“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 2
Langit pagi di desa itu selalu tampak kelabu, meski matahari bersinar malu-malu di balik kabut tipis. Rumah besar milik Juragan Karta perlahan hidup kembali—suara sendok bergesek dengan piring, rebusan air di dapur, langkah pelayan yang mondar-mandir membawa kain basah dan sapu lidi.
Namun di paviliun kecil di belakang rumah utama—tempat Sekar Arum kini tinggal—suasananya berbeda. Terlalu tenang, terlalu sunyi, terlalu tentram.
Di meja kecil beralaskan kain bordir, duduklah Arum dengan rambut tergerai, mengenakan selendang tipis yang menutupi bahunya. Tatapannya kosong, lelah. Ia tidak tidur semalaman. Ada rasa tak nyaman yang terus menghantui, seolah ada sosok tak kasat mata yang memperhatikannya dari balik tirai atau celah dinding. Tapi, setiap ia menoleh, selalu selalu tak ada apa-apa di sana. Hanya ia seorang diri.
Tak lama, Juragan Karta datang membawa secangkir minuman hangat dalam cangkir porselen halus. Asap tipis mengepul, membawa aroma rempah yang tajam dan asing.
“Ayo diminum, Rum.” Ujarnya sambil meletakkan cangkir itu di hadapan Arum. “Aku sendiri yang membuatnya.”
Arum menatap cairan kecokelatan itu, mengendus pelan. Ada jejak aroma kayu manis, juga jahe dan ... sesuatu yang lebih getir.
“Apa ini, Juragan?” tanyanya pelan.
Juragan tersenyum. Senyum yang tak memiliki sedikitpun kehangatan. “Minum saja. Itu ramuan untuk menyuburkan rahim. Supaya kau bisa secepatnya memberi aku keturunan.”
Arum hanya mengangguk tanpa kata. Tangannya menggenggam cangkir itu, tapi belum juga membawanya ke bibir. Juragan lalu menyentuh bahunya, membelai pelan punggungnya, seolah memberi tanda bahwa tubuh Arum kini adalah miliknya.
“Seminggu ini aku tidak pulang. Ada urusan penting di luar kota,” bisiknya. “Rawat tubuhmu baik-baik. Saat aku pulang nanti ... aku ingin kau melayaniku sebaik-baiknya.”
Tanpa menunggu balasan, Juragan menunduk, melumat singkat bibir Arum yang terkatup rapat. Kemudian ia pergi, meninggalkan aroma minyak rambut dan jejak jejak rasa jijik yang masih menggantung di udara.
Beberapa saat setelah itu, suara langkah sepatu kain terdengar mendekat. Mbah Darsih, perempuan tua yang mengurus segala hal di rumah besar itu, melangkah masuk dengan wajah datar namun matanya tampak menyimpan sesuatu.
“Apakah ada yang kamu butuhkan, Nak Arum?” tanyanya, suaranya rendah, nyaris tanpa intonasi.
Arum menggeleng pelan. Namun, sebelum Mbah Darsih sempat berbalik pergi, ia menatap perempuan tua itu dengan sorot berbeda. Ada tanya yang mendesak dari dasar hatinya.
“Mbah ... apa bisa—tolong carikan informasi tentang kedua orang tuaku. Aku ingin tau … apa benar hutang-hutang bapakku sudah dilunasi oleh Juragan?”
Pertanyaan itu meluncur pelan, hampir seperti bisikan. Tapi, terdengar jelas dan tegas. Arum menyeruput secangkir minuman di tangannya, tapi pikirannya berkecamuk.
Mbah Darsih tak segera menjawab. Ia hanya menatap Arum, lama. Lalu mengangguk kecil.
“Tentu bisa. Hanya itu?” Mbah Darsih menelisik lewat sorot matanya.
Arum tampak ragu-ragu sebelum kembali bertanya. “Apa bisa ... permintaan ku ini hanya kita berdua saja yang tau?”
“Baiklah,” ujar Mbah Darsih akhirnya. “Besok malam atau lusa, setelah tugas-tugasku selesai—aku akan mencari informasi untukmu.”
Kemudian ia pergi, seperti bayangan yang menyusup kembali ke lorong-lorong rumah tua itu.
...****************...
Sore itu, cahaya matahari mulai merunduk di balik hamparan awan tipis. Udara kebun belakang rumah besar terasa lembap dan manis, bercampur aroma tebu yang siap dipanen. Deru samar mesin penggiling gula terdengar dari kejauhan, menyatu dengan suara jangkrik dan gesekan dedaunan yang tertiup angin sore.
Arum melangkah pelan, mengikuti seorang lelaki yang belum ia kenal sebelumnya. Lelaki itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, kulitnya cenderung kuning langsat, tubuhnya tegap, dan mengenakan ikat kepala dari kain hitam yang melilit rambut pendeknya. Meski wajahnya terkesan cuek, namun sorot matanya jernih dan senyumnya hangat—berbeda. Tidak seperti tatapan sinis atau hampa dari penghuni rumah besar itu.
“Sebelum berangkat, Juragan meminta saya menunjukkan area sekitar rumah dan ladang ....” Ujarnya sembari melangkah menyusuri jalan tanah yang membelah hamparan tebu. “Sekaligus supaya Nona tidak merasa sendirian terus di paviliun itu. Oh, ya, saya lupa memperkenalkan diri—saya Junaidi, Mandor di kebun tebu.” Lanjutnya, sambil sesekali mencatat sesuatu di buku kecil yang ia bawa.
Arum mengangguk kecil, matanya menelusuri ladang tebu yang menjulang seragam ke langit, seolah tak berujung. Hijau yang melimpah itu tak serta-merta memberi rasa nyaman. Justru terasa seperti pagar-pagar alam yang membatasi kebebasannya.
Beberapa langkah di belakang mereka, Mbah Darsih berdiri memantau. Diam dalam heningnya, tapi, tetap memperhatikan. Arum tau, bahkan dalam kebun seluas ini, ia tak bisa benar-benar bebas.
“Luas sekali,” gumamnya lirih. “Apakah semua ini milik Juragan Karta, Tuan Mandor?” tanya Arum, suaranya pelan namun jelas.
Junaidi tertawa kecil, nadanya ringan seperti angin.
“Ah, jangan panggil saya Tuan Mandor. Panggil saja Junaidi, atau ... Jun juga boleh.” Ia menoleh sambil tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Arum dengan nada lebih serius. “Tentu saja ini semua milik Juragan Karta. Lebih tepatnya, beliau adalah pewaris satu-satunya dari ayahnya—yang dulu dikenal sebagai kaki tangan Belanda saat zaman kolonial. Tapi, warisan beliau tak berhenti di sini. Masih banyak—perkebunan, tambak, rumah penginapan, bahkan ... bisnis-bisnis yang tidak semua orang tau.”
Ucapan itu menggantung di udara. Arum tak menanggapi, namun sorot matanya mulai meredup, pikirannya melayang entah ke mana. Junaidi memperhatikannya sejenak, sebelum bertanya dengan hati-hati.
“Kalau boleh tau, kenapa Nona bertanya soal kepemilikan ladang ini? Apa ada yang membuat Nona ... merasa tidak nyaman?”
Arum mengerjap pelan, seolah baru ditarik kembali dari pikirannya sendiri.
“Tidak. Saya ... hanya ingin tau saja,” jawabnya pelan.
Junaidi melirik ke arah Mbah Darsih. Mata mereka saling bertemu, Junaidi mengangguk kecil—seolah baru saja selesai mengkonfirmasi sesuatu.
“Apa ... semua wanita yang ada di rumah itu … dulunya juga seperti saya?” tanya Arum lirih. “Dijual oleh kedua orangtuanya sendiri?”
Junaidi terdiam sesaat. Matanya menatap ladang tebu yang bergoyang tertiup angin—seolah sedang meratap.
“Ya. Mereka semua dulu masuk dengan alasan yang hampir sama. Kemiskinan, paksaan, hutang. Tapi ... hanya sedikit yang bisa bertahan. Banyak yang pergi karena Juragan tak lagi menginginkan, ada juga yang tiba-tiba ... hilang.”
“Maksudnya?” tanya Arum pelan.
“Entahlah. Tidak semua bisa berkata jujur di tempat ini. Bahkan suara pun bisa dibungkam oleh yang punya kuasa,” ujar Junaidi lirih. Lalu menatap Arum dalam. “Anda harus hati-hati, Nona.”
Arum menunduk. Tak menjawab. Namun di matanya mulai tumbuh rasa waspada—dan ketakutan yang merambat perlahan seperti kabut.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan—di lantai atas rumah besar, sepasang mata memperhatikan mereka. Di balik tirai tipis, Nyai Lastri berdiri dengan tubuh tegang. Matanya menyipit, menatap Arum dan Junaidi yang berdiri terlalu dekat di ladang belakang.
“Cantik sekali wajah perempuan murahan itu,” gumam Nyai Lastri dingin. Suaranya lirih, tapi tajam seperti silet.
Madun, lelaki setengah baya yang menjadi tangan kanannya, berdiri di belakangnya menunggu titah.
“Perintahkan orang dapur. Campurkan racikan seperti biasa ke makanannya,” perintah Nyai tanpa menoleh.
Namun Madun tampak ragu. “Maaf, Nyai. Nona Arum tak makan makanan dari dapur utama. Semua diantar langsung oleh Juragan sendiri.”
Mata Nyai membelalak. Jemarinya mencengkeram ujung selendang dengan gemetar menahan amarah.
“Juragan sedang pergi ke luar kota, yang ada hanya perempuan tua bangka itu! Atur bagaimana caranya agar Sekar Arum meminum ramuan itu!” desisnya dengan teriakan tertahan. “Aku tidak akan membiarkan perempuan lain di rumah ini mengandung anak Juragan. Tidak satu pun!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣