Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Cowok Es
Bagi sebagian besar gadis, hari pernikahan adalah hari impian. Hari di mana gaun putih menjuntai indah, bunga-bunga segar bermekaran, dan tatapan penuh cinta dari pria yang akan mendampinginya seumur hidup.
Tapi bagi Alira Putri Ramadhani, hari ini adalah hari kiamat kecil.
“Aduh, kenapa sih aku yang kena? Dari semua orang di dunia, kenapa aku yang harus nikah sama pria itu?!” gerutunya sambil menghentak-hentakkan kaki, membuat para penata rias di ruangannya saling pandang dengan wajah khawatir sekaligus menahan tawa.
“Dek, tolong jangan banyak gerak ya, ini lagi pasangin eyeliner,” kata seorang MUA dengan nada memohon.
Alira mendengus, bibirnya manyun. “Eyeliner, eyeliner… percuma juga dandan cantik kayak gini kalau yang lihat cuma cowok es batu. Dia tuh ya, senyum aja kayak bayar pajak.”
Seisi ruangan langsung cekikikan pelan.
Alira, dengan rambut panjang bergelombang yang sedang disanggul rapi, masih terlihat cantik meski wajahnya cemberut. Gaun putih sederhana tapi elegan sudah menggantung menunggu ia kenakan. Sementara itu, di meja samping, ponselnya terus bergetar. Grup sahabat-sahabatnya dari sekolah tak berhenti membanjiri dengan pesan.
— “Ra, serius lo jadi nikah hari ini? Gila, cepet banget!”
— “Jangan-jangan kamu hamil duluan ya?”
— “Kirain kamu bakal nikah sama aktor Korea, ternyata sama CEO dingin.”
Alira mendesah keras lalu membalas dengan emotikon 🙄 dan mengetik cepat:
“Wish me luck aja. Doain aku nggak pingsan lihat wajahnya yang kayak freezer dua pintu itu.”
Di sisi lain gedung, suasana sangat berbeda.
Adrian Pratama, pria yang akan menjadi suaminya, duduk tegap di kursi besar dengan jas hitam pas badan. Wajahnya sempurna bak model iklan arloji, tapi sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan.
Asistennya, Rey, masuk membawa dasi. “Bro, semua tamu udah datang. udah siap?”
Adrian menghela napas pelan, menatap cermin. “Aku tidak pernah meminta ini. Dan aku tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lebih dari kewajiban.”
Rey hanya tersenyum tipis. “Setidaknya, calon istrimu cantik. Dan… unik.”
“Unik?” Adrian mengangkat alis.
Rey terkekeh. “Ya, unik… kayak bom waktu. Siap meledak kapan saja. Hati-hati aja nanti, bro, jangan-jangan hidupmu bakal penuh warna.”
Adrian tidak menanggapi, hanya merapikan dasinya dengan ekspresi dingin.
Waktu akad pun tiba.
Gedung pernikahan megah itu penuh dengan tamu undangan. Lampu kristal berkilau di langit-langit, bunga putih menghiasi sepanjang jalan menuju pelaminan. Musik lembut mengalun. Semua orang menunggu dengan antusias, apalagi berita tentang pernikahan dua keluarga besar ini sudah jadi gosip hangat.
Alira berjalan dengan gaun putihnya, wajahnya cantik sekali, meski ekspresi protes masih belum bisa hilang. Saat ia melirik Adrian yang duduk dengan tenang di depan penghulu, bibirnya otomatis menggumam pelan.
“Ya ampun, mukanya kayak batu nisan. Satu senyum aja nggak bisa apa?”
Beberapa orang di dekatnya mendengar dan langsung menahan tawa. Adrian menoleh sedikit, tatapan tajamnya menusuk, tapi Alira malah membalas dengan mengedipkan mata genit.
Penghulu kemudian mulai membacakan ijab kabul. Saat giliran Adrian, suaranya tenang, dalam, tanpa ragu. Semua orang langsung berdecak kagum: pria itu memang karismatik, meski dingin.
Giliran Alira ditanya, “Apakah saudari Alira Putri Ramadhani menerima…”
Alira spontan menjawab dengan nada setengah malas, “Iya, iya, saya terima. Tapi jangan salahin saya kalau saya bikin hidupnya pusing tujuh keliling!”
Seluruh ruangan mendadak hening, lalu pecah oleh tawa kecil dari tamu-tamu muda. Penghulu sampai terbatuk menahan senyum. Adrian hanya menutup mata sebentar, lalu membuka kembali dengan ekspresi… semakin dingin.
Setelah akad selesai, acara resepsi berjalan meriah. Musik, foto-foto, ucapan selamat. Alira sibuk meladeni tamu dengan wajah ramah, meski sesekali melirik suaminya yang berdiri kaku di sampingnya seperti robot.
“Mas…” bisiknya pelan.
Adrian menoleh singkat. “Apa?”
“Kamu bisa nggak sih pura-pura bahagia dikit aja? Kasian loh fotografernya, dari tadi motret kamu kayak motret patung lilin.”
Adrian hanya menjawab datar, “Aku tidak pandai berpura-pura.”
Alira langsung manyun. “Ih, sombong banget. Oke, mulai sekarang aku punya misi. Aku akan bikin kamu ketawa. Catet tuh.”
Malam mulai larut. Setelah resepsi selesai, mereka berdua akhirnya tiba di rumah besar Adrian. Rumah itu megah, modern, dengan interior serba putih dan abu-abu.
Alira langsung berdecak kagum. “Wah, ini rumah apa hotel bintang sepuluh?! Kalau aku teriak ‘halo’, pasti ada gaungnya!” serunya sambil berlari kecil masuk ke ruang tamu.
Adrian meletakkan jasnya, melepas jam tangan, lalu menatapnya datar. “Tolong bersikap sewajarnya. Kamu bukan anak kecil lagi.”
Alira menoleh cepat, tersenyum jail. “Ya ampun, Mas Es Batu, hidup tuh harus dinikmati. Nggak usah kaku banget. Nanti cepet keriput loh.”
Adrian menghela napas panjang. “Pertama, jangan panggil aku ‘Mas’. Kedua, jangan banyak bicara di depanku. Ketiga, jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti seorang istri. Kita menikah hanya karena keadaan, jadi jangan terlalu berharap.”
Alira sempat terdiam beberapa detik. Tapi kemudian, alih-alih sedih, ia malah tersenyum lebar dengan tatapan penuh tantangan.
“Ooooh gitu ya? Jadi kamu yakin nggak bakal jatuh cinta sama aku? Wah, menarik sekali! Challenge accepted, Tuan CEO. Aku janji, suatu hari kamu bakal nyesel pernah bilang kayak gitu!”
Adrian menatapnya lama, lalu memalingkan wajah. “Itu tidak akan pernah terjadi.”
Alira menjulurkan lidahnya nakal. “Kita lihat aja nanti, Es Batu.”
Di kamar masing-masing malam itu, keduanya memikirkan hal yang sama: pernikahan ini tidak akan mudah.
Alira menatap langit-langit kamarnya, berguling-guling sambil mendekap bantal. “Ya Tuhan, aku nggak nyangka hidupku berubah segini drastis. Tapi nggak apa-apa, aku siap! Aku pasti bisa bikin dia jatuh cinta. Tunggu aja, Adrian Pratama!”
Sementara itu, Adrian berdiri di depan jendela kamarnya, menatap lampu kota dengan ekspresi datar. “Dia pikir bisa mengubahku. Gadis itu terlalu polos. Dia tidak tahu, aku tidak bisa disentuh dengan cara semudah itu.”
Namun, jauh di lubuk hati masing-masing, mereka berdua sadar—hidup setelah ini tidak akan pernah sama.
Dan mungkin, justru di balik pernikahan tanpa cinta ini, akan lahir sebuah cerita yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.