Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Masa Kecil Jingnan
Di kediaman keluarga Ju, aroma kue hangat dan teh segar menyelimuti udara pagi. Ju Jingnan kecil berlari-lari di halaman istana, pedang mainannya menari-nari di udara seperti menantang bayangan sendiri. Jingyan duduk di teras, menata kelopak bunga plum yang gugur di atas meja, matanya selalu mengikuti kakak kembarnya yang tak pernah diam.
“Nannan, jiejie… jangan berlarian seperti itu, nanti kau jatuh dan terluka!” Jingyan menegur lembut, matanya menatap kakaknya dengan penuh perhatian.
“Tenang saja, Yanyan! Aku akan menjadi seperti ibu yang tangguh! Aku akan jadi jenderal wanita terhebat!” Jingnan tersenyum ceria, pedang mainannya berputar-putar, menyinggung pinggang para pelayan yang lewat. Suaranya riang, penuh semangat yang hanya dimiliki anak-anak yang belum mengerti betapa sulitnya dunia.
“Jingnan, letakkan pedang mainanmu itu, mari kesini menata kelopak bunga dengan ibu dan adikmu.” Permaisuri Jing Yue muncul dari dalam, langkahnya lembut tapi penuh wibawa, wajahnya tersenyum hangat. Ada rasa khawatir yang tersembunyi di balik senyumnya, karena ia tahu betul Jingnan punya jiwa keras dan penuh tekad.
“Tidak, ibuuu! Aku ingin jadi jenderal wanita, jadi aku harus berlatih pedang!” Mata Jingnan bersinar, semangatnya seperti api kecil yang menari.
Permaisuri Jing Yue tertawa pelan, menatap putrinya dengan penuh kasih dan sedikit godaan. “Nannan, kau itu seorang putri. Apakah kau sudah tidak ingin menjadi putri cantik yang anggun seperti Yan Qing jiejie? Yang mendapatkan laki-laki setampan, Feng Yu, hum?”
Langkah Jingnan berhenti seketika. Ia menatap ibunya, bibirnya bergerak pelan, “Ummm… iya ya… aku ingin jadi putri cantik yang anggun seperti Yan Qing jiejie… atau jenderal wanita seperti ibu ya?” Matanya menyipit, pikirannya tersesat di antara keinginan menjadi putri anggun atau jenderal wanita seperti ibunya dulu. Permaisuri Jing Yue dulunya memang seorang putri sekaligus jenderal wanita cantik dan berbakat dari Ruoyang, namun setelah menikah dengan Ju Longwei, ia memilih menetap di Zhenhua dan menginginkan kedua putrinya hidup damai, tanpa harus memegang pedang penuh darah karna ia tahu betul bahwa menjadi jenderal wanita itu berat dan penuh risiko.
Tiba-tiba, Mei Yin yang lebih pendek dari Jingnan datang dan meloncat lalu menepuk dahinya yang membuatnya terkejut. “Awww, Mei-Yin! Aku akan memukulmu!!!” teriak Jingnan kecil. Sepupu nakal itu selalu berhasil mengagetkannya dengan cara paling tak terduga.
Dan tiba-tiba… Jingnan terbangun. Kini ia sudah tak kecil lagi. Jantungnya masih berdebar. Ia tersadar baru saja bermimpi masa kecilnya yang terganggu oleh Mei Yin. Anehnya, rasa sakit di dahinya terasa nyata. ‘Apa mungkin… sakitnya itu benar-benar terasa dari mimpi?’ pikirnya, heran.
Mata dewasanya menatap langit-langit kamarnya, tubuhnya kini tegap dan anggun. Hatinya masih membawa sisa mimpi itu, rasa sakit, tawa masa kecil, dan keberanian yang dulu menempel sampai sekarang membuatnya tersenyum tipis.
Ia berjalan ke meja, menuangkan teh hangat ke dalam cangkir dan meminumnya. Namun belum sempat meneguknya, Mei Yin muncul entah dari mana, mengenakan topeng monyet yang tampak konyol di wajahnya.
Fyuuh! Jingnan kaget dan tanpa sengaja menyemburkan teh yang belum sempat ia telan ke wajah Mei Yin. Walau topeng itu menutupi sebagian wajahnya, semburan teh tetap mengenai mata Mei Yin.
“NANNAN JIEJIE!!!” teriak Mei Yin, suaranya mengumpulkan banyak pelayan dan prajurit di sekitar halaman. Jingyan, Weifeng, dan anggota keluarga Ju tidak muncul karena mereka sudah menebak sepupu nakal ini sedang menjahili Jingnan.
Seorang pelayan berlari masuk dengan panik, “Ada apa, Tuan Putri? Apakah kalian baik-baik saja?!” Namun saat mereka melihat Mei Yin yang baru saja hendak melepas topengnya, semua malah tertawa kecil melihatnya.
Jingnan menatap sepupunya, setengah kesal, setengah geli. “Mei Yin, pagi-pagi buta seperti ini, apa nggak bisa diam sehari saja?!”
“Pagi-pagi buta?? Ini sudah hampir malam lagi, jie! Tidur apa simulasi mati sih??” ucap Mei Yin sambil melipat tangan dan wajah kesal, tapi tetap lucu.
“Hah?? Aku tidur selama ini??” Jingnan pun terheran, baru kali ini ia menyadari betapa lama ia tertidur. Ia berjalan keluar kamar dan benar saja, sudah hampir malam.
Jingnan tersenyum tipis, mengingat mimpi kenangan masa kecilnya yang hangat sebelum kematian ayahnya. Rasa tanggung jawab, keberanian, dan kehangatan keluarga yang dulu menempel kini membentuk dirinya menjadi wanita dewasa yang tegas, anggun, dan siap menghadapi dunia.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️