NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:660
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA

Amara terbangun dengan mata sembab. Malam tadi hampir tidak ada tidur yang benar. Map hitam yang dibawa dari Tower Atmadja masih tergeletak di meja belajarnya. Setiap kali ia memejamkan mata, kalimat Bagas berulang: Menikah denganku.

Di rumah, suasana lebih menekan daripada hujan semalam. Surat penagihan terlipat di meja makan, Ibu duduk dengan wajah pucat, dan Papa sibuk menyalakan rokok yang sudah entah keberapa. Asapnya menyesakkan.

“Ra, kamu ketemu orangnya?” tanya Ibu, suaranya pelan.

Amara mengangguk pelan. “Aku ketemu Pak Bagas. Dia bilang bisa membantu. Tapi…” ia ragu melanjutkan.

“Tapi apa?” Papa menatap tajam, seolah jawaban itu bisa jadi penyelamat atau racun.

Amara menunduk. “Syaratnya aku harus menikah dengannya.”

Ruangan hening seketika. Hanya suara korek api yang gagal menyala. Ibu menutup mulut dengan tangan gemetar. “Ya Allah, Ra.”

Papa terbatuk, lalu berdiri. “Kamu jangan asal bicara. Itu orang siapa? Masa segampang itu minta nikah?”

“Dia tidak main-main, Pa. Dia kasih map berisi perjanjian.” Amara mengeluarkan map hitam dari tas. Kertas di dalamnya masih rapi, tanda tangan Bagas ada di halaman akhir.

Papa membuka lembar demi lembar. Alisnya mengernyit. “Ini perjanjian sah. Semua utang dilunasi besok pagi. Rumah aman. Tapi… pernikahan ini bukan mainan, Ra.”

Ibu menatap Amara, matanya berkaca-kaca. “Kamu yakin? Dia ayahnya Selvia. Bagaimana kalau sahabatmu tahu?”

Nama itu menusuk seperti jarum. Selvia. Sahabat yang selalu ada sejak SMA. Bagaimana ia bisa menjelaskan?

“Aku belum jawab apa-apa,” Amara akhirnya berkata. “Aku… aku butuh waktu.”

Sore itu, Amara memutuskan bertemu Selvia di sebuah kafe kecil dekat kampus. Ia ingin mencari kekuatan, mungkin juga kejujuran.

Selvia datang dengan gaun sederhana, tapi tetap terlihat anggun. Rambutnya dikuncir tinggi, wajahnya sumringah. “Ra! Lama sekali kita tidak nongkrong begini.”

Amara tersenyum kaku. “Iya, Sel. Aku kangen juga.”

Mereka memesan minuman. Kopi latte untuk Selvia, teh chamomile untuk Amara. Obrolan awal ringan: tentang dosen, teman lama, gosip artis. Tapi hati Amara berat, ia tahu cepat atau lambat harus bicara.

“Sel,” Amara mulai, “kemarin aku bantu acara ayahmu.”

Selvia mengangguk. “Iya, aku lihat. Papa bilang kamu cepat sekali menyelesaikan desain. Dia jarang memuji orang, lho. Selamat, Ra.”

Amara menelan ludah. “Dia… menawarkan sesuatu padaku.”

“Apa?” Selvia mendekat, penasaran.

Amara membuka tas, memperlihatkan map hitam itu. “Dia ingin aku menandatangani ini.”

Selvia meraih map, membaca cepat. Saat sampai pada halaman terakhir, wajahnya seketika berubah. Gelas latte hampir terjatuh dari tangannya. “Ini… pernikahan? Dengan Papa?!”

Kafe yang tadinya penuh suara sendok dan obrolan, mendadak terasa sunyi bagi Amara. Ia hanya bisa menunduk.

Selvia meletakkan map dengan kasar. “Ra, kamu gila? Kenapa kamu? Papa masih sehat, masih punya kehidupan sendiri. Kenapa kamu tiba-tiba terlibat?!”

“Sel, aku tidak mencari ini. Aku bahkan tidak bisa percaya. Tapi Papa dan Ibu… utang mereka menumpuk. Kalau tidak ada yang membantu, rumah disita. Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Selvia menggertakkan gigi. “Jadi kamu mengorbankan persahabatan kita untuk menyelamatkan rumah? Kamu pikir aku bisa terima kalau sahabatku sendiri jadi istri ayahku?”

Air mata Amara menggenang. “Aku belum tanda tangan, Sel. Aku hanya… bingung.”

Selvia berdiri, kursinya bergeser keras. “Bingung? Kamu seharusnya menolak! Aku tidak akan pernah memaafkan kalau kamu lakukan ini. Ingat baik-baik, Ra. Kalau kau jadi istri Papa, kau bukan lagi sahabatku.”

Ia pergi meninggalkan Amara sendiri. Map hitam itu tertinggal di meja, seolah menjadi bukti dosa yang belum terjadi.

Malamnya, Amara duduk di kamar, lampu kecil menyala. Ia membuka map itu sekali lagi. Pasal-pasal di dalamnya jelas: semua utang dilunasi, keluarganya aman, sebagai gantinya ia harus menikah dengan Bagas dalam waktu sebulan.

Di luar kamar, Papa dan Ibu berdebat pelan. Papa ingin menerima tawaran itu—baginya, ini jalan keluar. Ibu ragu, ia takut anaknya hancur masa depannya.

Amara menutup mata, kepalanya berat. Dalam kegelapan, ia melihat wajah Selvia penuh amarah, wajah Ibu penuh takut, dan wajah Bagas yang dingin tapi tegas.

Pikirannya bising: Jika aku menolak, keluarga bisa hancur. Jika aku menerima, persahabatan lenyap, hidupku berubah selamanya.

Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. “Ra,” suara Ibu, parau. “Kamu tidak sendirian. Apa pun keputusanmu, Ibu ada di pihakmu.”

Air mata Amara jatuh tanpa suara. Ia meraih map itu, menatap halaman terakhir. Tanda tangan Bagas sudah ada di sana, menunggu miliknya.

Tangannya gemetar. Pena siap menari.

Tapi jiwanya belum siap berkata “ya”… dan terlalu takut berkata “tidak.”

Amara menutup map hitam itu dengan cepat, seolah kalau ia biarkan terbuka lebih lama, kata-kata di dalamnya akan melompat keluar dan mengikat lehernya. Suara debat Papa dan Ibu dari ruang tengah masih terdengar samar.

“Ini kesempatan langka!” suara Papa meninggi. “Bagas Atmadja bukan orang sembarangan. Kalau dia mau menolong kita, kenapa harus menolak?”

“Tapi ini hidup anak kita, Pak,” balas Ibu dengan suara bergetar. “Amara masih muda. Dia punya masa depan. Bagaimana mungkin kita menyerahkannya begitu saja?”

Amara menutup telinganya dengan bantal. Hatinya perih. Baginya, kedua orang tuanya sama-sama benar, tapi juga sama-sama salah.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Nona Amara. Waktu Anda tidak banyak. Saya sarankan membaca kembali pasal dua dan tiga. Jika setuju, hubungi nomor ini. Kami akan menyiapkan segalanya.

Amara menatap layar ponselnya. Tangannya gemetar. Ia tahu pesan itu berasal dari orang kepercayaan Bagas.

Keesokan harinya, Amara berangkat kuliah dengan hati kosong. Matanya bengkak, tubuhnya letih, tapi ia tetap berusaha tampil normal. Di gerbang kampus, beberapa temannya menyapanya, namun ia hanya membalas dengan senyum tipis.

Di kelas, ia duduk paling belakang, memandangi papan tulis yang kabur di matanya. Kata-kata dosen berkelebat seperti suara asing, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Saat jam istirahat, ia ke kantin. Tidak lama, sebuah bayangan menutup meja makannya. Ia mendongak.

Davin Surya.

Sudah lama ia tidak melihatnya. Rambutnya kini lebih rapi, tubuhnya lebih tegap, senyum yang dulu membuat Amara merasa aman kini terasa asing.

“Amara,” sapa Davin. “Lama tidak bertemu.”

Amara tercekat. “Davin? Kamu… kamu sudah kembali?”

“Ya. Baru seminggu. Aku dengar keluargamu sedang dalam masalah,” katanya lembut, duduk tanpa diminta. “Aku ingin menolongmu.”

Amara menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku bisa urus sendiri.”

“Tapi aku serius,” Davin menatapnya dalam. “Kamu tahu aku masih peduli padamu. Kalau ada masalah, biarkan aku bantu.”

Amara merasa kepalanya berputar. Bagas menawarkan bantuan dengan syarat pernikahan. Davin tiba-tiba muncul, menawarkan sesuatu tanpa syarat—setidaknya sejauh ini.

Namun ia tahu, hidup tidak pernah sesederhana itu.

Sore itu, Amara pulang lebih awal. Di depan rumah, sebuah mobil hitam mewah terparkir. Tubuhnya langsung tegang.

Bagas Atmadja berdiri di teras rumah, bersama dua asistennya. Papa dan Ibu duduk di ruang tamu dengan wajah campur aduk—antara cemas dan lega.

“Selamat sore, Amara,” sapa Bagas tenang, suaranya dalam dan berwibawa. “Aku datang bukan untuk memaksa, tapi untuk menjelaskan.”

Amara berdiri kaku. “Kenapa harus saya, Pak? Dari sekian banyak orang, kenapa harus saya?”

“Karena kau berbeda,” jawab Bagas singkat. “Kau bukan bagian dari lingkaran kami. Kau tidak punya kepentingan dengan nama besar Atmadja. Justru itu yang kubutuhkan.”

Ia menatap Papa dan Ibu Amara. “Aku tahu keluarga ini dalam kesulitan. Aku bisa menyelesaikan semuanya. Tapi aku juga butuh sesuatu: stabilitas. Media menyorot kehidupanku. Aku butuh seorang pendamping resmi untuk meredam semua spekulasi. Pernikahan adalah solusi tercepat.”

Papa menunduk, Ibu meneteskan air mata.

Amara menggenggam jemarinya sendiri. “Dan kalau aku menolak?”

“Tidak ada ancaman,” kata Bagas datar. “Aku tidak memaksa. Tapi jika kau menerima, keluargamu aman, dan kau tidak akan kekurangan apa pun. Keputusan tetap di tanganmu.”

Ia menyodorkan sebuah kartu nama. “Pikirkan baik-baik. Jawab sebelum akhir pekan. Waktu tidak banyak.”

Bagas berdiri, menyalami Papa, lalu melangkah keluar rumah. Mobil hitam itu pergi, meninggalkan udara berat yang menekan dada Amara.

Ibu menatapnya dengan mata penuh harap sekaligus takut. “Ra… apa yang akan kamu lakukan?”

Amara menunduk. Map hitam masih ada di tasnya, dan kartu nama Bagas kini menambah beban.

Di kepalanya, wajah Selvia, Davin, dan keluarganya silih berganti. Tidak ada jalan keluar yang tidak melukai seseorang.

Malam itu, Amara menulis di buku hariannya:

“Jika aku berkata ya, aku kehilangan sahabatku. Jika aku berkata tidak, aku kehilangan keluargaku. Lalu, mana yang harus kupilih?”

Tangannya berhenti, tinta pena menetes di halaman. Air matanya jatuh, bercampur dengan noda tinta itu.

Bagi Amara, malam itu adalah malam pertama ia merasa benar-benar terpojok, tanpa ruang untuk bernapas.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!