NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 3

Beginning And End Season 3

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Dark Romance / Time Travel / Balas Dendam / Sci-Fi / Cintapertama
Popularitas:140
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan Beginning And End Season 2.

Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.

Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.

Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 : Prolog.

Prolog

Hujan abu-abu tidak cuma mengguyur—ia menyerang kota yang telah mati, tetesan tebal seperti peluru kecil yang memukul permukaan reruntuhan gedung, memecah debu menjadi lumpur hitam, dan membuat jalan aspal retak mengkilap seperti cermin gelap. Plak… plak… plak… Suara itu tidak berhenti, membentuk irama kelam yang menyelimuti segalanya, diselingi oleh gerigiran puing-puing baja yang bergeser di angin kedinginan, dan desisan angin yang menembus celah-celah gedung runtuh.

Catalina Rombert berdiri di tengahnya, tubuhnya membungkuk seperti pohon yang hampir patah oleh beban. Kaki kirinya tersangkut di celah antara aspal dan batu puing—dia menariknya dengan tenaga yang tersisa, krsshh… bunyi kain baju tempur yang koyak menyentuh lumpur, dan darah merah segar mengalir dari luka di betisnya, membentuk jejak berliku-liku yang cepat terhapus oleh hujan. Di tangan kanannya, scythe Andras—senjata legenda ibunya—terangkat setengah, bilahnya kusam namun masih menonjol seperti tulang raksasa yang mati. Beratnya membuat lengan kiri dia bergetar, sendi bahunya terasa akan patah, tapi dia tidak melepaskan. Di tangan kirinya, kepala Tenka Mutan tergenggam erat—kulitnya hitam seperti arang, gigi tajam menonjol, mata kosong yang masih terbelalak seolah masih marah bahkan dalam kematian. Gelisah… raut wajah yang terdistorsi itu seolah bergerak sedikit di bawah sentuhan hujan.

Dia melangkah lagi, satu langkah demi satu langkah yang penuh penderitaan. Napasnya keluar hek… hah… hek… kasar dan terengah, dada naik turun tidak beraturan seperti belalai yang lembap. Wajahnya basah oleh hujan dan keringat, rambut putih-abu-nya menutupi sebagian wajah, tapi matanya—satu pink seperti bara yang hampir padam, satu merah seperti darah segar—tetap terbuka lebar, menatap ke sekeliling dengan pandangan yang penuh kesedihan dan kebencian pada dirinya sendiri.

“Ak… aku… berhasil…” suaranya pecah, serak seperti kerikil yang bergeser, nyaris terhapus oleh hujan. Dia mengangkat kepala Tenka Mutan sedikit, mata dia menatap wajah yang hancur itu. “Tapi… apa gunanya… aku… hanya sendirian di sini…” Tubuhnya mengguncang—bukan karena dingin, tapi karena getaran emosional yang terlalu kuat. Dia menundukkan kepala, rahangnya menekuk erat sampai rahangnya sakit. “Semua… semua… salahku… keegoisanku… yang membuat kalian… semua… mati…”

Crack… Suara kecil dari tulang rahangnya yang terlalu kencang. Dia mengangkat tangan kiri—yang masih menggenggam kepala Tenka—dan menekannya ke dada, seolah ingin menusuk dirinya sendiri. Darah dari luka di siku dia menetes ke bajunya, membentuk bintik-bintik gelap yang membesar. “Mami… Papi… Maafkan aku…” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi hujan membuatnya sulit membedakan antara air mata dan tetesan hujan. “Paman Kei… Bibi Reina… Yoru… Matsu… Bibi Lynn… Maafkan aku… aku gagal… aku terlalu lemah untuk melindungi kalian…”

Dia menjerit, suara “HAHH!!” yang tercekik dan menyakitkan, bergema di antara reruntuhan sehingga gonggongan nya memantul kembali dari dinding gedung yang tersisa. Dia jatuh terduduk di lumpur, tubuhnya remuk, sendi lututnya menyentuh aspal yang basah. Scythe Andras terjatuh di sampingnya dengan bunyi krraaak… bilahnya menyentuh aspal dan membuat goresan panjang. Dia menggenggam rambutnya dengan kedua tangan, jari-jari memerah, dan menggores wajahnya sehingga darah baru keluar. “Haaa!!! Shinn!! Maafkan aku… aku bodoh!! Aku lemah!! Aku tidak bisa melindungimu… aku gagal menjadi kekasihmu yang layak!!”

Ekspresi wajahnya berubah-ubah sekejap: dari kesedihan yang meluap, menjadi kemarahan pada dirinya sendiri, lalu kembali ke keputusasaan yang mendalam. Matanya menutup sebentar, tubuhnya gemetar hebat, lalu perlahan-lahan dia mencoba bangkit—tangannya menangkap pegangan scythe, menarik badannya naik dengan gerakan yang tergesa-gesa, krsshh… lumpur menempel di bajunya.

Baru saja dia berdiri lurus, sebuah suara menyentuh telinganya—suara nyanyian lembut, samar, tapi terlalu familiar untuk disalahartikan:

“Ninak bobok… oh ninak bobok… kalau Catalina tidak tidur… maka mami berubah jadi ratu es…”

Zzzzt… Seperti kilat kecil menyambar di dalam kepalanya. Tubuh Catalina mengguncang seketika, matanya membuka lebar sampai terasa sakit, raut wajahnya berubah menjadi kemarahan yang membara. Dia menoleh-oleh dengan cepat, mengayun scythe Andras ke udara sehingga swish… bunyi bilahnya melayang. “HENTIKAN!!! HENTIKAN ITU!!!” suaranya menjerit keras, menyakitkan tenggorokannya. “Mami… maafkan aku… aku… aku tidak sekuatmu… tidak seberani papi… tidak bisa sekuat Paman Kei dan Bibi Reina…” Air mata yang sesungguhnya akhirnya keluar, mengalir di wajahnya yang basah, bercampur dengan darah yang menetes dari luka di pipinya. “Aku… aku gagal….”

Suara nyanyian itu hilang seperti angin. Dia berdiri diam, napasnya terengah, matanya melintasi reruntuhan yang tak berujung. Lalu, di kejauhan, antara dua gedung yang saling bersandar, dia melihatnya: cahaya lembut yang berpendar, seolah bintang yang terjatuh ke bumi, memancarkan cahaya putih yang menembus kegelapan hujan.

“BIBI SORA!!!” teriak dia, suaranya penuh putus asa namun juga ada rasa lega yang menyebar di dada. Dia berlari secepat tenaga terakhirnya memungkinkan—krsshh… krsshh… krsshh… langkahnya tertatih-tatih di lumpur, tapi dia tidak berhenti. Scythe Andras menyeret di tanah, membuat bunyi krrrraaak… yang keras, namun dia tidak peduli.

Di sana, di sudut jalan yang dipenuhi puing, Sora—kunoichi kaca yang telah bertempur bersama dia selama bertahun-tahun—terkapar di tanah. Tubuhnya memancarkan cahaya yang pecah seperti serpihan kristal, retakan-retakan putih muncul di kulitnya seperti es yang mulai patah. Gling… gling… serpihan kaca kecil terlepas dari tubuhnya dan jatuh ke tanah, berkilau dalam hujan.

Catalina merangkulkan tubuh Sora yang lemah, memeluknya erat sehingga tekanan tubuhnya menyentuh dirinya. “Bibi Sora… jangan… jangan tinggalkan aku… aku tidak bisa sendirian lagi…” suaranya tersedak, air mata dan darah menetes ke wajah Sora.

Sora membuka matanya perlahan-lahan—matanya yang biasanya cerah kini redup, tapi masih penuh kelembutan. Dia menyenggol pipi Catalina dengan jari yang lemah, dan senyum tipis tersungging di bibirnya yang penuh luka. “Nak… Catalina… kita berhasil… akhirnya… kita berhasil mengalahkan Tenka…” suaranya lemah seperti angin, tapi tetap jelas.

Tubuh Sora bergetar, dan lebih banyak serpihan kaca terlepas, berhamburan seperti bunga salju yang menyala. Catalina menggenggamnya lebih erat, menekannya ke dada. “Tidak… Bibi Sora… jangan pergi… aku mohon!! Kamu adalah satu-satunya yang tersisa!!” Ekspresi wajahnya berubah lagi—dari ketakutan kehilangan, menjadi kesedihan yang meluap, lalu ke rasa bersalah yang mendalam. “Aku seharusnya yang jatuh… bukan kamu… kamu sudah berjuang terlalu lama…”

Sora menggoncang kepalanya perlahan, jari-jari dia menyentuh rambut putih Catalina. “Catalina… kamu… kuat… seperti ibumu, Andras… mata-mata mu… masih menyala seperti cahaya… yang tidak pernah padam…” Suaranya terdengar samar, tapi penuh keyakinan. “Maafkan bibi karena tidak bisa… tetap bersamamu… Bibi sudah lelah… Lena sudah tiada… Bibi sudah lelah melihat kehancuran dari pertempuran Khaou puluhan tahun lalu… aku pikir kejahatan akan hilang setelah dikalahkan… tapi dunia ini… tidak memberikannya… semua teman, pilar lama… mereka… sudah tiada… Paman Kei dan Bibi Reina… mereka… telah pergi… meninggalkan kita berdua di sini…”

Catalina mengguncang tubuh Sora, tangannya bergetar hebat, matanya terbuka lebar dan penuh air mata darah yang menetes. “HAHHH!!!” dia menjerit di tengah hujan deras—suaranya bergema dengan gonggongan yang kental, bercampur dengan gemuruh air dan desisan angin yang semakin kencang. Retakan di tubuh Sora semakin banyak, membentuk pola seperti jaring yang menjepit dirinya.

“Catalina… kamu… adalah cahaya… di tengah kehancuran ini… jangan terus menangis di depan bibi…” suara Sora masih terdengar, menembus hati seperti nada musik yang lembut. “Maafkan bibi… dan seluruh pilar lama… yang membuatmu menanggung semua dosa… dosa mereka… bukan milikmu, Catalina…”

Pada saat itu, tubuh Sora pecah perlahan-lahan—bling… bling… bling… serpihan kaca putih yang bersinar redup berhamburan ke segala arah, menyatu dengan hujan yang mengguyur Catalina. Dia menunduk, tubuhnya bergetar hebat, suara tangisnya tersedak-sedak—haaah… haaah… haaah…—seolah napasnya akan habis.

Hujan terus turun, membasahi rambutnya, wajahnya, darahnya, membaur menjadi satu warna gelap. Tapi matanya—pink dan merah yang menyala redup—tetap terbuka, menatap ke tanah di mana Sora pernah terkapar. Ekspresi wajahnya berubah satu lagi: dari kehancuran total, menjadi secercah keberanian yang samar, lalu kembali ke keputusasaan yang luas. Dia meraih scythe Andras dari tanah, mengangkatnya dengan gerakan yang lambat tapi tegas, bilahnya menyinar sedikit di tengah hujan.

Catalina Rombert berdiri di tengah reruntuhan, sendirian. Angin berhembus melewati rambutnya yang panjang, membuatnya berkibar seperti bendera yang mati. Di sekelilingnya, hanya ada reruntuhan, hujan, dan kesunyian yang begitu dalam seolah akan memakan dia. Dia adalah satu-satunya cahaya di tengah kehancuran yang tak bertepi—saksi dari apa yang pernah ada, dan tanda dari apa yang masih bisa terjadi.

Swish… Dia mengayun scythe Andras ke udara sekali lagi, bunyi bilahnya melayang di antara reruntuhan. Dan di kejauhan, di balik kabut hujan yang tebal, sebuah cahaya lembut muncul—seolah bayangan anak kecil yang menunggu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!