Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
Kinara buru-buru berdiri tegak, menarik lengannya dari dada Rayyan, membenarkan blusnya yang sedikit kusut. Wajahnya kembali dingin, dingin yang tajam dan tidak ramah.
Rayyan justru tersenyum makin lebar, seolah pertemuan itu adalah hiburan pagi baginya.
“Dunia ini sempit, ya,” katanya santai. “Sampai kita bisa bertemu lagi di sini. Barang kali Tuhan memang punya cara sendiri untuk menjodohkan kita.”
Tatapan Kinara berubah jijik, tanpa sedikit pun usaha menyembunyikannya.
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan,” ucapnya tajam. “Tuhan saja muak melihat tingkah manusia sepertimu.”
Rayyan terkekeh pelan, tidak tersinggung dan justru terlihat terhibur. Kinara tak mau berlama-lama. Ia melangkah pergi, memilih lift lain, namun baru dua langkah, Rayyan menangkap pergelangan lengannya.
“Jangan galak-galak begitu,” katanya pelan tapi menekan. “Kita belum selesai.”
Langkah Kinara terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap tangan Rayyan di lengannya, lalu mengangkat wajah menatap pria itu dengan sorot mata berbahaya.
“Lepas,” ucapnya datar.
Beberapa staf yang berada di lobi mulai melirik. Bisikan-bisikan kecil terdengar, tidak terlalu lirih untuk disebut rahasia.
“Baru hari pertama kerja sudah dekat sama klien…”
“Pantas lolos wawancara, ternyata begini caranya.”
“Bukannya itu Pak Rayyan? Manajer dari perusahaan sebelah?”
Wajah Kinara menegang, bukan karena malu melainkan marah. Ia menghentakkan lengannya kuat-kuat hingga Rayyan terpaksa melepas. Suara itu cukup keras untuk membuat beberapa orang terdiam.
“Sentuh aku sekali lagi,” kata Kinara dingin, “dan aku pastikan reputasimu di gedung ini runtuh lebih dulu sebelum karierku.”
Rayyan menatapnya beberapa detik, lalu tertawa kecil, rendah.
“Masih sama,” katanya lirih. “Berani, sedikit galak dan cukup menarik.”
Kinara tak membalas, dia berbalik, melangkah pergi dengan dagu terangkat, meski dadanya bergejolak.
Seseorang memanggil nama Rayyan dari arah lobi.
“Rayyan.”
Pria itu menoleh, bersamaan dengan itu, Kinara ikut menoleh dan tubuhnya seketika menegang.
Seorang pria tinggi melangkah mendekat. Posturnya tegap, wajahnya tenang, rapi, dengan senyum sopan yang langsung dikenali Kinara meski bertahun-tahun berlalu.
Pria itu, Rome, Pangeran sekolah di masa SMA. Orang yang dulu berdiri di depannya saat ia diusir dari rumah. Orang yang tahu sepotong kisah tentang dirinya dan Rayyan, tanpa pernah tahu luka utuh di balik perpisahan mereka.
“Kinara,” sapa Rome hangat, jelas terkejut tapi tulus. “Kamu … di sini?”
Kinara menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis, senyum yang jarang ia berikan.
“Rome,” katanya. “Kamu ngapain di tempat ini?”
Sebelum Rome sempat menjawab, Rayyan tertawa kecil, menyelipkan diri di antara mereka dengan ekspresi meremehkan.
“Kamu kerja di sini tapi nggak tahu siapa bosnya?” Rayyan menyeringai. “Dia itu bos perusahaan ini.”
Kinara menoleh cepat ke Rome, alisnya berkerut. Rayyan melanjutkan, nada suaranya sinis.
“Kamu pikir kamu bisa lolos begitu saja masuk ke perusahaan ini kalau bukan karena Rome yang bantu? Jangan naif.”
Suasana di sekitar mereka menegang. Beberapa staf kembali melirik, kali ini lebih terang-terangan. Rome menghela napas, jelas merasa tidak nyaman. Ia menatap Kinara, ada rasa bersalah di matanya, namun ia segera menggeleng pelan.
“Jangan dengarkan Rayyan,” ucapnya rendah namun tegas. “Kamu lulus karena kemampuanmu sendiri. Aku tidak membantu apa pun.”
Kinara menatapnya, mencoba membaca kejujuran di wajah itu.
“Aku bahkan baru tahu kamu diterima di sini pagi tadi,” lanjut Rome jujur. “Dan soal aku … aku memang pemilik perusahaan ini, lebih tepatnya milik orang tuaku, tapi aku tidak ikut campur dalam proses rekrutmen.”
Kening Kinara semakin berkerut, bukan karena curiga, melainkan karena kenyataan yang baru saja menamparnya.
Rayyan mendecih pelan, jelas tidak puas.
“Selalu membela,” katanya sinis. “Sama seperti dulu.”
Tatapan Rome mengeras sesaat menatap Rayyan.
“Tidak semua orang seperti kamu, Ray,” jawabnya singkat.
Kinara menarik napas dalam-dalam. Hari pertamanya bekerja, dan masa lalu datang menyambarnya tanpa peringatan. Ia melangkah mundur satu langkah, menatap Rome dengan tenang.
“Terima kasih sudah jujur,” katanya. “Dan maaf … aku harus mulai bekerja.”
Rome mengangguk, sorot matanya lembut.
“Semoga harimu baik, Kinara.”
Kinara berbalik pergi, kali ini tanpa ragu.
Di ruang kerja yang luas dan sunyi itu, udara terasa menekan.
Arman menatap layar di hadapannya tanpa benar-benar melihat apa pun. Keningnya berkerut tajam ketika suara Rudi terdengar pelan namun jelas, setiap kata jatuh seperti palu.
“Rayyan baru saja menjalin kerja sama dengan Rome, Tuan,” lapor Rudi hati-hati. “Rome Brastamana … Tuan Muda keluarga Brastamana.”
Jari-jari Arman yang semula bertumpu di sandaran kursi roda perlahan menegang.
Rudi melanjutkan, suaranya makin rendah.
“Dan … sejak SMA, Rome memang dekat dengan Nyonya Kinara. Dari informasi yang saya dapat … Rome menyimpan perasaan padanya. Diam-diam dan itu sudah bertahun-tahun.”
Telapak tangan Arman menghantam meja kerja. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Rudi terdiam. Rahang Arman mengeras, urat di pelipisnya menegang. Wajahnya memerah, bukan karena amarah semata, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya dan rasa kehilangan yang bahkan belum terjadi.
“Dekat?” ulang Arman pelan, suaranya dingin. “Menyimpan cinta?”
Ia tertawa kecil, getir.
“Sejak SMA…”
Lima kata itu terasa seperti duri yang menusuk ke masa lalu Kinara, masa yang tidak pernah melibatkan dirinya. Rudi menelan ludah. Ia jarang, dan nyaris tak pernah melihat Arman bereaksi seperti ini.
“Tuan…” Rudi memberanikan diri. “Apa yang ingin Anda lakukan?”
Arman tidak langsung menjawab. Pandangannya mengarah ke jendela besar, ke langit kota yang tampak dingin dan jauh. Ia teringat senyum Kinara pagi tadi. Ucapan Kinara tentang tidak pernah malu menjadi bagian dari keluarganya. Tentang bertahan demi Aksa. Tentang kenyamanan yang perlahan tumbuh tanpa ia sadari.
“Kau bilang,” ucap Arman akhirnya, suaranya rendah dan tegas, “Rayyan bekerja sama dengan Rome.”
“Benar, Tuan.”
Arman menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada yang membuat Rudi langsung menegakkan punggungnya.
“Awasi Kinara.”
Rudi terdiam sesaat.
“Maksud Anda…?”
“Semua kegiatannya,” lanjut Arman dingin. “Di kantor. Dengan siapa dia bicara. Dengan siapa dia makan siang, dan terutama—”
Ia berhenti sejenak,
“dengan Rome.”
Rudi mengangguk pelan, meski ada keraguan di matanya.
“Baik, Tuan.”
Saat Rudi hendak keluar, Arman menambahkan tanpa menoleh,
“Dan satu lagi.”
Rudi berhenti di ambang pintu.
“Pastikan,” kata Arman, suaranya datar namun mengandung ancaman,
“tidak ada satu pun orang yang merasa bebas mengambil apa yang … sudah menjadi bagian dari rumah ini.”
Pintu tertutup perlahan.
Tinggal Arman sendiri dengan rasa yang tidak pernah ia izinkan tumbuh, namun kini mulai menuntut untuk diakui.
Di ruang kerja bernuansa abu-abu modern itu, Rome duduk tegak di balik meja besarnya, jemarinya menelusuri berkas kerja sama yang baru saja dicetak. Sorot matanya tajam, penuh perhitungan.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Masuk.”
Inara, asistennya, melangkah masuk sambil membawa tablet.
“Tuan Rome,” ucapnya hati-hati, “CEO Mission Bar telah menerima email kerja sama kita.”
Rome mengangkat kepala. Alisnya sedikit terangkat.
“Diterima?” ulangnya pelan.
“Ya, setelah lima tahun penolakan berturut-turut, kali ini ... tidak ada penolakan. Belum ada tanda tangan final, tapi … email itu jelas menunjukkan ketertarikan.”
Inara ragu sejenak sebelum melanjutkan,
“Menurut Anda ini keberuntungan, atau ada alasan lain di balik perubahan sikap Tuan Arman?”
“Pastikan semua berjalan dengan lancar,” potong Rome tegas.
Ia menyandarkan punggung, keningnya mengerut. Nama Arman bukan nama sembarangan. Dingin, tertutup, dan terkenal tak pernah melonggarkan prinsip bisnisnya, apalagi pada perusahaan farmasi yang berpotensi menjadi pesaing strategis.
“Jangan ada celah,” tambah Rome. “Sedikit saja kesalahan, kerja sama ini bisa batal sebelum dimulai.”
Inara mengangguk cepat.
“Baik, Tuan.”
Ia pun pamit keluar.
Belum sempat Rome kembali fokus pada berkas, pintu kembali diketuk.
“Masuk.”
Kali ini Kinara yang melangkah masuk.
Rome tersenyum refleks, senyum hangat yang nyaris tak pernah ia tunjukkan pada staf lain. Namun Kinara tetap berdiri profesional di sisi meja, ekspresinya tenang dan terjaga jarak.
“Silakan duduk,” ujar Rome akhirnya.
Kinara mengangguk singkat, lalu duduk di kursi di depannya. Ia membuka map yang dibawanya, tatapannya lurus, tanpa ragu.
“Kita perlu membahas pengembangan lini farmasi yang akan difokuskan tahun ini,” ucap Kinara langsung ke inti. “Terutama terkait riset obat autoimun dan penguatan uji klinis fase kedua.”
Rome menyimak dengan serius. Senyumnya menghilang, tergantikan ekspresi pemimpin perusahaan.
“Kau sudah membaca proposal awalnya?” tanya Rome.
“Sudah,” jawab Kinara mantap. “Ada potensi besar, tapi kita harus berhati-hati dengan sumber bahan baku. Jika salah memilih pemasok, hasil riset bisa dipertanyakan.”
Rome mengangguk pelan, matanya berbinar bukan karena Kinara semata, melainkan karena kecerdasannya.
“Pendapatmu sejalan dengan pikiranku,” katanya. “Itulah alasan aku menempatkanmu di tim ini.”
Kinara menatap layar tablet miliknya, lalu berkata profesional,
“Kalau begitu, saya sarankan kita revisi bagian pengadaan dan menunda uji coba massal sampai semua data stabil.”
Rome menatap Kinara lebih lama dari seharusnya, seolah lupa bahwa hubungan mereka kini bukan lagi sebatas kenangan SMA, melainkan atasan dan bawahan.
“Kinara,” panggilnya akhirnya, suaranya lebih pelan.
“Ya, Tuan Rome?”
Rome tersenyum tipis, menahan sesuatu yang nyaris keluar dari kata-kata.
“Tidak ada., lanjutkan saja. Aku percaya pada analisismu.”
Kinara mengangguk, kembali fokus pada berkas, tanpa menyadari bahwa di balik meja itu, ada sepasang mata yang tidak hanya menilai kemampuannya, tetapi juga menyimpan rasa yang belum pernah benar-benar padam.
"Kinara, apa kamu masih sendiri? Jika aku berusaha sekali lagi, apa kamu akan menoleh ke arah ku?" gumam Rome, menatap layar ponselnya di mana foto Kinara dan dirinya berada.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣