Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Dia Selingkuh?
Sore itu, Novia sedang membereskan dapur setelah makan siang yang terasa hambar. Hatinya masih perih mengingat kejadian di tukang sayur. Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu. Novia melihat Diana sudah membuka pintu dan menyambut seseorang. Itu Ema, kakak perempuan Januar, putri sulung Diana. Ema datang dengan senyum cerah dan tas tangan bermerek.
"Assalamualaikum, Ibu! Apa kabar?" sapa Ema riang sambil memeluk Diana.
"Waalaikumussalam, Ema. Baik, Nak. Ibu kangen sekali," jawab Diana, raut wajahnya langsung berubah sumringah.
Keduanya kemudian duduk di ruang tamu. Novia melirik dari dapur. Ia tahu, setiap kali Ema datang, topik pembicaraan pasti tidak jauh dari dirinya. Dan benar saja, tak lama kemudian, samar-samar ia mendengar namanya disebut.
"Ema tahu tidak," mulai Diana dengan suara dibuat lebih rendah, "Ibu ini pusing sekali dengan Novia. Sudah empat tahun menikah dengan Januar, tapi belum juga punya anak."
Ema mengernyitkan dahi. "Loh, memangnya kenapa, Bu? Kan urusan anak itu rezeki dari Allah."
Diana mendengus. "Rezeki bagaimana? Ini pasti karena Novia yang bermasalah. Ibu sudah bilang berkali-kali, Novia itu mandul! Percuma saja dia jadi guru, gajinya kecil, anak juga tidak ada."
Novia yang sedang membawa nampan berisi teh, tiba-tiba berhenti di ambang pintu dapur. Genggaman tangannya mengerat pada nampan. Kata itu lagi, mandul. Diucapkan dengan begitu gamblang, tanpa beban, di hadapan kakak iparnya. Dadanya terasa sesak. Ia mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya, meletakkan teh di meja.
"Silakan diminum, Mbak Ema," ucap Novia dengan suara bergetar yang ia coba tutupi.
Ema melirik Novia, ekspresinya sulit ditebak. "Terima kasih, Novia."
Diana menatap Novia sekilas, lalu kembali berbicara pada Ema, mengabaikan kehadiran Novia seolah ia tak ada. "Ibu ini sampai malu dengan tetangga. Tiap ditanya cucu, Ibu cuma bisa geleng-geleng kepala. Coba kalau Novia punya anak, kan Ibu bisa bangga."
"Tapi, Bu," sahut Ema hati-hati, "bukankah sudah periksa ke dokter? Bisa jadi kan Januar juga ada masalah?"
Diana langsung mendelik. "Tidak mungkin! Januar itu sehat walafiat. Pasti Novia ini yang tidak becus. Menantu tidak berguna!"
Mendengar cercaan itu, Novia menunduk. Air mata yang selama ini ia tahan, kini menetes satu per satu membasahi pipinya. Ia merasa sangat kecil, tidak berdaya. Semua kerja kerasnya sebagai guru, semua kesabarannya menghadapi mertua, seolah tak ada artinya di mata Diana. Ia merasa seperti sampah, tak diinginkan, dan tak dihargai.
"Novia dengar semua yang Ibu katakan," batinnya lirih, "tapi aku tak tahu harus berbuat apa."
Ia pergi ke kamarnya, meninggalkan Diana dan Ema yang masih asyik bergosip. Di dalam kamar, Novia menjatuhkan diri di tepi ranjang. Ia menatap kosong dinding kamar. Mengapa harus sebegini kejamnya dunia ini padanya? Mengapa semua beban ini harus ia tanggung sendirian? Perasaan sedih dan putus asa menyelimutinya.
****
Malam itu, Novia sedang menyiapkan makan malam saat suara motor Januar terdengar memasuki pekarangan rumah. Hatinya sedikit menghangat. Ia tahu, sebentar lagi ia tak akan merasa sendirian lagi. Segera ia menghampiri pintu depan, menyambut suaminya dengan senyum.
Januar masuk dengan wajah berseri-seri, senyum lebar terlukis di bibirnya. Ia langsung memeluk Novia erat. "Sayang, aku punya kabar gembira!" ucapnya penuh semangat.
Novia menatapnya heran, namun ada binar kebahagiaan di mata suaminya yang membuatnya ikut tersenyum. "Ada apa, Mas? Kok senyum-senyum begitu?"
"Aku... aku diangkat jadi manajer, Sayang!" seru Januar, raut wajahnya menunjukkan kebanggaan yang luar biasa. "Mulai bulan depan, aku resmi jadi manajer pemasaran! Gaji juga naik drastis!"
Mendengar itu, Novia terperanjat saking kagetnya. Kebahagiaan langsung menyelimuti hatinya. Akhirnya, ada titik terang dalam kehidupan ekonomi mereka. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya. Ia memeluk Januar erat-erat. "Alhamdulillah, Mas! Selamat! Aku ikut bahagia sekali!"
"Ini semua berkat doamu, Sayang," bisik Januar, mencium puncak kepala Novia. "Terima kasih sudah selalu mendukungku."
Kebahagiaan itu begitu nyata, seolah mampu menghapus semua luka yang Novia rasakan dari cercaan Diana dan tetangga. Ia membayangkan masa depan yang lebih cerah, mungkin mereka bisa menabung untuk rumah sendiri, atau bahkan program kehamilan. Malam itu, makan malam terasa lebih nikmat dari biasanya. Novia terus tersenyum, membayangkan Januar yang kini adalah seorang manajer.
****
Setelah makan malam, Januar pamit untuk mandi. Ia meletakkan kemeja kerjanya yang baru dilepas di kursi dekat tempat tidur. Novia, dengan hati penuh sukacita, mengambil kemeja itu untuk dimasukkan ke keranjang cucian. Namun, saat ia mengangkatnya, indra penciumannya menangkap sesuatu yang aneh.
Ada aroma parfum wanita yang sangat asing, bukan parfum yang biasa ia atau Diana gunakan. Baunya manis dan menyengat, sangat berbeda dari aroma sabun atau cologne Januar. Novia mengernyitkan dahi. Perasaan tidak enak mulai menyelinap.
Ia mendekatkan kemeja itu ke hidungnya, mencoba memastikan. Ya, benar. Aroma ini kuat sekali. Lalu, matanya menatap kerah kemeja. Di sana, di bagian kerah yang sedikit terlipat, ada sebuah noda kecil. Noda merah muda samar, berbentuk seperti... bekas lipstik.
Jantung Novia seolah berhenti berdetak. Seluruh kebahagiaan yang baru saja ia rasakan seketika sirna. Tangannya gemetar, kemeja itu terasa berat di tangannya. Otaknya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja ia temukan. Bekas lipstik? Parfum wanita asing? Di kemeja Januar?
"Tidak mungkin," bisiknya pada diri sendiri, suaranya tercekat. "Ini pasti salah lihat. Atau mungkin ini lipstik temannya yang tidak sengaja menempel."
Namun, argumen itu tak bisa menenangkan pikirannya. Sebuah firasat buruk merayap, menelan kebahagiaannya bulat-bulat. Wajah sumringah Januar tadi, kabar gembira tentang kenaikan jabatannya, kini terasa hambar. Apa yang sebenarnya terjadi selama Januar "bekerja" hari ini? Siapa pemilik parfum dan lipstik ini?
Novia menggenggam kemeja itu erat, menempelkannya di dadanya. Air mata yang sempat kering karena kebahagiaan, kini kembali membasahi pipinya. Kali ini, air mata itu membawa rasa sakit yang jauh lebih dalam.
****
Hari itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Novia tidak langsung bergegas pulang seperti biasanya. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang kemeja Januar, aroma parfum asing, dan bekas lipstik samar. Rasa penasaran bercampur cemas mendesaknya untuk melakukan sesuatu. Dengan hati berdebar, ia memutuskan untuk pergi ke kantor Januar. Ia hanya ingin memastikan, melihat dengan mata kepalanya sendiri, apakah kecurigaannya beralasan.
Sesampainya di gedung perkantoran tempat Januar bekerja, Novia memarkir motornya agak jauh dari pintu gerbang utama. Ia mencoba mengatur napas, menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh. Gedung tinggi menjulang di hadapannya, dipenuhi kaca-kaca reflektif yang memantulkan langit kota yang cerah.
Saat ia mencoba melangkahkan kaki mendekati gerbang, seorang satpam berbadan tegap langsung mencegatnya. "Maaf, Bu. Ada keperluan apa datang ke sini?" tanyanya dengan nada tegas, menghalangi jalan Novia.
Novia sedikit terkejut. "Saya... saya mau bertemu suami saya, Januar Hadi," jawab Novia gugup. "Dia bekerja di sini."
Satpam itu menatap Novia dari atas ke bawah, seolah menilainya. "Apa sudah ada janji, Bu? Kantor sudah mau tutup, karyawan sebentar lagi bubar."
"Belum ada janji, Pak. Tapi saya istrinya," Novia mencoba menjelaskan, suaranya sedikit bergetar.
"Maaf, Bu. Tanpa janji tidak bisa masuk. Ini sudah prosedur," kata satpam itu, gestur tangannya menunjukkan agar Novia menjauh. "Sebaiknya Ibu pulang saja."
Hati Novia mencelos. Ia merasa seperti diusir. Rasa kecewa dan putus asa mulai menjalari hatinya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah satpam tersebut. Dengan langkah gontai, Novia berbalik, menuju motornya yang terparkir.
****
Saat Novia hendak meraih kunci motornya, pandangannya tak sengaja tertuju pada area parkir yang tidak terlalu jauh dari gerbang. Di sana, sebuah mobil sedan hitam mewah baru saja berhenti. Jantung Novia tiba-tiba berdegup kencang saat melihat pintu mobil terbuka.
Sosok Januar keluar dari kursi penumpang. Wajahnya tampak riang, jauh lebih cerah dari biasanya saat di rumah. Namun, yang membuat Novia tertegun adalah siapa yang keluar dari kursi pengemudi. Seorang wanita cantik berambut sebahu, mengenakan blus sutra berwarna terang. Wanita itu tersenyum lebar pada Januar.
Novia mematung, menatap pemandangan di depannya dengan mata membelalak. Januar dan wanita itu tidak langsung berpisah. Mereka berdiri sangat dekat, saling berhadapan. Lalu, tangan Januar bergerak, menyentuh lembut pipi wanita itu. Wanita itu terkekeh, lalu mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Januar dengan mesra.
Dunia Novia runtuh seketika. Pemandangan itu adalah pukulan telak yang menghantamnya. Jadi, inilah alasan Januar sering pulang terlambat, inilah asal parfum asing dan bekas lipstik itu. Bukan rapat, bukan pekerjaan lembur. Januar berselingkuh.
Air mata Novia langsung tumpah ruah, tak tertahankan. Tangannya mencengkeram erat kunci motor. Nafasnya tercekat. Ia merasa sakit yang luar biasa, seolah-olah ada ribuan jarum menusuk hatinya. Kebahagiaan semalam tentang promosi Januar, kini terasa seperti lelucon pahit. Promosi itu, kebahagiaan itu, ternyata dinikmati juga oleh wanita lain.
Ia buru-buru menyalakan motornya, ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu. Ia tidak ingin Januar melihatnya, tidak ingin Januar tahu bahwa ia telah menyaksikan pengkhianatan ini. Dengan pandangan kabur oleh air mata, Novia melajukan motornya, meninggalkan kantor yang menyimpan rahasia pahit itu.