Menjadi istri tapi sama sekali tak di anggap? Bahkan dijual untuk mempermudah karir suaminya? Awalnya Aiza berusaha patuh, namun ketidakadilan yang ia dapatkan dari suaminya—Bachtiar membuat Aiza memutuskan kabur dari pernikahannya. Tapi sepertinya hal itu tidak mudah, Bachtiar tak semudah itu melepaskannya. Bachtiar seperti sosok yang berbeda. Perawakan lembut, santun, manis, serta penuh kasih sayang yang dulu terpancar dari wajahnya, mendadak berubah penuh kebencian. Aiza tak mengerti, namun yang pasti sikap Bachtiar membuat Aiza menyerah.
Akankah Aiza bisa lepas dari pernikahannya. Atau malah sebaliknya? Ada rahasia apa sebenarnya sehingga membuat sikap Bachtiar mendadak berubah? Penasaran? Yuk ikuti kisah selengkapnya hanya di NovelToon!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter —2
“Apa-apaan ini?! Makanan sampah! Berani-beraninya kau menyajikan kami makanan seperti ini, sementara kau tahu betul bahwa kami nggak suka makanan pedas! Kau ini benar-benar nggak punya otak, ya?! Nggak tahu buat makanan, nggak tahu mengurus rumah! Hanya tahu membuat masalah!”
“Kau pikir kami ini orang-orang yang bisa dikasih makan sembarangan, iya?! Kau ini seperti pembantu yang nggak guna, hanya membuang-buang uang dan waktu kami saja! Pergi ambil sendokmu yang kotor itu dan jangan membuat kami melihat wajahmu lagi, atau kau akan menghadapi konsekuensi yang sangat berat karena sudah berani menyajikan makanan seperti ini!” pekik Kamariah menyentakkan kedua alat makannya di atas piring nasinya dengan keras.
Kalimat itu membuat Aiza merasa ketakutan. Ia tak menyangka jika sang ibu mertua akan sebegitu marah dengannya. Sementara Nurma adik iparnya malah tersenyum sinis menatap Aiza yang saat ini sedang dimaki oleh ibunya.
Aiza menunduk. Kedua maniknya sudah berlinang air mata, mengalir deras seperti hujan yang tidak terhenti. Aiza merasa terluka, hatinya bagai dicabik-cabik oleh kalimat kasar Kamariah. Ini kali pertama ia dimarahi dengan begitu kasar, dan itu dilakukan oleh seseorang yang sangat ia hormati layaknya ibunya sendiri.
‘Kenapa seperti ini ya Tuhan? Kenapa mereka memperlakukanku sekasar ini? Padahal tadi jelas-jelas mereka sendiri yang minta agar aku membuatkan makanan pedas. Tapi sekarang malah menyalahkanku karena sudah menyajikan makanan itu.’ batin Aiza.
Aiza memegangi dadanya. Ia mencoba menenangkan diri serta jantungnya yang berdegup kencang karena dimarahi oleh sang ibu mertua. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam diri, dalam menghadapi permasalahan antara ia dan ibu mertua. Tapi, sebelum ia bisa mengambil napas dalam-dalam, Kamariah malah semakin hilang akal!
Dengan gerakan kasar juga brutal Kamariah membuang seluruh masakan Aiza ke lantai! Piring-piring berterbangan, makanan berserakan, dan suara pecahan kaca memekakkan telinga—yang mana hal tersebut membuat Aiza semakin terpukul.
Kamariah berdiri di tengah-tengah kekacauan yang ia buat. Wajahnya merah padam. Dengan sorot mata menyala wanita tua itu lantas berteriak, “Kau pikir ini makanan, hah?! Ini sampah! Ini racun! Kami bisa mati jika makan makanan ini!”
Mendengar teriakan tersebut, tubuh Aiza gemetar. Ia benar-benar ketakutan. Sementara Nurma mendekati ibunya, memegang lengan Kamariah dengan lembut.
Melihat tindakan ibunya yang sudah kelewat batas. Nurma kemudian mendekati ibunya. Ia memegang lengan Kamariah dengan lembut. “Ibu, tolonglah, jangan terlalu marah. Kak Aiza, pasti nggak sengaja kan?” Nurma berkata dengan suara lembut dan manis. Namun, dengan nada yang mengandung hinaan terhadap Aiza.
“Lagi pula ini hari pertama, Kak Aiza, sebagai menantu di rumah ini. Ia masih perlu banyak belajar menyesuaikan masakan serta rasa lidahnya denga kita. Setelah ini aku yakin, Kak Aiza, akan belajar dari kesalahan,” tutur Nurma lagi yang masih memandang Aiza dengan tatapan yang sarat akan kebencian.
Nurma kemudian berbisik pada Kamariah, “Bu, kita nggak boleh terlalu keras sama, Aiza. Bagaimanapun sekarang ia telah sah menjadi istri, Bang Bachtiar, kita harus hati-hati. Jangan sampai anak kampung itu mengadu.” Kalimat itu Nurma utarakan dengan sangat pelan nan lembut, agar tak terdengar oleh Aiza.
Kamariah mengangguk. Ia menurut. Bagaimanapun apa yang barusan disampaikan oleh Nurma adalah benar. Aiza adalah menantunya, istri dari putra kebanggaannya. Ia tak boleh membuat putra sulungnya itu sampai membencinya, dikarenakan sikapnya yang terlalu kasar terhadap Aiza.
Tapi… Kamariah sendiri masih heran kenapa tadi malam Bachtiar sampai tidak pulang. Meninggalkan Aiza, yang merupakan pengantinnya? Padahal jika ditilik ke belakang Kamariah tahu betul betapa Bachtiar sangat menginginkan Aiza. Namun tadi malam bukannya menghabiskan malam pengantinnya bersama Aiza, Bachtiar malah meninggalkannya?
Sebenarnya apa yang terjadi? Tentang pekerjaan rasanya tidak mungkin, karena sebelumnya Bachtiar pernah mengatakan jika perusahaan telah memberinya cuti selama 10 hari. Lalu, jika bukan karena urusan pekerjaan kenapa Bachtiar sampai tidak pulang?
Kamariah berpikir, mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan Aiza? Misal ada pertengkaran di antara mereka? Jika benar maka syukurlah, Kamariah bahkan berharap hubungan pernikahan antara Bachtiar juga Aiza bisa berakhir secepatnya.
‘Semoga memang terjadi sesuatu yang mengguncang hubungan mereka. Dengan begitu aku bisa segera mengusir anak kampung ini dari rumahku!’ batin Kamariah.
Bersambung.