Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 11.
Sejak pemakaman Aruna, hari-hari di rumah itu berjalan lambat seperti jam pasir yang hampir habis. Adrian berangkat lebih pagi dari biasanya dan pulang ketika malam sudah sangat larut. Ia memilih sibuk agar tidak perlu mengingat apa pun. Namun, justru bayangan Aruna semakin sering menghantuinya.
Alana bangun setiap pagi lebih awal. Ia menyiapkan sarapan, kemeja kerja Adrian, kopi dengan takaran yang sudah diajarkan Aruna. Namun setiap kali Adrian berangkat, ia hanya mengambil barang-barangnya tanpa menatap, seolah semua itu disiapkan oleh tangan tak terlihat.
Tidak ada ucapan terima kasih, atau sekadar tatapan singkat.
Alana menelan kecewa dalam diam.
Suatu malam, jam menunjukkan pukul sebelas lebih saat suara pintu depan terdengar. Alana yang masih menunggu di ruang tengah langsung berdiri kaget. Bahkan di meja makan, makanan sudah dingin karena terlalu lama menunggu tuan rumahnya pulang.
Adrian masuk dengan wajah lelah. Setelan jasnya kusut, dasinya terlepas asal. Pria itu langsung menuju kulkas dan mengambil air mineral, menenggaknya tanpa melihat ke arah Alana sedikitpun.
“Saya sudah siapkan makan malam,” ucap Alana ragu, takut dianggap lancang.
Adrian menoleh sekilas, wajahnya tanpa ekspresi. “Aku sudah makan di luar.”
“Oh…” Alana menunduk. “Baik.”
Adrian berjalan melewati Alana seperti udara. Namun sebelum naik ke kamar, ia berhenti di tangga. “Jangan tunggu aku lagi, kamu tidak perlu memaksakan sesuatu yang tidak ku minta.”
Kalimat itu menghujani dada Alana seperti pecahan kaca, namun tak membantah.
Alana menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Tuan, saya akan bereskan kamar Nyonya. Bunganya sudah layu, nanti saya ganti yang baru.”
Pria itu langsung menatap tajam. “Jangan sentuh kamar itu.”
Nada suaranya berat dan dingin. “Biarkan seperti semula.”
Alana menunduk. “Baik, Tuan.”
Perempuan itu berbalik dan berjalan ke kamar Alima menahan perasaan sesak yang semakin dalam.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat.
Adrian jarang keluar kamarnya jika di rumah dan jarang bicara. Makan hanya sedikit, dan semua benda milik Aruna tetap dibiarkan di tempatnya.
Alana mengambil alih semua pekerjaan rumah. Ia membersihkan halaman, menyiapkan makanan, memastikan bunga di ruang tengah selalu segar. Ia tahu semua itu tak akan menggantikan kehilangan, tapi setidaknya rumah ini tidak mati bersama penghuninya.
Suatu malam, Alana mendengar suara pelan dari kamar Aruna. Ia membuka pintu sedikit, Adrian sedang duduk di tepi ranjang, menatap foto pernikahannya dengan Aruna.
Ia memeluk bingkai foto itu, dan suaranya pecah, “Kamu di mana, Aruna? Aku nggak tahu caranya hidup tanpa kamu…”
Alana menggenggam gagang pintu erat-erat, air matanya menetes diam-diam. Ia menutup pintu perlahan tanpa suara.
Malam itu, ia duduk di kamarnya sendiri, menatap kosong ke arah langit yang gelap.
Nyonya, saya sudah janji akan jaga Tuan. Tapi bagaimana caranya menjaga seseorang yang sudah berhenti ingin hidup?
Di kamar utama, Adrian menatap langit-langit. Lampu dimatikan, tapi matanya tidak bisa terpejam. Bantal di sampingnya masih menyimpan aroma Aruna yang belum hilang.
Ia menoleh ke arah sisi ranjang yang kosong itu. Tangannya terulur pelan, mencari sesuatu yang sudah tiada.
Ia membenci bahwa orang yang ada di rumah ini bukan Aruna. Ia membenci perasaan bersalah yang terus menghantamnya.
Dia memang pernah berjanji pada Aruna untuk menjaga Alana, tetapi ia belum bisa mengizinkan dirinya menjalani janji itu dengan baik. Tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat.
Keesokan harinya, Alana mengantar Alima ke sekolah. Gadis kecil itu menggenggam tangannya erat.
“Bunda Lana, Papa masih sedih ya?” tanya Alima polos.
Alana terkejut, hari itu Alima baru saja kembali dari rumah keluarga Adrian. Saat Aruna kembali dari rumah sakit, sengaja putrinya di titipkan disana agar anak itu tidak melihat saat ibunya lemah karena kesakitan. Baru hari ini, Alima dibawa pulang.
“Alima, kenapa manggil Mbak... Bunda?“
“Kata Mama, kalau Alima nggak pernah lihat Mama lagi... Alima harus panggil Bunda sama Mbak.“
Mata Alana berkaca-kaca, lalu ia tersenyum lembut. “Makasih, sayang. Papa memang masih sedih... karena Mama Aruna baru pergi.”
Alima menunduk sedih. “Alima juga kangen Mama…”
Alana berjongkok, mengeluvs rambut halus Alima. “Kita kangen sama orang yang sama. Itu berarti kita bisa saling menguatkan, ya?”
Anak itu memeluk ibu sambungnya dengan erat, pelukan kecil yang membuat Alana ingat bahwa ia tidak boleh menyerah.
Setelah Alima masuk kelas, Alana menghela napas panjang. Ia berjalan pulang sambil memikirkan cara lain untuk bertahan di rumah itu.
Untuk Alima.
Untuk Adrian… meskipun pria itu masih belum bisa menerimanya.
Malamnya, Alana kembali menyiapkan makan malam. Walau ia duga, Adrian mungkin menolaknya lagi.
Suara langkah Adrian terdengar, kali ini pria itu menghentikan langkahnya. Ia menatap Alana beberapa detik lebih lama dari biasanya. Ada kemarahan di mata itu, tetapi juga kelemahan yang hampir tak terlihat.
“Aku sudah bilang, kamu tidak harus melakukan semua ini,” ucapnya lagi, namun kali ini nadanya tidak setajam sebelumnya.
“Saya tahu.”
Adrian menghela napas panjang, lalu masuk ke kamar tanpa menambahkan kata-kata apa pun lagi.
Namun Alana memperhatikan satu hal kecil, Adrian tidak lagi bilang itu tidak berguna.
Itu langkah kecil, nyaris tidak berarti. Tapi bagi Alana, itu sudah cukup untuk dia bertahan sehari lagi.
Esoknya...
Rumah itu kembali ramai untuk pertama kalinya sejak Aruna pergi. Kedatangan orang tua Aruna bersama Karina, membuat suasana berubah riuh namun menekan. Mereka datang bukan hanya membawa duka, tapi juga kecurigaan terhadap Alana.
Mereka belum tau, jika Adrian sudah menikahi Alana secara siri.
Karina masuk dengan langkah angkuh, menatap setiap sudut ruangan seolah sedang mencari jejak seseorang yang tidak ia sukai. Ketika pandangannya jatuh pada Alana yang sedang merapikan bunga di ruang tamu, bibirnya melengkung sinis.
“Hei, kau hanya baby sitter yang terlalu nyaman tinggal di rumah orang kaya.”
Alana mengalihkan wajahnya pada wanita berlidah tajam itu, namun ia tidak takut dan menatap Karina dengan berani. “Saya di sini untuk menjaga Alima, karena itu permintaan Nyonya Aruna.”
Karina mendengus tidak percaya. “Menjaga Alima atau mencari kesempatan? Kamu pikir aku tidak melihat maksudmu? Sejak awal kamu pasti ingin menggantikan posisi kakakku menjadi nyonya rumah disini!”
Tuduhan itu seperti tamparan, Alana mengepal jemari namun suaranya tetap tenang. “Saya tidak pernah berniat menggantikan Nyonya Aruna.”
Orang tua Aruna ikut berdiri di sisi Karina, ibunya menatap Alana dengan air mata kemarahan. “Aruna baru saja pergi, tapi kamu masih tinggal di sini, dekat dengan—”
“Mama.”
Suara berat itu terdengar dari arah pintu depan.
Adrian berdiri di sana dengan setelan kerja yang masih ia kenakan, mata sembap itu menatap tajam ke arah Karina dan keluarganya.