Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGAKUAN
Pagi merekah, sinar lembut menembus jendela kamar, menyentuh permukaan lantai dan ranjang yang sedikit berantakan. Arum keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, langkahnya ringan namun hatinya terasa berat. Matanya tertuju pada seprai bermotif floral yang kini ternoda, sebuah bercak merah yang membuat dadanya sesak. Itu darahnya—darah yang paling berharga, yang pernah ia berikan kepada seseorang yang ia cintai.
Dengan napas tertahan, ia melangkah kembali ke kamar mandi, meraih sikat, sabun, dan wadah air. Setiap gerakan penuh ketelitian saat ia membersihkan noda itu dari seprai. Air dan sabun menyentuh kain, dan seiringnya, hingga bayangan semalam bersama Langit hadir dalam pikirannya. Ia teringat bagaimana Langit memeluknya, menyentuhnya dengan hati-hati, setiap jengkal tubuhnya yang ia miliki disentuh dengan rasa cinta, bukan nafsu.
Saat seprai kembali bersih, Arum menatapnya sebentar, menarik napas dalam, dan membisu. Itu adalah noda pertama yang pernah ia berikan kepada cinta sejatinya. Dan, meski disertai penyesalan, entah mengapa hatinya terasa hangat. Ada getaran yang aneh—sebuah campuran antara sesal dan ketenangan, antara rasa bersalah dan kepuasan yang lembut. Darah yang pernah ia anggap sebagai noda kini terasa seperti saksi bisu dari cinta yang tulus, dari keberanian untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada seseorang yang benar-benar menghargainya.
Arum menarik napas dalam, menutup matanya sejenak, dan membiarkan rasa itu meresap. Ia sadar, meski kesalahan telah terjadi, itu bukanlah penghancur hati.
Sebuah ketukan pintu membuatnya tersentak. Arum menahan napas sejenak, tangannya masih basah oleh air sabun, tubuhnya membeku di tepi ranjang. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena ia tahu siapa yang mungkin berdiri di balik pintu itu.
“Mas Langit?” Suaranya nyaris berbisik, ragu, namun penuh harap.
Ketukan itu terulang, kali ini lebih lembut, seolah mengikuti ritme hatinya sendiri. Arum menatap pintu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, dan sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia tahu, apapun yang terjadi semalam, Langit tetap ada di sana, dan keberadaan itu memberinya rasa aman yang aneh—sebuah kehangatan yang tak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan hingga ke tulang.
Hatinya bergetar, antara penyesalan dan kerinduan, antara takut dan lega. Arum menurunkan wadah air dan sikatnya, melangkah perlahan ke pintu, dan saat tangannya menyentuh gagang, ia menyadari sesuatu, meski segala kesalahan telah terjadi, cinta itu adalah cinta yang tulus dan murni yang masih ada di antara mereka.
Dengan satu tarikan napas panjang, Arum mendorong pintu, dan cahaya pagi menyelimuti tubuhnya seolah memberi keberanian. Namun, langkahnya terhenti seketika, tubuhnya membeku. Di depannya berdiri seorang wanita cantik, usianya sedikit lebih tua darinya, berpenampilan elegan, dengan aura kepercayaan diri dan ketegasan terpancar kuat dari setiap gerakannya.
Namun Tatapannya menusuk, matanya gelap dan dipenuhi kebencian yang menelusuri Arum dari atas kepala hingga ujung kaki. Sementara itiu, Arum menelan saliva dan setengah tertunduk, sebelum akhirnya ia kembali mengamati wanita asing dihadapannya.
“Oh.” Viona mengangguk pelan, bibirnya melengkung tipis dalam senyum dingin. “Jadi ini… selingkuhan Langit,” Gumamnya dengan nada yang menusuk, penuh rasa sakit dan kemarahan yang tersamar dalam kesan elegan itu.
Arum tersentak, hatinya berdesir. Kata “selingkuhan” itu seperti pisau yang menusuk dada, meski ia tahu bahwa hatinya tak berdusta, bahwa apa yang terjadi dengan Langit bukanlah permainan atau tipu daya.
Viona melangkah maju, mendekat dengan langkah mantap, menimbulkan ketegangan yang hampir dapat dirasakan di udara di antara mereka. Setiap gerakannya presisi, anggun, tapi dipenuhi amarah yang dingin.
“Viona!” Teriak seseorang dari belakang, dan suara itu membuat kedua wanita itu menoleh. Langit berdiri di sana, sorot matanya menatap Arum dengan campuran kekhawatiran dan ketegangan.
Langit melangkah cepat ke beranda rumah Arum, menempatkan dirinya di antara Arum dan Viona. Matanya menatap Viona dengan tajam, namun suaranya tetap tenang, meski mengandung ketegasan yang sulit diabaikan.
“Viona… cukup,” Ucapnya. Nadanya tegas tapi tidak memaki. “Beraninya kamu datang kemari!"
"Berani?" Ulang Viona, menatap lekat ke arah Langit. "Aku ini masih kekasih kam—"
"Kita udah berakhir!" Tandas Langit cepat, "Kamu pergi dari sini sekarang juga!"
Viona melipat kedua lengannya di depan dada, sikapnya tenang namun penuh tantangan. Bibirnya yang tersapukan lipstik nude menyungging tipis, senyum dingin yang menyembunyikan kemarahan dan rasa sakit. Matanya menatap Langit lebih dalam, tajam dan penuh pertanyaan. "Kamu boleh sakit, Langit. Tapi bukan berarti kamu melampiaskan rasa sakit itu dengan cara kamu memilih dia!" Lengannya menunjuk ke arah Arum yang masih terpaku dalam keterkejutannya. "Kamu pilih dia.... yang bahkan kehidupannya jauh dari aku!"
Langit mengangguk dan menatap Viona lebih tajam. "Ya." Balasnya. "Arum jauh... jauh dari kamu. Arum lebih segalanya dari kamu dan satu hal yang gak kamu punya... ketulusan!"
Viona mendesis. "Tulus? Kamu pikir aku gak tulus cinta sama kamu, Langit sampai aku berani datang kesini, itu semua demi memperjuangkan cinta kita!"
"Cinta itu udah mati!" Balas Langit dengan suara yang meninggi, nada tegasnya menggema di teras, memotong udara pagi yang sebelumnya tenang. “Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga!”
Arum yang masih terpaku ditempatnya, tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia tak menyangka bahwa di balik kelembutan dan ketenangan Langit, ada sisi protektifnya yang bisa berubah menjadi amarah begitu tajam. Matanya melebar, menyaksikan rahang Langit menegang, wajahnya menampilkan garis-garis tegas yang menandakan kemarahan yang sulit dibendung.
Tatapannya lurus ke arah Viona begitu menusuk, penuh kebencian dan penegasan—bukan sekadar amarah biasa, tapi perlindungan yang lahir dari rasa cinta dan kepedulian yang mendalam. Viona, yang sebelumnya memancarkan kesombongan dan rasa percaya diri, sejenak terdiam, merasakan intensitas yang menekan dari pria di hadapannya.
Viona menggeleng, tubuhnya kaku seolah membeku. “Aku… gak bisa diginiin!” lirihnya nyaris seperti bisikan, tapi ada penekanan yang tajam dalam setiap kata. Sesaat kemudian, ia menatap Langit sekali terakhir sebelum melangkah pergi, meninggalkan rumah Arum dengan langkah yang berat dan terhentak, seolah setiap langkah meninggalkan sisa amarah dan luka di udara.
Hening kembali menyelimuti rumah itu. Langit berdiri di teras, sorot matanya yang tajam, kosong menatap ke arah tempat Viona baru saja berdiri.
Arum menelan ludah, matanya berkilat menatap Langit. “Ma…mas…” Suaranya lirih, nyaris gemetar, namun penuh harap.
Langit tersadar, hatinya meluluh saat menatap wajah Arum—mata yang bersinar, bibir yang sedikit bergetar, dan aura ketulusan yang tak bisa disembunyikan. Segera, ia melangkah mendekat. Namun, Arum berbalik dan masuk ke dalam rumah
Di saat itu juga, Langit mengejarnya, menutup pintu di belakangnya, menahan jarak dengan hati-hati namun tegas. “Aku… aku bisa jelasin semuanya,” Ucapnya, suaranya dalam dan mantap.
Arum membelakangi Langit, tubuhnya sedikit menegang, bahunya lurus tapi ada gemetar halus.
Di balik punggung Arum yang kecil tapi tegar itu, ia bisa merasakan jarak yang tercipta, bukan karena Arum ingin menjauh dari dirinya secara fisik, tapi karena hatinya mengerti bahwa ada ketakutan yang lebih besar dari rasa kecewa—kehilangan.
"Kamu bilang... hati kamu gak ada yang mengisi, selain aku." Ucap Arum, memecah keheningan di antara mereka. Suaranya gemetar menahan isak tangis yang ingin saja lepas. "Tapi wanita itu datang... dan bilang kalau aku ini selingkuhan kamu."
Hening.
Tak ada suara selain detak jarum jam di antara mereka. Sedetik... dua detik, tiga detik...
Langit melangkah lebih dekat ke arah Arum. Lebih dekat, bahkan kini ia bisa mencium aroma tubuh Arum yang hangat dan segar oleh campuran parfum bunga yang lembut dan menenangkan.
Di saat yang sama, ruas-ruas jemari kokoh Langit perlahan menyentuh bahu Arum, sentuhan yang ringan tapi penuh kepastian.
Tubuh Arum menegang seketika, napasnya tercekat, namun ada kehangatan yang merayap di kulitnya, ia menutup mata sejenak, rasanya menenangkan sekaligus mengguncang hatinya.
"Kamu salah paham, sayang." Bisik Langit di telinga Arum. "Ya. aku memang pernah memiliki perasaan itu pada Viona, dia memang wanita spesial dalam hidup aku..."
Arum menelan saliva, mencoba mengecap kalimat kejujuran itu dari bibir Langit.
"... dan, itu dulu." Lanjut Langit. "Dulu, sebelum pada akhirnya aku pulih dan kembali sembuh dari rasa sakit atas pengkhianatan yang telah ia lakukan padaku. Dan selanjutnya aku sadar, bahwa dia... bukanlah seseorang yang layak untuk aku perjuangkan lagi, meski berkali-kali ia memohon padaku untuk kembali. Tapi aku tak ingin."
Arum menahan napas, tubuhnya kaku namun jantungnya berdetak tak terkendali saat merasakan sentuhan Langit semakin dalam. Ruas-ruas jemari kokoh yang semula hanya merengkuh bahunya kini melingkari tubuhnya dengan lembut dan penuh kepastian.
"Bukan karena tak lagi percaya atas kebohongan dan pengkhianatan, tapi ada hati yang sekarang harus aku jaga..." Lanjut Langit. Nadanya lirih, namun penuh penekanan. "... hati yang tumbuh dari ketulusan itu sendiri. Bahkan, lebih berharga dan sangat menyesal jika aku kehilangannya. Yaitu, kamu... Arum."
Arum menahan napas sejenak, tubuhnya gemetar. Kata-kata itu, begitu tulus, begitu dalam, menembus segala ketakutan, keraguan, dan penyesalan yang selama ini ia rasakan. Air matanya mulai menitik perlahan di pipinya, hangat, membasahi kulitnya.
Arum kemudian menoleh dan berbalik. matanya bertemu dengan mata Langit, dan dalam tatapan itu, Arum melihat seluruh kejujuran dan cinta yang selama ini ia rasakan tapi tak sepenuhnya diungkapkan.
Tangisnya kemudian pecah, namun bukan tangis kesedihan, melainkan campuran antara lega, haru, dan kebahagiaan yang begitu murni.
Kemudian Langit menundukkan kepalanya sedikit, jemarinya yang kokoh kini bergerak perlahan, mengusap lembut air mata yang menetes di pipi Arum. Sentuhannya ringan, penuh perhatian, seakan tak ingin menyakiti sedikit pun, namun cukup untuk membuat Arum merasa aman.
Dan dengan gerakan yang penuh kelembutan, Langit menarik Arum ke dalam pelukan. Tubuhnya membungkus Arum sepenuhnya, menahan dan menenangkan setiap getaran emosi yang masih tersisa. Pelukan itu bukan sekadar sentuhan fisik yang hangat, melainkan itu adalah jaminan, perlindungan, dan pengakuan cinta yang begitu tulus.
****