Sebuah kisah tentang seorang wanita bernama Rumondang yang memilih menganut ilmu hitam untuk membalas dendam dan memiliki kekayaan.
Berawal dari sebuah kekecewaan dan penderitaan yang begitu berat, membuat ia harus terjerumus dalam lembah hitam untuk bersekutu dengan sesuatu yang sangat mengerikan.
Ia menempuh jalan sesat dengan memilih memelihara sesosok makhluk mengerikan yang berasal dari daerah suku Batak, Sumatera Utara, yang disebut dengan Begu Ganjang. dimana sosok makhluk ini semakin akan memanjang keatas jika semakin dilihat dan siapa yang bertemu dengannya, maka kematian yang akan ia dapatkan...
Apakah Begu Ganjang? dan apakah Rumondang dapat mencapai tujuannya?
Begu Ganjang, suara yang memanggil dalam kegelapan. Membawa kematian yang sangat mengerikan, teror yang tidak berkesudahan.
Bagaimana kisah selanjutnya, ikuti novel ini
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua
Rumondang merasakan dadanya begitu sangat sakit. Bagaimanapun ia masih mencintai Ambolas. Pria itu sudah memberikannya lima orang anak, dan ia juga menghabiskan masa mudanya dengan dinikahi oleh pria itu saat masih berusia lima belas tahun.
Ia mengira dengan menikah dapat mengurangi beban hidupnya yang cukup sulit, namun justru membawanya pada carut dan marutnya ekonomi yang kian memburuk.
Saat usianya menginjak empat puluh tahun, wajahnya sudah sangat terlihat tua akibat harus bekerja diladang dan berpanasan dibawah sinar mentari, ditambah lagi mengurus ternak babi yang cukup banyak demi menopang ekonomi keluarganya.
Ia berpura-pura tidak melihat apa yang sedang dilakukan suaminya, meskipun ia harus merasakan perihnya kehidupan yang sedang ia hadapi, namun demi kelima buah hatinya, ia berusaha tegar.
Rumondang lalu berjalan menyusuri jalanan yang sudah ber-aspal, sebab daerahnya tempat tinggal dibawah kaki bukit, dimana hasil pertanian berupa sayur mayur akan dikirim keberbagai provinsi dan luar daerah, untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Ia terus melangkah, meski hanya dengan bertelan-jang kaki dan menembus kabut embun yang masih tampak tebal, dan hal itu pula yang menjadikan tanah dikebunnya subur.
Langkahnya semakin ia percepat, sebelum matahari bersinar terik, dan ia berpesan pada puterinya yang duduk dibangku SLTP untuk membantunya setelah pulang sekolah.
Sebuah kantong kresek ditentengnya ditangan. Ia membawa bekal untuk makan siangnya. Hari ini ia memasak saksang daging anjing dan juga tumis kol sebagai menu makannya.
Dikepalanya terdapat kain jarik yang disilangkan membentuk seperti blangkon namun berukuran besar sebagai pelindung dari panasnya terik mentari.
Tak lupa ia menggunakan bedak dingin yang berbentuk bulat dan pemakaiannya dengan dilarutkan menggunakan air, dan itu adalah skincare yang dipakainya sehari-hari dengan berbahan beras yang dihaluskan dan dicampur berbagai ramuan lainnya.
Setibanya dikebun, ia berdiri mematung menatap hamparan tanaman cabainya. Ia harus dikejutkan dengan apa yang dilihatnya.
Dimana tanaman cabainya yang akan ia petik, ternyata telah dicuri orang. Ia terlambat memanen, padahal hari ini adalah waktunya ia memetik hasil yang ditanamnya sejak berbulan-bulan, dan pada kenyataannya orang lain yang menikmatinya.
Seketika hatinya sangat lara. Ia tidak menduga jika penderitaan hidup yang dialaminya sungguh sangat menyedihkan. Hingga akhirnya tubuh lelahnya luruh ketanah dan terduduk dengan lemah.
Namun ia masih mengingat jika tanaman kol, lobak dan juga buah bit masih ada disebelah. Ia masih memiliki harapan untuk dapat memanennya, dan mencoba menguatkan hatinya agar ia kembali tegar ditengah badai yang menerjangnya.
Ia kembali beranjak bangkit, mempercepat setiap gerakan langkahnya, lalu menuju kebun kol dan bit yang bercampur dengan lobak dengan jarak sekitar lima puluh meter saja dari tempatnya saat ini.
Akan tetapi, rasa harapan itu tiba-tiba sirna, saat ia melihat jika kebun kol, bit dan juga lobak yang menjadi harapan satu-satunya juga sudah dipanen oleh pencuri. Sontak saja ia merasakan hatinya bagaikan dihujam sebilah pisau, dan memberikan perasaan yang sangat sakit.
Ia merasa jika Tuhan tidak adil padanya. Ia adalah seorang yang religius, namun tampaknya Tuhan tidak memberikannya sesuatu yang ia inginkan. Sedangkan mereka yang berbuat nista tampak hidup senang dengan rezeki yang terus datang dan melimpah.
"Tuhan, boasa dilehon ho tu au ujian sa boraton, aha salah hu?" (Tuhan, Mengapa Kau uji aku dengan begini berat, apa salahku?). Ratapnya dengan hati yang begitu sakit dan berputus asa.
Kedua matanya mulai berkaca-kaca dengan bulir bening yang jatuh disudut matanya. Kini hatinya bukan saja perih karena pengkhianatan sang suami, tetapi juga karena penderitaan hidupnya yang cukup berat.
Dua puterinya yang sedang berkuliah baru saja menghubunginya malam tadi untuk meminta kiriman uang semester. Jika untuk bertahan hidup, keduanya memilih bekerja paruh waktu, agar meringankan beban sang ibu.
Ia sudah berjanji akan mengirimkan uang itu paling lambat tiga hari lagi setelah panennya selesai, namun kenyataan yang diterimanya justru membuatnya sangat terpukul, dimana semua hasil kebun yang akan dipanennya justru dicuri orang.
Baru saja ia merasakan sakitnya atas kekecewaan yang ia alami, tetapi ia kembali diuji dengan sesuatu yang lebih menyakitkan.
Sebuah deru mesin motor menuju kearahnya, semakin lama semakin mendekat. Ia menghapus air matanya, berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya.
Terlihat Ture anak perempuannya yang duduk dikelas satu Sekolah Menengah Atas datang menghampirinya ke kebun dengan sepeda motor matic bekas yang dibelinya dari penjualan ternak babinya untuk mempermudah mereka kesekolah, sebab jarak tempuh yang cukup jauh.
Ia tampak begitu kelelahan, dan wajahnya memucat, dengan matanya sembab seperti sedang menangis.
"Inang, I-inang," ucapnya dengan terbata. Lidahnya seperti keluh untuk mengucapkan sesuatu.
Rumondang bergegas bangkit dan menghampirinya. Ture masih berpakaian seragam sekolah, lalu mengapa menyambanginya sampai kekebun?
"Tiur tiba-tiba kejang, Nang. Aku tak tau apa yang terjadi sama dia," ucapnya dengan nafasnya yang terasa sesak.
"Oh, Tuhan apa lagi ini?!" ucapnya dengan hati yang sangat lara. Segala beban kehidupan terus saja berdatangan. "Sudah, Kau bonceng inang sekarang." ia naik ke motor dan meninggalkan kebun, bahkan nasi yang dibawanya ia tinggalkan begitu saja.
Setibanya dirumah, ia bergegas melihat Tiur yang masih berseragam sekolah SLTP dengan tubuhnya mengejang dan kedua matanya mebeliak menatap keatas.
Belum lagi hilang satu perkara, kini datang perkara lainnya.
"Kau jemput Bapakmu, kau bilang sama dia untuk mengantarkan si Tiur ke rumah sakit," ucapnya pada Ture.
Gadis itu mengangguk, lalu kembali mengendarai motornya dan menuju warung tempat dimana sang bapak sedang meminum tuak dan bersenang-senang.
Setibanya didepan Warung, Ture memasuki tempat nongkrong itu dengan perasaan muak. Ia melihat sang Bapak masih bermain gitar sembari meneguk tuaknya.
"Pak, ayo pulang, antarkan Tiur ke rumah sakit!" ucapnya dengan penuh amarah. Ia sudah tidak lagi memperdulikan tatakrama, sebab Ambolas tak memerlukannya.
Selain pemalas, ia juga sering melakukan kekerasan terhadap ibu mereka dan jika tidak diberi uang, maka ia akan melemparkan barang-barang dengan mudahnya.
"Kau suruh saja mamakmu itu yang urus, jangan mengurus anak saja tidak becus, Dia!" jawabnya dengan santai tanpa beban. Melihat Ture tak bergeming, ia semakin sangat kesal. " Apalagi kau masih disini, sudah, pulang kau sana! Mengganggu saja kau ini kerjanya!" sahut Ambolas dengan berang.
Ture menatap geram. Jika saja ia tak dapat mengontrol emosinya, mungkin ia akan menyiramkan satu teko tuak itu kewajah sang bapak.
Tapi anehnya, darimana ia mendapatkan uang yang banyak, dan bisa terus membeli tuak.
Saat bersamaan, ia melihat Dorma sang janda yang datang membawa sepiring camilan Ular sanca goreng yang akan dijadikan untuk tambul. Wanita itu terlihat banyak memakai perhiasan emas.
Dengan rasa kecewa, Ture memilih untuk pulang.
mbok ya mikir dlu org nulis itu kan g mudah iya lah klo asal2an nulis mah ini lho beneran di jelaskan jd apa lagi mau julid2 hadehh pikir dlu dehh
banyak banget pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini.... mulai dari cinta, kasih sayang, agama dan keluarga...
penulisnya detail banget dalam menggambarkan tempat, suku, kebudayaan, bahasa, adat-istiadat setempat... seolah-olah penulis juga orang Batak.
seolah-olah penulis juga ada dalam kejadian..
novel ini saya rekomendasikan kepada semua orang.
sukses selalu🥰
Semangat Akak 😘💪
baru kmrn Babang Angkasa Tamat ,, kini Ture jg Tamat cerita nya 😭😭😭
sumpaah kak ,, aku suka dg semua Cerita Mu ,,, apalagi di Novel ini ,,, Masyaallah byk bgt Pengetahuan yg bisa aku ambil ,,, walaupun cerita ini ttg Suku Batak yg Mayoritas nya Non Muslim ,, tp byk yg bisa kita Pelajari dsni 🤗
aku yg td nya TDK tahu apa-apa ttg bahasa Batak dan Adat Istiadat serta Kebudayaan nya ,, kini sedikit byk jd tahu.
Pokoknya Ter The Best lach buat Akak ku @Siti H ,, terus lah Berkarya dg Tangan-tangan Lincah Mu di atas Keyboard 👍😘🥳
Aku akan sllu menjadi Pendukung Mu dan sllu Menunggu Cerita-cerita Mu yg Baru lg 😘🥳💪
tamat jugaaa