NovelToon NovelToon
Bukan Lagi Istri CEO

Bukan Lagi Istri CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Janda / Kehidupan di Kantor / Slice of Life
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Yazh

Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.

Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.

Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Boss Killer

Semua berawal dari kejadian sebulan yang lalu. Pimpinan di perusahaan tempat Britania bekerja memberikan sepenuhnya wewenang kepada putra sulungnya, Zionathan Adiyaksa Mahendra. Nathan, demikian panggilannya, bisa dibilang seorang CEO muda yang sangat karismatik. Kecerdasan dan kelihaiannya dalam bisnis sudah diakui di kalangan dunia bisnis se-Asia Tenggara. Bukan hanya kecerdasan otaknya yang membuat dia menawan, tapi juga parasnya yang nyaris sempurna level dewa. Wajah oval dengan kulit kuning langsat, mata bulat besar dengan iris berwarna keabu-abuan, dan bibir tipis yang berwarna sedikit kemerahan alami. Dia baru saja kembali dari salah satu perusahaan milik ayahnya yang berkembang cukup pesat di Jepang. Kedatangannya membawa angin segar, sekaligus badai dalam Mahendra Corp.

"Saya minta kamu awasi proses pengiriman malam ini!" perintahnya dengan nada otoriter usai rapat rutin siang ini. Suaranya menusuk langsung ke telinga Britania, menghentikan laju pikiran Britania tentang laporan yang harus segera ia selesaikan.

"Saya, Pak?" Britania menunjuk dirinya sendiri dengan heran. Perintah itu terdengar sedikit mengherankan, sungguh di luar jobdesk-nya sebagai Manajer Operasional Divisi Ekspor-Impor. Ia terbiasa mengelola, bukan mengawasi langsung di lapangan. Otaknya yang cerdas segera menganalisis dan ingin protes, ada sesuatu yang berbeda kali ini, namun Nathan tak memberinya waktu untuk protes. Mungkin ini kebijakan baru.

"Iya, kamu. Britania Seiraphina. Kamu manajer operasionalnya, kan? Pastikan bagian produksi menyelesaikan dengan baik pengiriman kita malam ini. Saya tidak mau ada kesalahan sekecil apa pun, ini pengiriman kita ke Kanada. Buyer yang tidak menerima toleransi kesalahan sedikit pun," tegas Nathan, tatapannya tajam.

'Ok Bri, cuma ngawasin doang! Gampang.' batin Britania.

"Baik, Pak," jawab Britania, menelan kekesalan yang sedikit mengganjal di dadanya. Ini baru kali pertama ia diminta untuk turun sendiri mengawasi proses pengiriman barang. Biasanya, ada tim finishing dan ekspedisi sendiri yang melakukan itu. Ia hanya menerima laporan esok paginya, lengkap dengan semua data dan segala kendala yang mungkin ada. Apa mungkin ia memang sedang diuji, oleh Nathan?

"Bri, udah gue aja yang awasi. Lo pulang, nanti gue kasih laporan sedetail mungkin, deh. Ini bukan kerjaan lo, lagian lo sudah bekerja keras hari ini," Olivia, asisten Britania sekaligus sahabat dekatnya sejak magang, menawarkan bantuan. Chacha adalah orang yang biasa mengecek semua laporan pengiriman sebelum sampai ke Britania.

"Enggak apa-apa, Liv. Nanti aku kena marah Pak Nathan kalau tidak mengikuti perintahnya, hufh," keluh Britania siang itu, sambil menikmati makan siang yang terlambat bersamanya. Ada nada lelah dalam suaranya, namun tekadnya tetap kuat. Ia tidak ingin dicap lalai, apalagi oleh CEO barunya yang tampaknya sengaja menguji kinerjanya. Atau, apakah ini memang sengaja ia lakukan? Sebuah pemikiran aneh melintas di benak Britania, bisa saja Nathan meragukan keahlian dalam bekerja.

_____

Selarut ini, biasanya Britania sudah tertidur lelap di bawah selimut kalau saja bos barunya itu tidak menyiksanya dengan pekerjaan baru yang ia berikan. Beberapa karyawan lain bawahannya pun ikut terheran mendapati Britania berjam-jam duduk di halaman gedung produksi hanya untuk memantau pengiriman. Britania, yang terkenal selalu tampil rapi dan fashionable di kantor, kini harus bergelut dengan dinginnya malam dan debu gudang. Tapi ia melakukannya, dengan teliti, memastikan setiap pallet terangkut dengan benar. Tidak boleh ada sedikitpun kesalahan malam ini.

"Semua sudah siap, Bu Britania. Kita sudah menyelesaikannya tanpa ada kesalahan. Bu Britania bisa pulang sekarang. Kasihan sudah sangat kecapekan, ya, Bu?" ucap seorang juniornya yang menjadi kepala produksi.

Britania mengangguk lega akhirnya. Otot-ototnya terasa kaku, namun hatinya puas. "Makasih, gaes, untuk kerja samanya! Aku pulang dulu, yaaa... Hoam." Ia benar-benar sudah tidak bisa menahan kantuknya lagi. Sebelum pulang, Britania sempat menemui semua tim terlebih dahulu untuk berpamitan. Mereka semua tim yang mengurus pengiriman, Britania sudah terbiasa bekerja dengan mereka memang, hanya saja tidak turun langsung di lapangan seperti ini.

Untuk sampai di jabatannya saat ini adalah murni karena prestasi yang ia dapat dari awal ia menjadi anak magang. Bukan karena koneksi. Jadi, rekan-rekan seangkatannya cukup banyak dan super baik padanya.

Beberapa hari sejak kehadiran CEO baru itu, Britania memang diharuskan bekerja sangat keras, lebih dari biasanya. Entah apa yang merasukinya hingga terus menyiksanya dengan berbagai pekerjaan yang membuat Britania hampir tak punya waktu untuk menjalani hidup normal dengan rekan-rekannya. Atau sekadar menikmati secangkir kopi di kafe favoritnya. Ia tahu ia pasti mampu, tetapi ini terasa seperti ujian tanpa henti. Setiap tugas baru dari Nathan adalah tantangan, dan Britania, dengan segala kekeras-kepalaannya, akan membuktikan bahwa ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan menghadapinya, satu per satu.

Banyak yang mengatakan hidup Britania nyaris sempurna, Ia dianugerahi otak yang cerdas hingga bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dulu. Kini, karirnya di sebuah perusahaan multinasioanl berkembang lebih pesat dari yang ia perkirakan. Wajahnya juga bisa masuk kategori populer di kantor setelah ia "meng-upgrade"-nya, didukung lagi penampilan yang fashionable dan berusaha selalu kekiniann dalam soal gaya hidup. Ia berinvestasi pada dirinya, pada penampilannya, pada citra yang ia bangun dengan susah payah.

Bagaimanapun, Britania selalu dituntut good looking dari pekerjaannya, dari lingkungan sosialnya. Dan ia kian menyadari faktanya saat ini: Kalau berawal dari good looking, seseorang akan bisa menghargai dan menerima keberadaan kita dengan baik tanpa menghakimi. Ini bukan sekadar teori, ini adalah realitas pahit yang Britania rasakan. Memang banyak juga yang mengatakan kalau lebih penting hatinya baik, penampilan itu nomor dua.

Kalau Britania bilang, itu sih omong kosong, ya? Sangat jelas kalau orang yang memiliki penampilan menarik, tampan, cantik, elegant, megnikuti trend, akan selalu mendapat tempat di masyarakat, kan? Dibandingkan dengan orang yang berpenampilan biasa, meski mungkin hatinya seperti malaikat—namun ya... dalam hatinya siapa yang tahu. Britania tidak lagi ingin mengambil risiko. Ia sudah terlalu banyak kehilangan.

***

Alarm berdering nyaring, memecah keheningan pagi. Dengan malas, Britania meraih ponsel dan mematikan alarm itu. Mata sayunya menatap langit-langit kamar yang putih. Setiap pagi, rutinitas ini selalu sama. Bangun, mandi, berdandan, dan bergegas ke kantor. Dulu, ia hidup untuk bekerja lebih keras dari yang lainnya. Sekarang pun meski ia sudah punya jabatan tinggi, tak pernah sekalipun ia meremehkan pekerjaannya. Pekerjaan adalah bentengnya, pelarian terbaik dari pikiran-pikiran yang tak ia inginkan—pikiran-pikiran yang terkadang menggerogoti, meski ia berusaha keras untuk menampiknya.

"Ini weekend, Bri! Lo masih harus masuk kerja juga? Please, deh!" gerutu Chacha, sahabat Britania yang seorang jurnalis, berteriak dengan kesal di ujung telepon.

Britania mendengus pelan, sambil membalas pesan email di ponselnya. "Iya, as you know, aku punya bos baru yang kelewat ambisius, jadi aku harus mengerjakan berbagai pekerjaan di luar jam kerjaku sekarang. Tapi aku cuma meeting bentar, Cha. Kamu tunggu di apartemenku aja, ya. Habis itu kita shopping seperti rencana kita. Oke?" Britania berusaha terdengar meyakinkan, padahal ia sendiri juga lelah.

Tidak lama kemudian Chacha sampai di appartemennya, sahabatnya yang sudah siap menjelajahi mall bersama itu mendengkus kasar lalu menghempaskan tubuhnya di bean bag ruang tengah, sambil menyalakan TV untuk menonton drakor kesayangannya. Selagi menunggu Britania pulang meeting.

Sesampainya di kantor, Britania mengernyit heran, ketika memasuki ruang rapat tidak mendapati Pak Nathan di kursinya. Pria itu entah sedang kemana. Hanya asisten pribadi Nathan, Brianda, dan seorang anak kecil yang berada di ruang rapat.

"Mm, Brianda... Pak Nathan mana? Kita enggak jadi rapat?" tanya Britania pada Brianda, asisten Nathan.

"Enggak, Bri. Pak Nathan menemui klien barunya mendadak tadi. Gue juga enggak tahu kita mau meeting apaan weekend gini, hufh..." Brianda saja mendengus kasar atas perlakuan Nathan, apalagi Britania. Di ruang rapat sudah hadir beberapa kepala bagian lain yang siap mengikuti rapat, tapi fokus Britania teralihkan pada anak laki-laki berumur lima tahunan yang sedang duduk di kursi Pak Nathan.

"Nda, itu anak siapa? Kamu...?" Britania menunjuk ke arah anak kecil yang juga tengah menatapnya itu.

"Heh, kira-kira dong, Bri! Emang gue sudah ada tampang bapack-bapack, hah?! Nyari ibunya saja belum dapat-dapat!" Britania membekap mulutnya, menahan tawa mendengar jawaban kesal Brianda.

"Itu Nathan junior," bisiknya pada Britania.

Seketika mata Britania membulat lebar mendengar pernyataan Brianda. "Kamu lagi enggak ngerjain aku, kan, Nda?"

"Sumpah, Bri! Dia anaknya Pak Nathan yang ditinggalkan istrinya sejak anak itu berusia dua bulan. Lihat saja mukanya, mirip banget Pak Nathan, kan?" Mata Britania kembali fokus pada anak itu, ia juga tengah menatap Britania, jadi Britania melemparkan senyum termanisnya padanya.

Eh, anak itu malah makin lebar senyumnya. Britania membalas lagi dengan lambaian tangan padanya. Anak itu segera turun dari kursi dan menghampiri Britania. "Hei... nama kamu siapa, ganteng?" sapa Britania seraya memegang lengannya. Anak itu sepertinya tertarik pada Britania,

"Nama aku Ren. Om Nda, ini siapa? Teman Papi?" Anak kecil itu menatap Britania dengan mata berkedip gemas. Britania ingin sekali mencubit pipi gembulnya kalau saja tidak ingat siapa bapaknya.

"Iya, itu teman Papi, Ren. Namanya Aunty Britania. Ren mau kasih salam?"

Dia mengangguk cepat dan segera mengulurkan tangannya. "Hei Ren, panggil Aunty Britania, ya? Coba..." pinta Britania padanya, ia terlalu gemas pada anak itu. Rambutnya tebal berponi dan pipinya gembul, wajahnya juga sangat mirip dengan Nathan. 'Semoga sifat songongnya tidak menurun pada anaknya juga', batin Britania.

"Ontyy... Bri-ta-ni-a..." Dia mencoba mengeja nama Britania dan bisa ternyata, meski masih sedikit cadel. Britania dan Ren bahkan bersorak pelan bersama melihatnya berhasil mengucap nama Britania dengan benar.

"Halo, Bri. Kamu apa kabar?" sapa seorang wanita paruh baya yang tampil sangat anggun menghampiri Britania. Beliau adalah Ibu Widia, ibu dari Nathan. Britania yang saat itu sedang tertawa bersama Brianda dan Ren sedikit kaget mendengarnya.

"Ah, Bu Widia. Britania sehat, Bu. Ibu bagaimana? Makin rajin yoga, ya, Bu, sekarang? Kelihatan segar banget wajahnya," balas Britania dengan senyum ramah profesionalnya.

Perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum lebar. "Iya, Bri, sejak perusahaan diambil alih oleh Nathan, saya dan Bapak jadi lebih banyak waktu luang, jadi saya sering yoga sekarang. Kamu sudah ketemu sama cucu saya?"

"Oh, iya, Bu. Ren? Dia sangat tampan, gemas saya, Bu. Maaf."

Ibu Widia membungkuk, menyejajarkan tingginya dengan Ren. "Ren, cucu Oma. Kamu senang berkenalan sama..." Ren mengangguk cepat.

"Ontyy... Britania cantik, Omaaa, mirip sama boneka Barbie milik Sasha," seru Ren polos. Duh, dipuji anak TK saja Britania sudah melayang rasanya. Anak itu terus berada di dekat Britania sepanjang rapat. Ibu Widia sempat heran kenapa Ren langsung dekat dengannya, karena sebelumnya kata beliau, Ren adalah anak yang pendiam dan sedikit susah bergaul. Dia lebih sering merasa takut tiap kali bertemu orang baru. Karena sejak kecil sampai sekarang dia selalu berada di rumah. Bahkan sekolah pun ada guru privatnya yang tiap hari datang ke rumah.

"Kamu langsung pulang...?" Britania menoleh pada asal suara, Nathan berdiri di belakangnya. Britania sedikit tersentak. Nathan memang hadir di rapat menjelang akhir, ia hanya menyimak beberapa  laporan finalnya.

"Iya, Pak. Ada yang bisa saya kerjakan lagi?" tanya Britania, menghentikan langkah menuju area parkir. Ia mencoba menjaga nada bicaranya tetap datar.

"Enggak ada. Hati-hati di jalan," ucap Nathan datar, satu tangannya menggandeng Ren yang sedang tersenyum manis padanya.

"Ontyyy... mau main ke rumah Ren?" tanya anak itu dengan mata yang berbinar gembira. Senyum Ren sungguh menawan, mirip sekali dengan senyum miring ayahnya.

"Mmm, kalau hari ini kayaknya enggak bisa, Ren. Aunty ada janji sama teman Aunty. Dia sudah nunggu di rumah Aunty sekarang. Besok-besok, ya?"

"Oke, promiseee!" Dia minta untuk mengaitkan jari kelingkingnya pada Britania. Huhu, manis banget sih anaknya! Berbeda dengan ayahnya yang lebih banyak berwajah datar dan minim ekspresi. Britania tersenyum tipis, merasakan kelingking mungil Ren melingkari miliknya. Janji ringan itu terasa hangat. Bri sering berinteraksi dengan banyak  anak kecil. Di dalam rumah singgah yang ia bangun, ada 3 anak usia SD yang ia urus sejak mereka masih TK.

1
Roxanne MA
ceritanya bagus
Yazh: Terima kasih kak, nanti aku mampir ceritamu juga/Smile/
total 1 replies
Roxanne MA
semangat ka
Yazh: Iyaa, semangat buat kamu jugaa😊
total 1 replies
Roxanne MA
haii kak aku mampir nih, janluo mampir juga di karya ku yg "THE ROCK GHOST"
Yazh: siap kak, terima kasihh💙
total 1 replies
Eliana_story sad
bagus tapi gue kurang ngerti ingres
Yazh: hehehe,, cuma sedikit kak kasih bahasa inggrisnya buat selingan.
total 1 replies
Eliana_story sad
hay mampir ya
Yazh: hai juga kak,, siap mampir,,
total 1 replies
KnuckleDuster
Menarik dari setiap sudut
Yazh: terimakasih kakk
total 1 replies
Yazh
ok kak,, terima kasih.. gass mampir 🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!