjaga waktu istirahatku agar tidak terganggu. Perihal komentar dan DM, pasti aku balas nanti satu per satu.

Aku mengambil buah potong dari kulkas dan menikmati setiap gigitan sambil menonton drama favoritku. Akhir pekan seperti ini memang berharga, apalagi dengan Ardhan yang sedang bersama kakek dan neneknya di hari libur sekolah. Tentang Mas Arkan, aku sudah terbiasa dengan jarak di antara kami, jadi tidak usah bertanya kemana dia pergi, karena aku tidak tahu dan memang tidak mau tahu.

Waktu berlalu, dan tak terasa sudah selesai satu episode. Aku bangkit dari ruang keluarga setelah mematikan televisi, lalu kembali ke ruang kerja. Saatnya membuka ponsel dan melihat notifikasi. Aku tersenyum membaca komentar-komentar positif dan DM dari para pembaca setia. Nama @Senja25 selalu ada di antara mereka yang paling aktif memberi dukungan. Aku membalas komentar-komentar tersebut dengan senyum di wajah, merasa bersyukur atas dukungan mereka.

Setelah membalas komentar hingga tuntas, aku membuka DM dan menemukan pesan dari Senja yang membuatku mengerutkan kening.

Senja : Masih ada yang belum kuceritakan. Lain kali jika kamu ada waktu, kita bisa bertemu lagi. Siapa tahu bisa memberimu inspirasi untuk ceritamu yang sedang ongoing.

Pesan dari Senja itu membuatku penasaran. Aku bertanya-tanya, apa yang belum diceritakannya. Dan di waktu yang bersamaan, ponselku bergetar lagi dengan pesan dari nomor yang tidak dikenal.

+6281234567890 : Hai👋 Ini aku, Senja😊

1
Cikhy Cikitha
lanjuuut
Ita Yulfiana: siap kk
total 1 replies
wathy
aku kasi kopi deh biar tambah semangat 💪
Ita Yulfiana: Waaaah Kk baik banget😍😍 makasih banyak yah😘🥰🥰
total 1 replies
wathy
aku suka,, lanjut thor😍
Ita Yulfiana: Okey siaap😁😁
total 1 replies
Cikhy Cikitha
Next....
Ita Yulfiana: waiiit/Grin/
total 1 replies
Cikhy Cikitha
lanjuuut
Ita Yulfiana: Siaaap😄🙏
total 1 replies
Cikhy Cikitha
Semangat berkarya🤩🤩
Ita Yulfiana: Siap, makasih banyak😍😍
total 1 replies
wathy
aku beri kopi deh biar semangat update 💪
Ita Yulfiana: uwwaaah makasih banyak Kak😍😍🙏
total 1 replies
wathy
wahhh senja langsung nembak 😄
wathy
itu pasti senja
wathy: Aamiin.. sama2 😍
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!