Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: KOORDINAT YANG HILANG DI TENGAH BADAI
Perpisahan Pagi Hari
Pagi merayap perlahan di rumah kecil mereka, membawa serta kehangatan yang tidak mampu menembus selubung kecemasan yang menggantung di udara. Bara berdiri di ambang pintu, jaket pelautnya yang usang terasa dingin di kulitnya. Ini adalah pagi yang hening, bukan karena damai, tetapi karena dipenuhi janji dan beban yang tak terucapkan. Ia harus pergi, menaiki KM Harapan Jaya, menunaikan bakti menjenguk ayahnya, Haji Saleh, yang sakit keras di pulau seberang—sebuah urusan mendesak yang tidak bisa diwakilkan.
Bara menarik napas dalam, memeluk Rina dengan erat. Aroma Rina—perpaduan kopi pagi yang baru diseduh, sedikit sisa sabun mandi, dan kehangatan khasnya—adalah satu-satunya jangkar yang menahan dirinya dari gelombang kecemasan yang mulai menyerbu. Ia mencium lembut Arka, putranya yang berusia delapan tahun, yang tenang dalam gendongan Rina. Arka, yang belum bisa bicara dan memiliki dunianya sendiri, hanya membalas dengan sentuhan samar di pipi Bara.
Nirmala, yang biasa dipanggil Mala, yang kini berusia lima tahun, berdiri mematung di ambang pintu kamar. Ia menanti gilirannya dipeluk, matanya yang besar memantulkan kegelisahan yang ia rasakan dari orang tuanya. Namun, perhatian Rina sudah terfokus pada hal yang lebih mendesak.
Rina menangkup wajah Bara, memaksa Bara menatapnya, mengunci pandangan mereka. "Bar, dengarkan aku baik-baik," desis Rina, nadanya rendah tetapi penuh penekanan. "Haji Saleh memang penting. Bakti kepada orang tua itu adalah kewajiban tertinggi. Aku tidak pernah melarangmu."
Bara mengangguk, sorot matanya menunjukkan pemahaman, tetapi juga kelelahan batin. "Aku tahu, Rina. Aku sudah berjanji. Hanya sebentar."
"Bukan sebentarnya yang aku khawatirkan. Aku khawatir kau lupa janji kita yang lain," Rina menekan kata itu. "Ingat, tagihan rumah sakit kita sudah jatuh tempo. Kebutuhan Arka, biaya terapinya, biayanya besar, Bar. Kau harus ingat itu."
Wajah Rina menunjukkan ketakutan, bukan ketidakpercayaan. Ia tahu Bara berjuang, tetapi ia juga tahu Bara terlalu mudah hanyut dalam hal-hal spiritual yang menurutnya tidak realistis.
"Jangan lupa tulis semua pengeluaranmu. Catat itu, Bar. Semuanya," perintah Rina, suaranya kini terdengar seperti mantra yang harus diulang agar Bara tidak lupa.
Mala masih berdiri di sana, kakinya terpaku di lantai kayu. Ayahnya terpecah, fokusnya terbagi. Mala, yang merasakan Ayahnya absen di momen itu, hanya bisa mendekat perlahan. Ia tidak berani meminta pelukan, hanya tangannya yang kecil meraih ujung pensil pendek—pensil tumpul yang pernah Bara berikan padanya saat ia mulai belajar menulis—yang mencuat dari saku tas pinggang Bara. Itu adalah satu-satunya koneksi fisiknya dengan Ayahnya saat itu.
Bara merasakan tarikan di ujung pensil. Ia menoleh ke Mala, menciumnya sekilas di dahi. "Anak Ayah yang paling cantik. Ayah harus pergi dulu, ya. Cepat pulang." Ciuman itu cepat dan tergesa-gesa, fokus Bara kembali ke Rina yang terlihat tegang.
Bara merasakan rasa bersalah yang menusuk, seolah ia telah meninggalkan sesuatu yang paling penting di rumah itu. Ia meninggalkan mereka demi janji kepada dua Ayah—Ayah yang sedang sakit, dan anak-anak yang menanti masa depan lebih baik. Namun, Mala terlihat terluka. Bara meyakinkan diri, keberangkatannya ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan martabatnya sebagai kepala keluarga, satu-satunya cara untuk menyelamatkan masa depan mereka.
Pengingat Tugas Suami di Dermaga
Bara berjalan cepat menuju dermaga kecil tempat kapal kargo KM Harapan Jaya bersandar. Ia mengenali kaptennya, Kapten Rudi, seorang pria tua yang jarang bicara tetapi sangat andal. Bara segera naik, meninggalkan Rina dan rumahnya di belakang.
Tepat sebelum Kapten Rudi membunyikan klakson panjang sebagai tanda keberangkatan, telepon Bara berdering. Itu Rina.
"Kau sudah di kapal, Bar?" Suara Rina terdengar tercekat oleh angin pagi dan kecemasan yang kental.
"Sudah. Jangan cemas. Kapalnya KM Harapan Jaya, yang biasa aku tumpangi. Kaptennya kenalanku. Kapal kargo kecil, tapi kuat," jawab Bara, mencoba memasukkan ketenangan palsu ke dalam suaranya.
"Aku tidak cemas soal kapalnya," sela Rina cepat. "Aku cemas soal dirimu. Aku tidak suka kau pergi tanpa kejelasan selama ini. Kenapa harus kau yang pergi? Kenapa bukan Yanto saja?"
"Yanto sudah ada tugas lain. Dan ini bakti, Rina. Aku harus pergi." Bara menghela napas. "Hanya sebentar. Aku akan segera kembali setelah menyelesaikan urusan ayah."
"Baiklah. Jaga dirimu, Bar." Rina terdiam sejenak. "Dan Bara. Jangan pernah lupa menulis. Catat semua pengeluaran dan janji-janji kita, Bar. Jangan sampai ada yang terlewat. Kalau kau tidak kembali, aku butuh bukti keuangan yang jelas."
Bara memegang tasnya yang berisi sebuah buku yang dibungkus plastik tipis. Buku itu tadinya memang ia siapkan sebagai buku catatan finansial, untuk menepati janji Rina.
"Pasti, Rina. Aku catat," jawab Bara, suaranya pelan, matanya menatap jauh ke lautan.
Ia tidak memberi tahu Rina, bahwa dalam keheningan malam-malam terakhirnya, ia telah mengubah buku catatan finansial itu menjadi Buku Doa Musafir. Ia tidak mencatat satu rupiah pun. Ia takut Rina menganggapnya tidak realistis; di mata Rina, mereka butuh angka, bukan karomah. Ia hanya mencatat doa, bukan uang. Ia menanamkan harapan tertinggi di sana, melepaskan janji finansial di dunia nyata, dan menukarnya dengan janji spiritual kepada Tuhan.
Awal Bencana dan Serangan Panik
Pelayaran berjalan normal selama beberapa jam. Namun, di tengah laut lepas, badai datang tiba-tiba, tanpa peringatan. Badai itu datang dari arah yang tidak terduga, melahap kapal KM Harapan Jaya dengan cepat. Kapal kargo kecil yang Bara sebut kuat, kini hanya seonggok besi tua yang terombang-ambing tak berdaya.
Kekacauan pecah. Jeritan panik, suara benturan kayu dan logam, dan air laut yang asin menyerbu masuk ke lambung kapal. Bara tidak sempat berpikir. Ia hanya berpegangan. Segala sesuatu yang selama ini menjadi koordinat hidupnya—keluarga, pekerjaan, janji finansial—kini berantakan.
Kapal terbalik. Bara terlempar ke laut.
Air, elemen yang seharusnya akrab baginya sebagai pelaut, kini menjadi ancaman nyata dan brutal. Air asin yang masuk ke mata dan tenggorokannya memicu rasa sakit fisik bercampur dengan serangan panik yang tidak tertahankan.
Dingin. Gelap. Bara merasa kembali ke masa kecilnya, ketika ia nyaris tenggelam. Rasa sakit itu, rasa tidak berdaya itu, kembali menghantamnya. Benih PTSD yang selama ini ia tekan, kini tumbuh dengan liar. Ia berjuang keras untuk tetap sadar, memikirkan wajah Rina, Arka, Mala, dan Ayahnya.
"Jangan mati, Bara. Jangan mati," bisiknya putus asa, suaranya tenggelam di antara deburan ombak. Ia menendang-nendang air, melawan insting untuk menyerah.
Kehilangan dan Keterbatasan Total
Ia berhasil meraih sepotong puing kapal, potongan kayu yang besar. Ia berpegangan erat, seolah puing itu adalah takdir terakhirnya. Ombak besar menghantamnya lagi, lebih keras dari sebelumnya. Ia merasakan jaket pelautnya terlepas, ransel besarnya hilang, dan semua alat komunikasinya—segala yang berbau dunia nyata, harta benda, dan janjinya kepada Rina—tenggelam tak bersisa.
Ia berjuang di tengah ombak. Tangannya membentur puing keras berulang kali, tetapi ia tidak lagi merasakan sakit fisik. Ia hanya merasakan kehampaan yang menakutkan, keterbatasan fisik total.
Ia kehilangan segalanya. Kehilangan harapan, kehilangan kontak, kehilangan bukti bahwa ia pernah ada. Ia adalah musafir yang terdampar sebelum mencapai tujuannya.
Ia menyadari ia hanya punya satu barang yang tersisa, benda kecil yang ia genggam erat di tangan kirinya. Ia mencengkeramnya dengan putus asa.
Di detik Bara hampir menyerah dan membiarkan air menariknya ke dasar, sebuah buku basah yang tersampul plastik tipis (kini koyak), yaitu Buku Doa Musafir, tersangkut di tangannya. Ia mencengkeramnya, seolah itu adalah jaminan kehidupan terakhirnya. Itu bukan buku keuangan yang diminta Rina, tetapi janji spiritual yang ia buat sendiri.
Ia membuka matanya sebentar, menahan perih air asin. Di dalamnya, pensil pendek Mala masih terselip di halaman pertama, sebuah simbol cinta terakhir yang ia bawa dari rumah. Itu adalah satu-satunya koordinat takdir yang ia miliki.
Gema Pertama dari Jauh
Tiga hari kemudian.
Keheningan rumah Rina diguncang oleh kabar buruk dari perusahaan kapal. Bara hilang. Perusahaan hanya menemukan puing dan beberapa korban, termasuk Yanto, rekan Bara, yang dikonfirmasi meninggal.
Ketidakjelasan Status Hukum
Di ruang tamu, di mana Bara dan Rina sering merencanakan masa depan mereka, Rina berhadapan dengan Bapak Harjo, Agen Asuransi. Harjo adalah pria profesional, rapi, dan dingin, hanya bicara tentang angka dan prosedur hukum.
"Saya turut berduka cita, Bu Rina. Saya mengerti posisi Ibu," kata Harjo, tanpa menunjukkan emosi. "Tapi kami harus bicara fakta. Perusahaan kapal hanya bisa memberikan status Hilang di Laut. Kami tidak bisa mengajukan klaim asuransi atau akta kematian dengan cepat. Tidak ada bukti fisik yang mengonfirmasi kematian suami Anda, Bu. Hukum tidak bisa berjalan hanya berdasarkan harapan."
Rina memegang erat cangkir kopinya yang sudah lama dingin. Ia berjuang mempertahankan ketenangan di depan pria yang hanya melihatnya sebagai angka di laporan.
"Jadi, apa artinya ini bagi kami, Pak Harjo?" tanya Rina, suaranya terdengar datar.
"Artinya, secara hukum, suami Anda masih hidup, tetapi juga belum mati. Statusnya mengambang," jelas Harjo, menekankan kata itu. "Kami tidak bisa membantu finansial Anda sama sekali sebelum ada kejelasan hukum. Status Bara harus jelas dulu. Jika Ibu menunda, keluarga Ibu tidak akan mendapat bantuan apa pun. Ini adalah kerugian logis."
Harjo menjeda, menatap Rina dengan pandangan menekan. "Kami hanya bisa memberi waktu hingga batas tertentu, Bu Rina. Anda harus mulai mempersiapkan skenario terburuk, secara finansial dan hukum."
Rina mengangguk perlahan. Ia tidak bisa meminta empati dari Harjo. Ketidakjelasan status hukum suaminya adalah ancaman nyata yang kini menggerogoti stabilitas rumahnya.
Kritik dan Ancaman Martabat
Beberapa jam setelah Harjo pergi, Bunda Ida datang. Ia tidak datang untuk memeluk Rina, tetapi untuk memberikan intervensi logis yang menusuk.
Bunda Ida duduk tegak di sofa, menatap Rina yang terlihat semakin kurus. "Sudah kuduga. Harjo pasti bilang begitu."
"Bara akan pulang, Bu. Saya yakin."
"Yakin? Keyakinan apa yang bisa memberi makan Arka dan membayar terapisnya, Rina?" Suara Bunda Ida meninggi, tetapi terkontrol. "Sampai kapan kamu mau menunggu keajaiban, Rina? Kamu harus realistis. Kamu punya dua anak yang harus dihidupi, dan salah satunya punya kebutuhan khusus. Ini bukan waktunya bersikap puitis."
"Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak bisa buru-buru mengajukan akta kematian. Itu sama saja mengkhianati Bara. Itu sama saja menguburnya hidup-hidup!" Mata Rina memerah, tetapi ia menahan air matanya.
Bunda Ida berdecak. "Itu namanya martabat, Bu. Dan martabat tidak bisa mengisi perut anakmu! Logika! Hanya logika yang bisa menyelamatkanmu sekarang. Jual asetmu. Jual perhiasanmu. Mulai urus status hukum Bara."
Bunda Ida mendekat. Kritik itu terasa seperti tamparan dingin yang menekan martabat Rina sebagai istri yang beriman dan percaya pada suaminya. "Kamu adalah satu-satunya harapan mereka sekarang. Jangan biarkan harapan itu hilang karena halusinasi. Suami kamu pergi, Rina. Pergi! Kau harus berdamai dengan kenyataan itu."
"Saya tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak butuh Ibu mengatur hidup saya dan menganggap saya tidak waras!"
"Oh, ya? Lalu kenapa kau masih mempertahankan Bara yang sudah hilang hanya karena 'perasaan'? Kau mengabaikan kebutuhan nyata Arka dan Mala!" Bunda Ida menunjuk ke sudut ruangan. "Kau sudah gagal menjadi tiang rumah. Jangan biarkan rumah ini runtuh total karena idealisme kosongmu!"
"Bara akan pulang! Saya akan bertahan!" teriak Rina, kali ini ia tidak bisa menahan suaranya lagi. Ia merasa martabatnya hancur.
Rina berada di puncak tekanan. Ia sudah siap berteriak menantang ibunya. Ia ingin menjerit bahwa imannya lebih kuat daripada logika Bunda Ida.
Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan dingin yang sangat aneh, seolah ada hembusan angin beku yang melintas cepat di punggungnya, meskipun tidak ada jendela yang terbuka. Perasaan itu segera diikuti Gema "Tenang" yang sangat samar di batinnya. Gema itu, meskipun tipis, cukup kuat untuk meredam putaran panik di dada Rina dan menghentikan niat Rina berteriak.
Arka yang sedang rewel di sudut ruangan, mendadak berhenti menangis. Matanya yang biasanya fokus ke dalam dirinya, kini menatap lurus ke sudut ruangan yang kosong, seolah ada sosok tak kasat mata di sana. Arka tidak tersenyum, hanya memancarkan kedamaian yang asing.
Bunda Ida melihat reaksi Rina yang mendadak diam membeku, matanya kosong. Ia menatap Rina dengan pandangan yang semakin tajam.
"Ada apa, Rina? Kau tampak tidak waras," ulang Bunda Ida, suaranya mengandung kecurigaan yang dalam.
Rina tidak mampu menjelaskan. Sentuhan dingin, gema tenang, dan respons Arka, semua itu terlalu aneh. Ia hanya memeluk buku kecil yang baru saja ia temukan di meja Bara—buku yang ia kira berisi catatan finansial suaminya. Ia tidak tahu bahwa isinya telah berubah menjadi koordinat takdir mereka.
Rina menatap Bunda Ida. Kata-kata ibunya, "Kau tampak tidak waras," terasa mengiang di telinganya. Rina tahu, jika ia menceritakan tentang sentuhan dingin atau suara "Tenang" yang samar itu, Bunda Ida akan segera mengambil alih kendali penuh atas hidupnya, dengan alasan ia sudah kehilangan akal sehat.
“Tidak ada, Bu. Saya hanya lelah,” jawab Rina, suaranya tercekat. Ia meraih Buku Doa Musafir (yang ia kira buku keuangan) dan memeluknya erat-erat, seolah buku itu adalah satu-satunya koneksi yang tersisa dengan Bara.
Bunda Ida menghela napas panjang, kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. Ia bangkit, merapikan pakaiannya. "Baiklah. Pikirkan baik-baik. Kalau kau tidak bisa mengambil keputusan logis, biarkan Ibu yang mengurusnya. Tapi jangan salahkan Ibu jika Ibu mengambil alih aset yang tersisa."
"Saya akan mengurusnya sendiri, Bu," balas Rina, suaranya mengandung tekad yang dipaksakan.
"Jangan sampai terlambat, Rina. Jangan sampai kau dan anak-anakmu tidak punya apa-apa karena kebodohan spiritualmu," ancam Bunda Ida, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari rumah. Pintu ditutup dengan suara yang tegas, meninggalkan Rina dalam kesunyian yang mencekam.
Rina terduduk di sofa. Rumah terasa begitu besar dan kosong, seolah kehilangan Bara telah melipatgandakan ukuran ruangan. Ia menatap buku yang ia peluk. Di matanya, buku itu adalah janji finansial Bara yang gagal terwujud. Ia tidak tahu bahwa ribuan kilometer jauhnya, Bara memeluk buku yang sama sebagai satu-satunya bukti spiritualnya.
Koordinat Jarak: Rumah yang Sunyi
Rina mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Bukan hanya ancaman finansial dan kritik dari ibunya, tetapi juga keanehan yang ia rasakan bersamaan dengan respons Arka. Ia harus menenangkan dirinya sendiri, menemukan kembali keteguhan yang dulu ia miliki.
"Arka," panggil Rina lembut. "Sayang, sudah tenang?"
Arka menoleh, matanya yang besar dan hitam menatap Rina, memancarkan kedamaian yang aneh—kedamaian yang terlalu dalam untuk anak seusianya. Arka kembali memeluk baju Bara yang tersampir di sandaran kursi. Rina mencium aroma tipis yang sekilas tercium, seperti parfum Bara saat ia pergi salat. Ia menoleh ke Arka, yang kini memeluk baju Ayahnya dan kembali diam.
Rina beranjak, berjalan menuju kamar Nirmala. Ia menemukan Mala duduk di pojok, diam-diam menggambar di buku gambarnya.
"Mala, Sayang. Ada apa? Kenapa kau diam saja?" Rina duduk di sampingnya, mencoba meraihnya.
Mala menarik diri sedikit, matanya menghindari kontak. "Tidak ada apa-apa, Bu."
"Ibu tahu kau sedih Ayah pergi. Tapi kau harus bicara pada Ibu."
"Ibu selalu bilang Ayah harus mencatat uang. Ibu selalu bilang Ayah harus ingat Arka," kata Mala, suaranya sangat pelan, tetapi penuh luka. "Ayah jadi buru-buru. Ayah tidak punya waktu untuk Mala."
Rina terdiam, hatinya terasa tertusuk. Ia baru menyadari betapa fokusnya pada masalah finansial dan kebutuhan Arka, sehingga ia melupakan luka tersembunyi putrinya. Mala merasa tidak penting, merasa tidak dianggap, merasakan luka inti yang paling sunyi di antara hiruk pikuk krisis keluarga.
"Bukan begitu, Sayang. Ayah sangat menyayangimu. Kau tahu itu."
"Kalau Ayah sayang, kenapa Ibu selalu bilang Ayah harusnya mencatat uang, bukan mencatat Mala?" Mala menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Rina memeluk Mala erat-erat. "Maafkan Ibu. Itu tidak benar. Kau adalah yang paling penting di rumah ini." Rina menyadari ia harus memperbaiki luka ini, luka yang ia ciptakan sendiri karena terlalu fokus pada logika dan materi.
Antara Logika dan Keyakinan
Rina kembali ke ruang tamu, membawa buku Bara. Ia meletakkannya di meja. Ia perlu mencarikan pekerjaan, ia perlu merencanakan langkah logis untuk menghindari ultimatum Bunda Ida. Ia tahu Harjo akan segera kembali dengan berkas-berkas hukum yang lebih menekan.
Ia membuka buku kecil itu, ingin melihat catatan finansial Bara yang ia yakini akan ada di sana—bukti bahwa Bara menepati janjinya yang terakhir. Tetapi, buku itu kosong. Halaman-halamannya masih putih dan bersih, hanya ada pensil pendek Mala yang terselip di halaman pertama.
"Bara..." bisik Rina, kecewa. "Kau tidak mencatatnya?"
Ia membolak-balik buku itu. Hanya halaman pertama yang berisi tulisan, tetapi itu bukan angka. Tulisan tangan Bara yang rapih, dengan pensil pendek Mala.
“Ya Allah, izinkan aku kembali menjadi Imam yang pantas bagi keluargaku. Jaga Arka, lindungi Mala dari rasa tidak dianggap. Aku berjanji, jika aku kembali, aku akan membuktikan bahwa mereka adalah harta terbesarku.”
Rina menatap tulisan itu. Ini bukan catatan finansial, ini adalah doa. Bara tidak mencatat uang; Bara mencatat janji spiritual.
Rina dilanda kebingungan dan rasa bersalah yang menusuk. Ia menuntut bukti material, sementara Bara hanya bisa memberikan bukti spiritual tertinggi. Apakah keanehan yang ia rasakan tadi—gema "Tenang" dan respons Arka—adalah jawaban atas doa yang ia pegang ini?
Mungkin penderitaan Bara di pulau nun jauh di sana sedang menghasilkan keajaiban-keajaiban mikro (Divine Echo) yang secara diam-diam menyembuhkan anak-anaknya? Rina mencium aroma parfum Bara yang sekilas tercium. Ia menoleh ke Arka, yang kini memeluk baju Ayahnya dan kembali diam. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan ibunya, "Apakah kau tampak tidak waras?" Ia hanya bisa memeluk buku itu dan menemukan kedamaian yang asing.
Inilah kisah tentang sebuah takdir yang tidak diukur oleh jarak di peta, melainkan oleh ketebalan Tawakal. Ini adalah kisah tentang dua titik koordinat yang dipisahkan oleh laut, tetapi disatukan oleh doa yang ditulis dengan ikhlas tertinggi.
Rina menutup buku itu. Ia tahu ia harus segera mengambil keputusan. Ia harus mencari tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia harus bertahan. Koordinat hidupnya telah hilang, tetapi ia harus menemukan koordinat takdir yang baru.