NovelToon NovelToon
MERENDAH UNTUK MELANGIT

MERENDAH UNTUK MELANGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kehidupan di Kantor / Kebangkitan pecundang / Bepergian untuk menjadi kaya / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:27.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

​Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
​Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
​Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: PERPISAHAN DARI DESA

Pagi itu terasa berbeda. Matahari terbit seperti biasa, ayam berkokok seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara—perasaan perpisahan yang menyakitkan.

Fajar sudah bangun sejak jam tiga dini hari. Ia tidak bisa tidur semalaman. Tas lusuh warisan kakeknya sudah dipacking sejak kemarin sore. Isinya sangat sederhana: tiga pasang baju, dua celana, pakaian dalam seadanya, buku-buku pelajaran, dan satu foto keluarga yang sudah lusuh di sudutnya.

Di pojok kamar, berdiri sepeda tua kakek—cat hijau lumutnya sudah pudar, sadel kainnya robek di beberapa bagian, tapi rantainya masih kuat. Dan di atas meja kecil, tergeletak sebuah kotak kayu berukir yang berisi jarum-jarum akupuntur warisan Kakek Suryo. Jarum-jarum itu sudah puluhan tahun, tapi masih sangat tajam dan terawat.

"Jar..." suara Bu Nirmala yang parau memecah keheningan.

Fajar menoleh. Ibunya berdiri di ambang pintu dengan mata sembab—jelas habis menangis. Di tangannya, ia memegang sebuah amplop cokelat tua yang sudah lusuh.

"Ibu..." Fajar melangkah mendekat.

Bu Nirmala mengambil tangan anaknya yang kasar, menaruh amplop itu di telapak tangan Fajar dengan tangan gemetar. "Ini... ini tabungan Ibu. Dua tahun Ibu kumpulin dari upah nyuci. lima ratus ribu rupiah. Ibu tahu ini tidak seberapa untuk hidup di kota, tapi... ini semua yang Ibu punya, Nak."

Suara Bu Nirmala bergetar hebat di kalimat terakhir. Air matanya jatuh membasahi tangan Fajar.

"Ibu..." Fajar merasakan dadanya sesak luar biasa. lima ratus ribu rupiah. Untuk ukuran orang lain mungkin tidak ada artinya. Tapi untuk ibunya? Itu adalah hasil kerja keras dua tahun—bangun subuh, tangan terendam air dingin, punggung sakit mencuci pakaian orang lain, digunjing tetangga, kadang tidak dibayar tapi tidak berani protes. Dua tahun perjuangan yang luar biasa berat.

"Ibu tahu ini tidak cukup," Bu Nirmala melanjutkan sambil mengusap air matanya yang tidak berhenti mengalir. "Tapi tolong... tolong jaga kesehatanmu, Nak. Kalau sakit, obati. Kalau lapar, makan. Jangan paksa tubuhmu terlalu keras. Ibu tidak akan sanggup kalau kamu sakit di sana sendirian."

Fajar tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia memeluk ibunya erat-erat. Sangat erat. Seolah takut ini adalah pelukan terakhir mereka.

"Maafin aku, Bu," bisik Fajar dengan suara bergetar. "Maafin aku yang belum bisa jadi anak baik. Maafin aku yang masih harus bergantung sama Ibu. Maafin aku—"

"Shhhh..." Bu Nirmala memotong, mengelus rambut anaknya dengan lembut. "Jangan minta maaf. Kamu adalah anak terbaik yang Ibu punya. Kamu sudah sangat kuat, Jar. Sangat kuat. Sekarang waktunya kamu terbang. Terbang tinggi, Nak. Dan Ibu akan selalu di sini, mendoakanmu dari desa ini."

Mereka berdua menangis dalam pelukan. Tangisan seorang ibu yang harus melepas anaknya pergi dengan hati hancur. Tangisan seorang anak yang merasa bersalah karena tidak bisa berbuat lebih banyak untuk keluarganya.

"Kakak..."

Suara Rani yang lirih terdengar dari ambang pintu. Adiknya berdiri di sana dengan mata merah bengkak—jelas sudah menangis sejak tadi malam. Di tangannya, ia memegang sesuatu.

"Ini... ini gelang rajutan yang aku buat dari sisa benang." Rani melangkah masuk, memberikan sebuah gelang sederhana berwarna biru dan putih—hasil rajutannya sendiri. "Aku tahu ini jelek dan tidak ada gunanya. Tapi... ini cuma itu yang bisa aku kasih ke Kakak."

Fajar menerima gelang itu dengan tangan gemetar. Ia bisa melihat ada beberapa rajutan yang tidak rapi—Rani pasti membuatnya sambil menangis. Tapi bagi Fajar, ini adalah hadiah paling berharga.

"Ini tidak jelek, Ran." Fajar langsung memasang gelang itu di pergelangan tangannya. "Ini adalah gelang paling indah yang pernah Kakak punya. Dan Kakak janji, Kakak akan pakai ini setiap hari. Setiap hari Kakak akan inget Rani, inget Ibu, inget Ayah. Dan Kakak akan berjuang untuk kalian."

Rani langsung memeluk kakaknya erat. "Kakak janji ya... janji nanti kalau udah sukses, Kakak balik buat kita semua. Janji nanti Rani bisa sekolah lagi. Janji nanti Ibu tidak perlu kerja keras lagi. Janji nanti Ayah bisa tersenyum lagi."

"Kakak janji, Dik. Kakak janji dengan segenap jiwa."

Di ruang utama, Pak Wira duduk di kursi rodanya menatap keluar jendela. Ia sudah mendengar semua percakapan itu. Air matanya mengalir diam-diam. Ia ingin bangkit, ingin memeluk anaknya, ingin menguatkan Fajar dengan pelukan ayah. Tapi kakinya tidak bisa bergerak. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama. Ia hanya bisa duduk dan menangis dalam diam—tangisan seorang ayah yang merasa tidak berguna.

Fajar mendorong kursi roda ayahnya keluar ke teras rumah. Pagi itu udaranya sejuk, embun masih membasahi dedaunan. Burung-burung berkicau riang, tidak tahu ada perpisahan menyakitkan yang sedang terjadi.

"Ayah..." Fajar berlutut di depan kursi roda, menatap wajah ayahnya yang kurus dan pucat.

Pak Wira mengangkat tangannya yang gemetar, mengusap kepala anaknya. "Fajar... Nak..." suaranya sangat parau, setiap kata terasa berat diucapkan. "Ayah tidak bisa kasih kamu apa-apa. Tidak ada uang. Tidak ada koneksi. Tidak ada harta. Ayah hanya bisa kasih kamu dua benda."

Fajar mengerutkan kening, bingung.

Pak Wira menunjuk ke sepeda tua kakek yang bersandar di dinding. "Itu... sepeda kakekmu. Kakek pakai itu untuk keliling desa mengobati orang. Dengan sepeda itu, kakek membawa harapan untuk orang sakit. Bawa itu, Nak. Biar kamu inget, kamu tidak sendirian. Kamu bawa warisan keluarga kita."

Kemudian Pak Wira menunjuk kotak kayu berukir. "Dan itu... jarum akupuntur kakek. Ilmu yang kakek turunkan ke kamu. Jangan pernah remehkan ilmu itu, Jar. Dokter-dokter modern mungkin akan meremehkanmu. Tapi kamu harus percaya—ilmu kakek itu nyata, itu ampuh, itu berharga. Suatu hari nanti, ilmu itu akan menyelamatkanmu."

Air mata Pak Wira mengalir semakin deras. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatakan sesuatu yang sangat penting.

"Jangan lupa dari mana kau berasal, Nak," kata Pak Wira dengan suara bergetar penuh emosi. "Jangan lupa kamu anak petani miskin dari Desa Asri. Jangan lupa kamu punya ayah lumpuh yang tidak berguna, ibu yang kerja keras cuci baju orang, adik yang tidak bisa sekolah. Ingat itu. Ingat selalu. Karena kalau kamu lupa akarmu, angin sedikit saja akan robohkan kamu."

"Aku tidak akan lupa, Yah," Fajar memegang tangan ayahnya erat. "Aku janji. Tidak peduli setinggi apapun aku nanti, aku tidak akan pernah lupa dari mana aku berasal."

"Dan satu lagi, Nak..." Pak Wira menatap lurus ke mata anaknya. "Jangan remehkan ilmu kakekmu. Dunia mungkin tertawa pada pengobatan tradisional. Dokter-dokter mungkin meremehkan akupuntur. Tapi kamu percaya pada apa yang kakek ajarkan. Ilmu itu sudah menyelamatkan ratusan nyawa. Dan suatu hari nanti... ilmu itu akan buktikan pada dunia bahwa wisdom nenek moyang kita tidak kalah dengan sains modern."

Fajar mengangguk berkali-kali, air matanya berjatuhan ke tanah.

Pak Wira memeluk anaknya—pelukan terakhir sebelum Fajar pergi. Pelukan yang sangat erat meskipun tangannya lemah. "Ayah bangga padamu, Nak. Sangat bangga. Tidak peduli apa yang terjadi nanti, Ayah akan selalu bangga punya anak seperti kamu."

"Terima kasih, Yah," bisik Fajar. "Terima kasih sudah jadi ayah terbaik meskipun dunia tidak adil sama Ayah."

Bus ekonomi jurusan Desa Asri - Kota Gemilang sudah tiba di pertigaan desa. Klaksonnya berbunyi memecah pagi yang tenang.

Saatnya berangkat.

Fajar memasukkan sepeda kakek ke bagasi bus—sepeda tua itu terlihat sangat kontras dengan bus yang sudah agak modern. Kotak jarum akupuntur ia simpan dengan sangat hati-hati di dalam tas, dibungkus kain berkali-kali agar tidak rusak.

Bu Nirmala memeluk anaknya untuk terakhir kalinya. "Pergi lah, Nak. Dan jangan pernah menyerah. Apapun yang terjadi."

"Aku tidak akan menyerah, Bu. Aku janji."

Rani memeluk kakaknya sambil terisak. "Kangen Kakak..."

"Kakak juga kangen Rani. Tapi ini bukan selamanya. Kakak akan pulang. Suatu hari nanti, Kakak akan pulang dengan membawa kebahagiaan untuk kita semua."

Fajar naik ke bus. Ia duduk di kursi paling belakang, di samping jendela. Bus mulai berjalan perlahan, meninggalkan desa. Fajar melambaikan tangan pada keluarganya yang berdiri di pinggir jalan.

Ibunya melambai sambil menangis. Rani melambai sambil berlari mengikuti bus. Ayahnya—dari kursi rodanya—mengangkat tangan gemetar, melambai pada anak satu-satunya yang pergi meninggalkan desa.

Semakin jauh bus berjalan, semakin kecil sosok mereka. Hingga akhirnya menghilang di tikungan jalan.

Fajar menangis. Ia menangis sejadi-jadinya di bus itu. Tidak peduli penumpang lain menatapnya aneh. Ia menangis melepas semua beban yang ada di dadanya.

Di tangannya, ia menggenggam erat gelang rajutan dari Rani. Di tasnya, ada amplop berisi dua ratus ribu rupiah dari ibunya. Di bagasi, ada sepeda kakek. Dan di dalam dadanya, ada pesan ayah yang terus berdering: "Jangan lupa dari mana kau berasal."

"Aku tidak akan lupa," bisiknya pelan sambil menatap keluar jendela, melihat Desa Asri yang semakin menjauh. "Aku tidak akan pernah lupa."

Bus melaju membawa Fajar menuju Kota Gemilang—menuju perjuangan baru, menuju ujian yang lebih berat, menuju dunia yang akan meremehkan dan merendahkannya dengan lebih kejam lagi.

Tapi Fajar sudah siap. Atau setidaknya, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia siap.

1
ceuceu
Padahal fajar udh sembuhin pak ganes yg kritis krn sakit jantung,knp ga ngobati ayahnya yg sakit jantung jg waktu itu sampai operasi.
Wanita Aries
ya ampunn jgn meninggal dlu
Wanita Aries
petcahh pokoknya si juve
Wanita Aries
syedih kl inget perjuangan fajar
Wanita Aries
akhirnya perjuangan fajar yg penuh airmata skrg menjadi airmata bahagia
Wanita Aries
makin melebarkan sayapnya fajar
Wanita Aries
selalu aja ada kelakuan kocak mereka
Dewiendahsetiowati
perjuanganmu tidak sia-sia Fajar
Dewiendahsetiowati
Jupri dan Dodi bikin ngakak berjamaah 🤣🤣
DISTYA ANGGRA MELANI
Smg fajar mengingat pengobatan nya.. Aminnnnn
anton riyadi
Izin thor mohon dikoreksi ini fajar Kuliah ambil jurusan kesehatan masyarkat atau jurusan ekonomi diskripsi fakultas kesehatan masyarakat tapi lulus wisuda fakultas ekonomi🙏🙏
Dri Andri: jurusan ekonomi
kalo masalah cerita bidang kesehatan warisan dari kakek nya

maaf ya kalo sedikit membingungkan ceritanya
total 1 replies
ceuceu
Ya Alllah demi anak kebanggaan ayah bisa berdiri/Sob//Sob/
ceuceu
ikutan nangis thor/Sob/
inget awal perjalanan fajar baju lusuh sepatu bolong/Sob/
Dri Andri: Terima kasih
total 1 replies
ceuceu
BUMI SEHAT INDONESIA SUKSES
Adek Denu
good job thor💪
Dri Andri: terimakasih
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
resepsionis juga Pak Aruna,pecat sekalian.
Dewiendahsetiowati
cari mati mereka,semoga Pak Aruna segera tahu kelakuan anak buahnya dan Fajar dapat keadilan
Wanita Aries
wahh mod gede tuh bs bahagiain org tuanya, renov rmh dan adiknya rani bs lanjut skolah tp jarang di nongolin kluarga fajar
Wanita Aries
sebel ihhh ma org yg suka meremehkan
Wanita Aries
kyknya gk ada deh security sampe brtindak bgtu jgn trllu brlebihan.
Dri Andri: emng gk ada tpi cma cerita

tapi bisa aja ada


tapi oknum
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!