Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Max duduk termenung di samping ranjang Leticia, tangannya menggenggam jemari mungil yang kini terasa begitu asing baginya. Wajah pucat di depannya adalah wajah wanita yang ia cintai, namun jiwanya terasa jauh. Gadis yang ia kenal, dengan segala kepolosan dan kecanggungannya, seolah telah pergi, digantikan oleh seseorang yang sama sekali tidak mengenalinya, bahkan juga menatapnya dengan tajam seolah dirinya kini hidup dengan penuh kewaspadaan. Ingin sekali rasanya Max untuk memeluk dan membantu menyelesaikan segala masalah yang mengganggu pikirannya. Saat ini pikirannya melayang jauh menembus kabut kepanikan, dan kembali di masa lalu. Ia meingat dengan jelas hari ketika Leticia datang dengan segala kesederhanaan dan kemurniannya, pertama kali muncul di hadapannya dan merenggut seluruh perhatian bahkan detak jantungnya.
...*FLASHBACK ON*...
Dua tahun yang lalu, sebuah acara amal mewah diselenggarakan di ballroom utama hotel bintang lima milik keluarga Max. Gemerlap lampu kristal memantulkan kemewahan pada setiap sudut ruangan, diiringi dentingan gelas anggur dan bisikan-bisikan obrolan kelas atas. Max, yang saat itu merasa lelah dengan tuntutan kedua orang tuanya tentang mencari seorang wanita untuk dijadikan pendamping hidup. Max bertekad mencari wanita itu didalam kegiatan amal yang sedang berlangsung. Ia yang jarang tertarik pada keramaian atau wanita-wanita yang sengaja menampilkan diri dengan dandanan paling mencolok demi menarik perhatiannya. Baginya, mereka semua terlihat sama: penuh kepalsuan dan ambisi tersembunyi.
Namun sepertinya malam itu pandangannya terpaku pada satu titik yang berbeda. Di antara lautan gaun desainer dan jas mahal, Max melihat sosok mungil yang tampak kikuk di dekat meja prasmanan. Seorang gadis muda, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang sedikit kebesaran, terlihat jelas tidak nyaman dengan suasana glamor di sekelilingnya. Rambut cokelat gelapnya diikat asal, beberapa helai jatuh membingkai wajah bulatnya yang polos, sesekali ia meniup poninya yang menghalangi mata. Dia bukan tipe wanita yang biasanya menarik perhatian Max tidak mencolok, tidak modis bahkan sedikit canggung dalam gerak-geriknya.
Gadis itu, yang kemudian Max ketahui bernama Leticia, tengah berjuang keras meraih segelas punch buah dari meja prasmanan yang tinggi. Tangannya terlalu pendek, bahkan setelah ia berjinjit dengan sekuat tenaga. Max melihatnya mengerucutkan bibir lucu, matanya membulat penuh konsentrasi seperti anak kecil yang sedang berusaha meraih mainan favoritnya. Beberapa kali ia melompat kecil, namun tetap gagal. Ada sesuatu yang begitu murni dan tulus dari gerak-geriknya, jauh dari kepura-puraan atau pose anggun yang biasa ia temui di lingkungan sosialnya. Ia bahkan tak sadar menjadi pusat perhatian di mata Max.
Max tidak tahu kenapa, tetapi kakinya bergerak sendiri mendekati gadis itu. Ada dorongan aneh, semacam magnet yang tak bisa ia jelaskan. Ia yang biasanya menjaga jarak dan selalu menjaga citranya yang dingin, kini melangkah mendekat dengan satu tujuan: membantu gadis polos itu.
"Butuh bantuan?" suaranya sedikit serak, memecah konsentrasi Leticia dan mengejutkannya.
Leticia terlonjak kaget, tangannya yang hampir menyentuh gelas pun terlepas. Ia berbalik dengan cepat, wajahnya merona merah seperti tomat matang, dan matanya yang besar mengerjap polos menatap Max. Max bisa melihat rasa malu yang tulus di sana. "Oh! Maaf, saya... saya hanya mencoba mengambil minuman ini." Ia menunduk malu, seolah melakukan kesalahan besar karena ketidakmampuannya meraih segelas punch.
Max mendapati dirinya tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang jarang ia tunjukkan di depan orang asing, apalagi di acara formal seperti ini. Kepolosan itu benar-benar menggemaskan dan entah kenapa, menenangkan jiwa Max yang selalu diselimuti ambisi. "Tidak apa-apa. Biar saya bantu." Max dengan mudah meraih gelas punch itu dan menyodorkannya pada Leticia. Tingginya yang menjulang membuatnya tak perlu berusaha keras.
"Terima kasih banyak!" kata Leticia, matanya berbinar cerah seperti anak kecil yang baru saja diberi permen. Senyumnya begitu tulus dan murni, tanpa sedikit pun polesan atau perhitungan. Senyum itu langsung mengikat hati Max. Sebuah perasaan aneh, hangat, dan belum pernah ia rasakan sebelumnya, menjalar di dadanya. Itu adalah jatuh cinta pada pandangan pertama, sebuah konsep yang selalu ia anggap omong kosong bualan para pujangga, namun kini ia merasakannya sendiri, nyata dan tak terbantahkan. Dunia Max yang tadinya hanya berputar pada angka dan keuntungan, kini memiliki fokus baru: gadis dengan senyum polos bernama Leticia.
"Nama saya Max," katanya, suaranya terasa lebih lembut dan hangat dari biasanya. Dia bahkan tak peduli jika ada rekan bisnis yang melihatnya tersenyum tulus kepada seorang gadis polos.
"Leticia," gadis itu membalas, senyumnya tidak memudar, justru semakin lebar.
Sejak malam itu, Max tak bisa melepaskan Leticia dari pikirannya. Ia terpesona oleh kepolosan Leticia yang kontras dengan dunia yang biasa ia geluti. Leticia adalah sebuah oase ketulusan di tengah gurun kepalsuan dan ambisi yang mengelilinginya. Ia mencari tahu tentang Leticia dan menemukan bahwa gadis itu adalah seorang mahasiswi sederhana yang datang ke acara amal tersebut sebagai sukarelawan, bukan sebagai tamu undangan. Hal itu semakin menguatkan pesonanya.
Max mulai mendekatinya, awalnya dengan dalih bantuan atau obrolan ringan, namun tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa ia ingin lebih. Ia ingin melindungi kepolosan itu, menjaganya dari kerasnya dunia yang bisa menghancurkan kemurnian sepertinya. Ia ingin menjadi satu-satunya yang melihat senyum tulus itu setiap hari. Mereka mulai berkencan, dan setiap pertemuan selalu terasa segar dan berbeda dari hubungan-hubungan Max sebelumnya. Leticia tidak pernah meminta apa-apa, hanya kebersamaan. Leticia tidak pernah menilai Max dari statusnya, hanya dari hati.
...*FLASHBACK OFF*...
Max menghela napas panjang, kembali ke kenyataan pahit di kamar rumah sakit. Ia menatap wajah Leticia yang terbaring lemah. "Tia-ku yang dulu... akankah kau kembali?" gumamnya, suaranya dipenuhi kepedihan. Ia tahu ini bukan Leticia yang dulu sepenuhnya, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih kuat dan misterius dari tatapan mata itu saat ia memandangnya tadi. Bahkan, ada kilatan tajam yang mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Namun, Max bersumpah akan melakukan apa saja untuk mengembalikan Leticia-nya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi segala kebohongan yang kini mulai tercium di balik insiden tenggelamnya Leticia. Ia hanya berharap di balik mata asing itu, jiwa Leticia yang polos masih ada dan menunggunya, dan dia bisa kembali bersama dengan Leticia yang polos dan murni itu.
Max pun sudah meminta pada orang suruhannya untuk segera mencari tau apakah jatuhnya Leticia ke dalam kolam kemarin merupakan kecelakaan biasa, atau memang ada unsur kesengajaan dan ada dalang dibalik semua ini.
NU salah gegedug tilihur tapi kabawa Ampe cicit na 🤦