Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYU 2
"Nana!"
"Apa sih, bang" pemandangan apa ini? Bahkan gue baru saja bangun dan ngambil wudhu sudah harus dihadapkan dengan manusia berpeci diteras rumah?
Detik dimana Adzan berkumandang, gue mengedipkan mata. Tak biasanya Biyan datang sepagi ini?
"Ambilin sarung, gue mau ke mesjid"
"Ambil sendiri napa sih" gerutu gue sambil berjalan masuk. Tepat saat Bunda dan Ayah yang baru saja keluar dari kamar, untuk mengambil wudhu.
"Ambilin!"
Mau tidak mau! Dasar Jihan kampret!
"Masih subuh udah teriak teriak"
"Anak Ayah tuh" sindir gue, sebelum akhirnya meraih sarung yang biasanya di gantung dibelakang pintu kamar Jihan.
"Tumben bangun duluan, Dek?"
"Ntar dipotong lagi uang sakunya!" Seruan suara gue mungkin terdengar sampe luar, bahkan saat gue mau ngelempar sarung itu ke Jihan aja dia udah lebih dulu mengerutu.
"Itu sholatnya ga ikhlas, cuma demi uang satu"
"Sok tau banget, udah sana keburu telat jama'ah-nya"
"Dari tadi nungguin lo lama, mlekom" ucapnya sambil melangkah keluar gerbang.
"Yang bener, abang!"
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam" gue memelankan suara saat lampu didepan rumah Biyan menyala.
Keluarga Biyan saja baru bangun, tumben pria itu udah lebih dulu bangun? Biasanya saja masih molor dan bangun dzuhur atau gue aja yang akhir akhir ini sering telat subuh?
"Adek ayo jama'ah"
"Iya, bunda!"
Gue ga tau apa yang selama ini gue tekanan sama diri gue sendiri. Sesuai omongan Jihan yang bilang ini semua demi uang saku, atau memang karena gue udah terbiasa dengan rutinitas ini?
Gue akui, keluarga gue ga seagamis itu. Cuman sejak kecil, Ayah selalu ngajarin kalo lebih baik sholat mepet dari pada engga sama sekali. Tapi selagi bisa diawal kenapa engga?
Ya walau habis itu gue milih buat tidur lagi sih, tapi buat hari ini gue kayanya ga terlalu ngantuk. Mungkin karena kemarin habis isya' langsung tidur kali ya?
Tepat saat gue baru saja keluar bawa derijen buat nyiram tanaman, Jihan dan Biyan pulang. Tentu dengan Jihan yang acak adut dan Biyan yang masih rapih seperti awal berangkat tadi.
"Pake cinta, biar tumbuhnya sehat"
"Sini gue siram juga lo biar sehat" sindir gue sambil melirik ke arah mereka berdua.
"Buatin kopi item dong"
"Lo nyuruh gue?" Ucap gue sambil terus menyiram tanamanan yang belum kena air.
"Gue ga ada nyuruh kunti disebelah lo ya"
"Jirih amat!" Desis gue, dengan sekali lagi terpaksa gue masuk dan membuat dua gelas kopi hitam panas. Tentu untuk Jihan dan Biyan yang katanya akan main game di teras. Kayanya ini akan jadi rutinitas baru Jihan! Tapi ga papa juga karena sepet lama lama kalo cuma ngeliatin temennya Jihan doang.
Sebelum gue bener bener naruh dua gelas kopi itu, Jihan sudah mulai berkutat dengan gamenya. Sementara Biyan? Bahkan pria itu baru saja ingin duduk setelah mengembalikan peci dan sarung. Tersisa kaus hitam dan celana cargo army yang dia pakai.
"Lo minum kopi kan?"
"Thanks" Biyan mengangguk.
Tapi kayanya, biskuit lebih menarik dari pada kopi buatan gue. Gue emang sempet ambil setoples biskuit juga buat jadi temen ngopi.
"Bang kemarin Sarah kesini" gue kembali melanjutkan aktivitas gue yang belum selesai, sambil bicara dengan manusia penuh ego seperti Jihan.
"Ngapain?"
"Sekarang gue tanya, lo uninstall WA apa gimana sih?"
"Kagak!"
"Dia ada WA ga lo bales, bego"
"Iya ya? Ntar gue buka"
Jihan itu bego sekaligus tolol, tapi kalo gue boleh bilang, Sarah yang lebih dari itu. Bisa bisanya suka sama modelan kaya Jihan.
Sudah berapa kali Sarah datang hanya untuk menanyakan dimana Jihan, karena tidak membalas pesannya hampir dua hari penuh. Padahal ya kerjaan dia cuma main game sama main motor aja? Sesimple itupun susahnya minta ampun buat ngabarin sebentar?!
Oh ayolah, bahkan gue gedhek sama ni anak!
"Gimana, Yan? Sekolah lo seru ga?"
Kali ini gue sedikit memasang telinga.
"Lumayan cepet sih adaptasinya" gue bisa lihat kali ini Biyan sudah memposisikan ponselnya.
"Adek gue gathel ya"
"Dih enak aja!" Seru gue.
"Gathel tu kuping, nguping mulu kerjaan lo!"
Gue bisa lihat Biyan tersenyum. Seperti biasa, manis. Berbeda saat tersenyum bersama teman temannya atau menyahuti panggilan Bundanya. Kali ini Biyan tersenyum disela bermain game. Bukankah itu, ah bahkan gue ga tau harus deskripsiinnya gimana lagi!
"Oh ya katanya Bu Sella pensiun?"
"Hooh" kali ini gue kembali bersuara. Melangkah kembali masuk setelah semua tanaman tersiram.
"Dia ngajar matkul seni, dikelas lo ada ga?" Senggol Jihan.
"Permintaan sih, kayanya gurunya bukan itu"
Buat saat ini kayanya energi gue udah cukup habis, walau cuma nyiram tanaman aja sih. Tapi gue memilih buat tidur walau ngelihat bunda sibuk nyiapin sarapan dan ayah yang ngurusin ikan peliharaannya di kolam belakang rumah.
Bahkan gue melewatkan sarapan sama Biyan karena kata Jihan susah di bangunin.
...***...
Selepas anterin Bunda ke pasar sore. Gue milih nongkrong di teras, sama Kara. Ya, gadis itu datang sepuluh menit sebelum gue sampe rumah. Bahkan ditemani Daffa dan Biyan.
Kenapa sih hari ini gue harus ketemu Abiyan terus? Kaya bosen tapi engga, ngerti ga?
Biyan dengan hoodie dongker dan celana panjang abu abu, stelan yang tentu berbeda dari pagi tadi. Wangi vanilla yang mulai sekarang akan jadi ciri khasnya Biyan mulai semerbak.
"Kalian mau minum apa?"
"Ngga usah, tante. Kita mau keluar kok" kali ini suara Kara mendominasi. Tidak ada breafing apapun, kenapa gadis itu mengatakan hal demikian? Membuat tatapan Bunda jadi aneh saja!
"Boleh ga?" Nada bicara gue terdengar cukup pelan.
"Oh begitu ya"
"Bun,"
"Kamu tanya Ayah," ucap Bunda pelan sebelum kembali masuk ke dalam.
"Kar, lo yang bener aja! Jam berapa ini?!" Suara gue emang pelan tapi penuh tekanan. Daffa dan Biyan yang sembari tadi ngeliatin kita berdua hanya bisa diam.
"Jam lima"
"Kalian pergi aja bertiga, gue pasti ga bakal diijinin" gue sedikit menunduk.
"Biar gue bantu omong"
Kara, Daffa, dan gue bersamaan menoleh. Menatap Biyan yang justru memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
"Yang penting jangan lupa sholat kan, Na?"
Gue diem, sejak kapan Biyan memperhatikan hal hal tentang gue? Oh atau gue aja yang ke-pd-an?
Pria itu beranjak saat Ayah datang sambil membawa sekotak rokok di tangannya. Jangan lupa korek api yang ada di sisi rokok itu. Gue dan pasangan sejoli itu lebih memilih menjauh dari pada harus menerima fakta yang tidak sesuai ekspektasi nantinya.
Gue ga tau apa yang Biyan omongin sama Ayah sampe akhirnya dibolehin keluar jam segini. Padahal biasanya, jam lima sore adalah jam terlarang bagi gue dan Jihan melewati gerbang rumah.
Jadi, disinilah gue sekarang. Diatas motor vario berdua bersama Biyan dengan keadaan canggung. Mengikuti Daffa dan Kara yang jadi petunjuk arah.
"Lo bilang apa ke Ayah?" Tanya gue sedikit berteriak, bersamaan dengan kaca helm yang gue naikin.
"Kalau Adzan pasti mampir dulu ke masjid, jangan lupa ga boleh sampai jam sepuluh"
Gue tersenyum. Ga tau kenapa, tapi rasanya sedikit sejuk aja pas dia ngomong kayak gitu. Walaupun gue ga tau yang Biyan omongin itu fakta atau cuma omongan yang dibuat buat buat.
"Kenapa?"
"Apanya?" Gue sedikit mendekat.
"Kok diem?"
"Engga, tumben aja Ayah ngijinin. Biasanya sebelum magrib rumah udah harus dikunci"
"Takut maling masuk?"
"Takut setannya masuk ga bisa keluar, kata Ayah ntar malah anak anaknya ngikutin jadi setannya" gue menatap spion, menampilkan Biyan yang tersenyum sambil terus fokus nyetir. Bukannya seneng gue malah jadi ragu, ga mungkin kan tadi pas gue senyum senyum dia ga ngeliat
Oh ayolah! Gue malu!
"Kita mau kemana?"
"Ga tau" ucap gue.
"Bisa request jangan jauh jauh ga sih?"
"Kenapa?"
"Takut kemaleman nganterin lo lah"
"Bukan perkara jauh atau deket, perkara nongkrongnya lama atau engga" degus gue. Gue ga akan bisa nyangkal hal itu. Kalau udah sama Daffa dan Kara ditambah kehadiran dua kurcaci itu pasti akan berujung main game berjam jam.
Untung saja hal yang sudah gue pastikan terjadi tidak terjadi buat hari ini. Ngga ada Haris ataupun Gibran dan itu artinya kita bisa pulang lebih awal. Walaupun dengan dalih takut dimarahin Ayah dan ninggalin dua bucin itu di cafe.
Kurang lebih, jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Tepat saat Biyan berhenti di depan gerbang rumah.
"Udah ngantuk?"
"Dikit"
"Gih, besok upacara"
"Emang lo yakin besok upacara?"
Biyan mengangguk pelan. Bukannya kembali menyalakan motor dan pulang, dia justru membuka ponselnya.
"Nomor lo?"
"Aneh ya kita," gue terkekeh sambil mengisi nomor WA gue di ponselnya "udah hampir dua bulan tetanggan ga saling save"
"Sebenernya buat apa juga, kalo apa apa tinggal saling teriak"
Gue tergelak, menyerahkan kembali ponselnya.
"Ya kali kalo misal lo minta di bangunin gue teriak kaya orang tolol"
"Boleh dicoba besok"
"Perlu pake pentungan ga?"
"Iya, kan sambil ngeronda buat bangunin saur" Biyan menyalakan motornya dan mulai beranjak.
"Mimpi indah"
Gue tersenyum, ga reflek tapi beneran senyum yang gue buat dari diri gue sendiri. Rasanya kaya ngelihat diri Biyan yang beda aja dari hari hari lalu. Dia jauh lebih sweet semenjak ngobrol sama Ayah tadi. Ya walau ga cuma sekali dua kali gue tau dia sering ngobrol sama orang rumah.