Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01 Suasana KUA
Suasana KUA pagi itu begitu khidmat. Cahaya matahari menembus jendela kaca patri, menebar semburat lembut di ruangan yang dipenuhi keluarga dan sahabat dekat.
...Pernikahan Inara Nuha dan Rui Naru....
❤ Keluarga Inara Nuha (21 tahun) : Ibu (Inaya Putri), Ayah (alm. Mahesa Sadewa), Kakak laki-laki (Naraya Muha), Kakak ipar (Maharani) dan keponakan berusia 8 bulan (Naraya Hana Maharani).
🧡 Keluarga Rui Naru (25 tahun) : Bunda (Rui Maya), ayah (Hartono Rudi), adik perempuan (Rui Dina).
💙 Sahabat Nuha : Nana Isfani, Sifa Zifara dan Asa Tantri. Sebut saja, 'The BestFANS Forever'
Di depan meja sederhana, Naraya Muha duduk dengan wajah tegas penuh haru. Ia menjadi wali nikah bagi adik perempuannya, Inara Nuha binti Mahesa Sadewa.
Dulu, Muha pernah meminta adiknya segera menyuruh pacarnya pulang dari Jakarta untuk menikahinya. Sebagai seorang kakak, hatinya selalu diliputi rasa khawatir, sebab Nuha selalu bekerja keras mencari uang selama tiga tahun sambil menabung untuk kuliah. Ia sempat bertekad, jika Naru berkhianat dan tak kunjung kembali, ia akan mencarikan jodoh lain untuk adiknya.
Hingga akhirnya Naru pulang, tepat di pesta pernikahan Asa dan Yuki Akasia. Di sanalah ia melamar Nuha. Tapi apakah cinta selalu berjalan mulus? Nuha sempat tak percaya pada kehadiran pria yang membuatnya merindu sekaligus terluka. Pertengkaran pun pecah, mengungkit nama Naomi sebagai bayang-bayang kelam yang pernah mengganggu hubungan mereka.
Satu minggu kemudian, Naru datang lagi ke rumah Nuha, kali ini bersama keluarganya. Dengan kerendahan hati, ia melamar gadis pujaan hatinya secara resmi. Di hadapan keluarga, Naru berjanji. Akan memperbaiki segalanya, menutup luka lama, dan menjaga Nuha agar tidak lagi terjerat trauma masa lalu.
Inilah jawabannya.
Rui Naru merapatkan duduknya, mengulurkan tangan untuk berjabat. Suasana hening, semua menahan napas. Dengan suara penuh keyakinan, Naru mengucapkan, “Saya terima nikahnya Inara Nuha binti Mahesa Sadewa dengan maskawin tersebut, dibayar tunai.”
“Sah!"
"SAAHH!”
Bibir Nuha tersenyum merekah, matanya berbinar penuh cahaya. Senyum yang bukan lagi senyum gadis introvert yang malu-malu, melainkan senyum seorang perempuan yang akhirnya menemukan ketenangan hati.
Naru menunduk sejenak, bahagia mengangkat wajahnya dengan raut lega. Dadanya terasa lapang, seakan seluruh perjalanan panjang yang penuh rintangan akhirnya bermuara pada rumah yang selama ini ia cari.
Nuha menerima pernikahan ini karena ia menagih janji Naru. Janji bahwa lelaki itu akan menjaganya seumur hidup dan memperbaiki semua yang pernah hancur. Naru bahkan bersumpah, sekalipun Nuha menanamkan rasa benci kepadanya akibat luka dari tiga tahun perpisahan mereka, cintanya tak akan pernah goyah.
Pada akhirnya, apakah cinta sejati memang diuji bukan oleh jarak, melainkan oleh keteguhan hati untuk tetap bertahan?
Dari kejauhan...
Kebahagiaan dan kehangatan itu terlihat jelas dari pintu KUA yang terbuka lebar. Namun, di balik suasana sakral itu, berdirilah seorang wanita ditemani pria berkacamata berseragam dokter. Wanita itu pernah berharap hidup bisa sederhana tanpa rasa sepi yang mencekik, kini perutnya jelas terlihat malah kian membuncit.
"Yaa... setidaknya aku turut bahagia atas pernikahan mereka," ucapnya datar, tanpa ekspresi.
“Kamu yakin itu, Naomi?” tanya pria di sebelahnya, suaranya tenang tapi waspada. Tangannya merapikan blazer cokelat muda yang menjuntai di bahu wanita elegan itu tanpa perlu banyak usaha.
“Bercandyaaaa~ Hahaha... Hahaha... Ahahaha...” Tangan kirinya meremas perut buncitnya, sementara tangan kanannya menepuk jidat menahan tawa gilanya.
Rok knit krem selututnya membalut rapi. Kaos putih ketat menonjolkan siluet dada dan garis perut yang sengaja dipamerkan. Bukti nyata dari rahasia yang selama ini ia gembar-gemborkan.
Saat remaja, Naomi datang ke Indonesia dengan harapan menemukan secercah cahaya baru di keluarga sahabat ibunya setelah bisnis orangtuanya di Jepang bangkrut. Ayahnya masuk penjara dan Ibunya terus saja bersedih hati.
Sebagai anak tunggal yang selama ini selalu dimanja, dipenuhi apapun keinginannya, tiba-tiba harus jatuh ke dunia yang asing, tanpa pegangan.
“Naomi," ucap pria itu dengan hati-hati. "Mentalmu belum cukup stabil. Aku khawatir ini akan mempengaruhi janin di kandunganmu, nanti.”
Naomi merapikan rambut gelombangnya, “Kamu nggak usah cemas, Dok-ter Dilan.” Begitu ia menyebut psikiaternya, dengan nada mengejek.
“Aku ini wanita kuat. Walaupun empat bulan aku mendekam di rumah sakit jiwa, aku masih bisa mempertahankan kandunganku.” Ia berdecak, lalu mencibir. “Naru baj*ngan! Susah sekali diseret ke tanggung jawab. Padahal jelas-jelas anak ini darah dagingnya. Pertengkaran dengannya hampir membuatku kehilangan kewarasan!”
Lalu menyeringai penuh tipu daya, “Kalau aku nggak bisa dapetin tanggung jawabnya, aku akan membalasnya… lewat istrinya.”
Naomi tak butuh waktu lama untuk mengenali siapa Nuha. Hanya enam bulan di sekolah yang sama, ia sudah bisa membaca pola gadis itu.
Nuha dikenal sebagai sosok introvert yang pendiam, tapi bukan berarti menutup diri dari pertemanan. Ia masih tersenyum, masih mau diajak bicara, dan sesekali ikut tertawa. Gadis itu seperti kabut pagi, hadir, tapi sulit digenggam.
Semua orang tahu, Nuha jarang sekali terlibat konflik. Ia pandai menjaga diri, pandai menghindar sebelum badai datang. Tapi satu hal yang selalu menjadi celahnya, ia sangat takut dituduh.
Bagi Nuha, tuduhan adalah racun yang bisa merusak seluruh citra yang ia bangun dengan hati-hati. Ia bisa menahan sakit karena dibully, bisa diam saat dijatuhkan, karena ia sudah terbiasa menelan masalahnya sendiri.
Tapi ketika Naomi mulai menuduhnya sebagai perebut tunangan orang di depan banyak orang, di situlah seluruh dinding pertahanannya akhirnya runtuh.
Naomi makin larut dalam kegilaannya. Ia mencondongkan wajahnya dekat ke wajah Dilan, “Hei, Dilan…” bisiknya penuh godaan. “Gimana ya reaksi Nuha kalau aku kasih tahu dia… bahwa Naru menghamili aku, dan bayi ini--” Tangis palsu bercampur tawa seram menyusup dari bibirnya. “…adalah buah dari perbuatannya.”
Lalu ia berjalan menghindar. Sepasang sepatu sneakers putih membuat langkahnya ringan, kontras dengan citra 'ibu hamil' yang biasanya terlihat rapuh. Senyum samar penuh sindiran tersungging di bibir. Di tangan, ia menenteng clutch bermotif ular. Aksesoris yang menegaskan bahwa karakternya berbahaya namun tetap memesona.
"Aku… semakin membencinya. Akan kulampiaskan semua amarahku padanya. Karena bagiku, dia simbol dari semua yang direnggut dariku. Cinta, keluarga, harga diri. Semuanya.”
Naomi merebahkan tubuhnya di kursi penumpang depan, melepaskan kacamata dan memijit pelipis. Mobil hitam mereka melaju pelan di jalan. Aroma parfum mewah sedikit mengganggu indra penciumannya.
Tangannya membelai perut pelan, ucapannya semakin manja. “Aku nggak bisa terima. Aku… Harus bisa merundung Nuha berkali-kali. Karena aku yakin, dia merebut sesuatu yang seharusnya jadi milikku. Dan semua jadi semakin buruk saat perjodohanku dengan Naru batal karena keluargaku sudah jatuh miskin. Aku bukan lagi Naomi yang layak disandingkan dengannya. Aku sangat lemah, Dilan.” suaranya sengaja dibuat melankolis.
“Kamu tau… aku kadang takut. Bayi ini… aku sayang, tapi sekaligus jadi senjata. Aku nggak tau apakah aku ibu yang baik atau hanya wanita gila yang terjebak dengan masa laluku.”
Genggaman Naomi di lengannya terasa erat, seolah jika ia melepaskan, wanita itu akan runtuh. “Naomi…” Dilan menarik napas dalam. “Aku ini dokter. Tugasku menyembuhkanmu, bukan ikut terseret dalam dendam atau rencanamu.”
“Tapi kamu laki-laki yang nggak punya hati yang keras kan? Aku bisa lihat… kamu kasihan sama aku. Kamu peduli sama aku.”
Dilan menelan ludah. Ucapan itu benar, ada sisi dirinya yang memang peduli. Tiga bulan mendampingi Naomi di rumah sakit jiwa membuatnya melihat sisi rapuh sekaligus sisi kelam yang bercampur menjadi satu.
“Aku peduli… justru karena itu aku khawatir,” gumamnya pelan.
Naomi terkekeh, “Khawatir sama aku, atau sama Nuha? Hm?” suaranya bernada menggoda, tapi matanya tajam menusuk.
Dilan meremas setir lebih kuat. Ia tidak menjawab. Hatinya diliputi dilema. Di satu sisi, ia ingin menolong Naomi agar tetap stabil demi kandungannya. Di sisi lain, ancaman yang terlontar barusan membuatnya cemas pada keselamatan Nuha. Gadis yang pernah mengisi hatinya.
.
.
.
. Deg! ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊