NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Leonardo

    Suasana ruang kerja pribadi itu begitu tenang, berbanding terbalik dengan kerasnya ruangan rapat yang baru saja ditinggalkan. Aroma kayu jati dari meja besar dan wangi samar kopi yang masih tersisa membuat atmosfer ruangan lebih nyaman. Di kursi hitam berbahan kulit premium, Leonardo bersandar sambil melonggarkan dasi hitamnya. Sorot matanya yang tajam masih menyimpan sisa-sisa amarah dari meeting barusan.

    Leonardo menghela napas pelan, menatap layar laptop di hadapannya yang dipenuhi angka-angka grafik penjualan. Tangannya mengetik cepat, merapikan data yang kacau karena keteledoran bawahannya. Sesekali jemarinya berhenti, hanya untuk memijat pelipis yang terasa berat. Di usianya yang sudah menginjak 30 tahun, Leonardo benar-benar mendedikasikan seluruh hidupnya untuk bisnis. Dunia luar baginya hanyalah latar samar yang tidak penting.

    Ketukan halus terdengar dari pintu.

    “Masuk,” ucapnya singkat dengan suara dalam dan berwibawa.

    Pintu terbuka, Adrian—asisten pribadinya—muncul dengan senyum ringan. Berbeda dengan sang CEO yang dingin dan kaku, Adrian lebih cair, kadang jenaka, dan itulah yang membuat suasana tidak terlalu menyesakkan.

    “Tuan, saya akan memanggil sekretaris untuk membawa laporan hari ini. Oh iya… sekalian saya pesan kopi juga, biar mata nggak merem pas lihat angka-angka itu,” ucap Adrian sambil terkekeh kecil.

    Leonardo hanya menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. “Cepat.”

    Adrian mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”

    Ia lalu berbalik, melangkah keluar ruangan dengan langkah santai. Di koridor, beberapa karyawan menyapanya. Adrian selalu membalas dengan senyum ramah, bahkan sesekali melontarkan candaan kecil yang membuat beberapa staf perempuan terkekeh. Tidak heran jika Adrian lebih disukai di lingkungan kantor, meski tetap saja semua orang tahu: bayangan Leonardo selalu lebih besar dari siapa pun di perusahaan ini.

    Sementara itu, di dalam ruangan, Leonardo meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Layar menyala, sebuah notifikasi pesan muncul di atas. Ia membuka, matanya langsung membaca rangkaian kalimat panjang.

    “Aku akan pulang dua hari lagi. Hari ini aku mau puas-puasin belanja dulu. Jangan lupa siapin mobil jemput aku, jangan sampai aku nunggu. Kau tahu aku paling benci menunggu, kan?”

Pesan itu ditutup dengan emoji senyum angkuh yang membuat Leonardo menatap lama layar ponselnya.

Lelaki itu tidak membalas. Bahkan, ekspresi wajahnya tetap tak berubah, hanya sorot matanya yang sedikit meredup, seakan ada sesuatu yang ditahannya. Dengan gerakan sedikit kasar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja hingga menimbulkan suara thuk pelan.

Kepalanya menengadah, menatap langit-langit ruangan yang tinggi. Ada rasa jengah yang sulit dijelaskan. Tidak marah, tidak juga senang. Lebih kepada beban yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja.

Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Adrian masuk sambil membawa map tebal dan secangkir kopi hangat. Di belakangnya, seorang wanita dengan pakaian formal dan kacamata tipis melangkah pelan. Dia adalah sekretaris kantor—tertib, rapi, dan terlihat gugup setiap kali harus berhadapan langsung dengan CEO.

“Laporan hari ini, Tuan,” ucapnya dengan suara hati-hati sambil menyerahkan map.

Leonardo menerima tanpa berkata apa-apa. Ia membuka lembar demi lembar, bola matanya bergerak cepat meneliti setiap detail. Di meja samping, Adrian menaruh kopi, lalu berdiri dengan sikap tenang, meski matanya sempat melirik wajah bosnya.

Keheningan kembali menguasai ruangan, hanya terdengar suara kertas dibalik dan detik jam yang berdetak monoton. Sekretaris itu berdiri kikuk, menunggu instruksi lebih lanjut.

Leonardo menutup map dengan tegas. “Ada revisi di bagian ini. Angka tidak sinkron dengan laporan awal. Pastikan ini diperbaiki sebelum sore.”

“Ba… baik, Tuan,” jawab sekretaris itu cepat, lalu menunduk dalam sebelum melangkah mundur keluar ruangan.

Kini tinggal Adrian dan Leonardo. Adrian memberanikan diri membuka suara. “Tuan, saya boleh jujur?”

Leonardo menoleh dengan tatapan datar. “Apa?”

“Saya rasa… kalau Tuan terus menekan semua orang seperti ini, staf kita bisa kelelahan. Tadi di rapat, beberapa kepala divisi bahkan terlihat hampir mau pingsan.” Adrian mencoba tersenyum, meski tahu kata-katanya berisiko.

Leonardo hanya menatapnya lama. “Mereka dibayar mahal, Adrian. Jika mereka tidak bisa menanggung beban, maka mereka tidak layak berada di sini.”

Jawaban itu tegas, dingin, dan membuat suasana kembali membeku. Adrian hanya mengangkat bahu kecil, lalu memilih menyeruput kopi agar tidak semakin canggung.

Namun, di balik ketegasan dan aura gelapnya, Leonardo menyembunyikan sesuatu. Bukan sekadar ambisi seorang pengusaha, tapi juga kerumitan hidup pribadi yang tidak diketahui siapa pun, bahkan oleh asisten terdekatnya. Pesan tadi hanyalah satu potongan kecil dari puzzle besar kehidupannya—sebuah rahasia yang perlahan akan menyeret banyak orang di sekitarnya, termasuk Adrian  yang hanya menjalankan tugas.

Leonardo meneguk kopi yang disuguhkan. Pahit. Sama pahitnya dengan kenyataan yang selama ini ia jalani. Dan seperti biasa, ia memilih diam—menenggelamkan perasaannya di balik dinding dingin bernama pekerjaan.

Mobil mewah hitam itu melaju perlahan memasuki halaman kediaman keluarga Wirjawan. Gerbang setinggi lima meter dengan ukiran besi klasik bergaya Eropa dibuka oleh dua pengawal berseragam hitam rapi. Dengan wajah dingin dan sorot mata yang sulit ditebak, Leonardo Warjawan turun dari mobil. Langkah kakinya mantap, jas hitam masih melekat sempurna meski seharian penuh tubuhnya bergelut dengan pekerjaan.

Rumah megah itu menjulang dengan kemewahan bak istana Eropa klasik. Pilar-pilar tinggi menopang fasad bangunan, jendela-jendela kaca besar berbingkai emas tampak berkilau diterpa cahaya lampu taman. Setiap sudut halaman dipenuhi tanaman hias mahal yang dirawat dengan telaten. Pantas saja, banyak orang menjuluki kediaman itu sebagai The Warjawan Palace.

Para pelayan segera berbaris menyambut tuannya. “Selamat malam, Tuan Muda Leonardo,” ucap mereka hampir serentak, menundukkan kepala penuh hormat. Namun, lelaki itu hanya mengangguk tipis tanpa sepatah kata pun, seakan sapaan itu hanya angin lalu.

Tangga besar melingkar dari marmer putih menuntun langkahnya ke lantai tiga—lantai pribadi yang hanya boleh dimasuki oleh Leonardo dan beberapa orang kepercayaannya. Rumah ini terdiri dari tiga lantai:

Lantai pertama berisi dapur utama yang luas, ruang makan berkapasitas puluhan orang, gudang anggur eksklusif, serta deretan kamar sederhana milik para pelayan. Sebanyak 25 pekerja tinggal di sana: dari kepala pelayan, koki, pramusaji, hingga penjaga kebun.

Lantai kedua dipenuhi kamar tamu berdesain elegan, ruang karaoke berteknologi tinggi, dan beberapa ruang hiburan lain yang biasa digunakan saat keluarga besar Wirjawan berkumpul.

Lantai ketiga adalah lantai paling istimewa. Di sinilah ruang kerja pribadi Leonardo berdiri dengan dinding kaca besar yang memperlihatkan panorama kota malam. Ada ruang santai lengkap dengan perapian modern, sebuah ruang gym dengan peralatan premium, serta dua kamar tidur mewah yang hanya digunakan untuk Leonardo dan tamu kehormatan.

Arsena, kepala pelayan, sudah menunduk sopan menyambut. “Tuan, saya sudah menyiapkan makanan malam Anda. Apakah ingin saya antarkan ke kamar atau ke ruang kerja?”

Leonardo melepaskan jas hitamnya, menyerahkannya begitu saja kepada Arsen tanpa menatapnya. “Ke ruang kerja. Aku tak punya waktu untuk duduk tenang.”

Arsena hanya mengangguk, lalu melangkah cepat memberi perintah kepada pelayan lain. Tak lama kemudian, seorang pramusaji membawa nampan perak berisi sepiring steak wagyu, sup krim jamur, dan segelas anggur merah ke lantai 3.

Namun, Leonardo hanya menyentuh anggur itu. Makan malam sering baginya hanyalah formalitas. Ia lebih kenyang dengan laporan-laporan kerja yang terus menumpuk.

Di meja kerjanya, cahaya lampu gantung kristal menerangi ruangan yang dipenuhi rak buku, lukisan klasik, serta meja kayu jati besar. Leonardo membuka laptopnya, menatap grafik keuangan yang terus bergerak. Baginya, angka lebih menarik daripada manusia.

Malam semakin larut, namun di lantai tiga kediaman Wirjawan, lampu ruang kerja tetap menyala terang. Di sana, Leonardo Warjawan duduk tegak, tenggelam dalam pekerjaannya. Aura dingin, wibawa, dan keanggunan kekuasaan tetap menyelimuti dirinya, seolah ia adalah raja yang sedang menjaga takhta.

1
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!