Aksa bertemu dengan seorang gadis pemilik toko kue yang perlahan memikat perhatiannya. Namun ketertarikan itu bukanlah karena sosok gadis tersebut sepenuhnya, melainkan karena wajahnya yang sangat mirip dengan mendiang sang istri.
Terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, Aksa mulai mendekatinya dengan berbagai cara — bahkan tak segan mengambil jalan licik — demi menjadikan gadis itu miliknya. Obsesi yang awalnya lahir dari kerinduan perlahan berubah menjadi hasrat posesif yang menguasai akal sehatnya.
Tanpa disadari, sang gadis pun terseret semakin dalam ke dalam cengkeraman pria dominan itu, masuk ke sebuah lembah gelap yang dipenuhi keinginan, manipulasi, dan ilusi cinta.
akankah Aksa bisa mencintai gadis itu sepenuhnya? apakah gadis itu mampu membuat Aksa jatuh cinta pada dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LebahMaduManis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Ada agenda saya hari ini?" tanya Aksa sambil merapikan lengan kemejanya.
"Ti-tidak ada, Pak. Semua agenda hari ini sudah terselesaikan," jawab Rio, asistennya, dengan nada sedikit canggung.
"Oke kalau begitu, saya bisa pulang lebih awal."
Rajendra Aksa Dinata, pria berusia 38 tahun—pemilik maskapai penerbangan komersial PT Samudra Air—berdiri dari kursinya. Perusahaan itu memang belum lama berdiri, namun pengalaman Aksa dalam dunia aviasi sudah tak diragukan lagi. Sejak kecil ia melihat ayahnya mengelola salah satu maskapai terbesar di negeri ini. Bukannya meneruskan kerajaan sang ayah, Aksa justru memilih membangun perusahaannya sendiri.
Penampilannya selalu mencuri perhatian: tubuh tinggi tegap, wajah matang berkarisma, kemeja biru yang membingkai dadanya dengan pas, serta jam tangan Rolex emas yang berkilau di pergelangan tangan. Aura old money yang tenang namun mendominasi benar-benar memancar dari dirinya.
Ia mengenakan jas yang tadi digantung di kursi kerja, lalu melangkah keluar ruangan. Rio berjalan di sisinya, menjaga ritme langkah agar tetap seiring.
"Pak, dari kantor kita langsung pulang atau mau mampir dulu ke tempat lain?" tanya Rio sopan.
Langkah Aksa tiba-tiba melambat. Matanya menangkap barisan calon karyawan baru yang duduk rapi menunggu giliran wawancara. Ia menelisik satu per satu, sampai pandangannya berhenti pada seorang gadis berperawakan mungil dengan rambut panjang terikat pita coklat. Wajahnya lembut, duduk tenang, dan tampak begitu anggun.
Tanpa sepatah kata pun, Aksa berbalik arah. Rio sampai nyaris tersandung mengikuti perubahan langkah mendadak itu.
Alih-alih menuju pintu keluar, Aksa justru masuk ke ruang wawancara. Para staf recruitment yang bertugas sontak berdiri kaget—jarang, bahkan hampir tak pernah, pimpinan mereka ikut masuk dalam proses seleksi karyawan.
Tanpa mengetuk, Aksa memasuki ruangan dengan dada tegap, lalu duduk sambil menyilangkan tangan di bawah dada. Suasana langsung berubah hening. Beberapa staf berbisik-bisik, antara bingung dan panik.
"S—selamat siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu? Atau… ada kandidat titipan yang harus langsung kami loloskan?" tanya salah satu staf, setengah berusaha menebak maksud kedatangannya.
Aksa menggeleng santai. "Tidak. Agenda saya hari ini sudah selesai, jadi saya hanya ingin melihat seperti apa para calon karyawan meyakinkan perusahaan untuk menerima mereka." Nada suaranya datar, tak memberi ruang tanya.
Saat tiba giliran gadis mungil yang sedari tadi memikat perhatiannya, sorot mata Aksa langsung berubah. Ia menatap tanpa berpaling, memperhatikan cara gadis itu duduk, berbicara, dan menjawab setiap pertanyaan. Ada sesuatu pada cara gadis itu membawa diri—tenang, elegan, tapi tidak berlebihan.
Begitu sesi wawancara gadis itu selesai, Aksa langsung berdiri. Tanpa pamit, tanpa menunggu reaksi, ia keluar dari ruangan. Tipikal dirinya—dingin, to the point, dan tak pernah merasa perlu menjelaskan apa pun selama ia tidak merugikan siapa pun.
Di lobi, Rio terlihat mondar-mandir dengan wajah panik, jelas tengah mencari keberadaan atasannya. Melihat itu, Aksa mengangkat tangan—sebuah isyarat sederhana bahwa dirinya ada di sana.
Rio segera berlari kecil mendekat. Dengan tubuh tinggi menjulang seperti titan, ia tak sulit ditemukan, tapi kali ini ia kelihatan benar-benar khawatir.
"Maaf, Pak," ucap Rio terburu-buru. "Saya kehilangan jejak Bapak tadi. Saya terlalu fokus pada ponsel."
Aksa hanya tersenyum tipis. "No problem. Sudah, jangan dipikirkan."
"Baik, Pak. Saya ambilkan mobilnya dulu."
Rio pun bergegas.
...***...
...Jangan lupa tinggalkan LIKE AND COMMENT yaa Readers.....
...Juga bantu koreksi...