Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Kekesalan Nala
Dana tidak menjawab pertanyaan Nala, ia hanya menatap Nala dengan sedikit kesal. Gagalnya Raina main flying fox gara-gara dompet Dana dikasihkan pada Nala, membuat Dana terbawa kesal pada istrinya itu. Padahal dia sendiri yang memberikan tanpa paksaan.
"Sayang, mana dompetnya?" pinta Dana menadahkan tangan. Nala meraih dompet suaminya dari tas sampir lalu diberikan pada suaminya.
"Tadi aku jajan bakso, gado-gado, es campur sama es boba," lapor Nala mengabsen satu per satu jajanannya sembari merangkul tangan Dana.
"Hemmm.."
Dana hanya menjawab hem saja laporan Nala barusan. Perasaan kesalnya pada Nala bertambah lagi, mengingat sepanjang jalan, Raina ngomel terus karena ingin main flying fox dan perosotan air. Berhubung dompetnya dipegang Nala, akhirnya Raina tidak bisa menaiki kedua mainan itu, karena Dana tidak pegang uang lagi untuk beli tiket selain hanya di dompet.
Imbasnya Dana bersikap dingin pada Nala. Karena ia tidak bisa memenuhi permintaan sang putri. Padahal ini baginya momen yang akan sangat jarang terjadi dalam hidupnya, mengingat Devana begitu membatasi pertemuan dirinya dengan putri semata wayangnya itu. Namun, Nala belum sadar kalau Dana sedang kesal padanya.
"Gara-gara Papa nggak bawa dompet, aku jadi tidak bisa main flying fox dan perosotan air," omel Raina sambil manyun tanda kesal. Lagi-lagi Raina mengungkit kegagalannya menaiki flying fox dan perosotan air gara-gara Dana tidak bawa dompet.
Nala menoleh ke arah Raina yang sedang merajuk. Sontak saja Nala merasa bersalah. "*Ya ampun, pantas saja Mas Dana tadi terlihat beda dan jutek. Rupanya itu karena Raina gagal menaiki wahana flying fox sama perosotan air, lantaran Mas Dana tidak bawa dompet*?" batin Nala.
"Mas, tinggal ajak saja Raina main kembali. Mas Dana bawa lagi ke sana, aku juga pengen main flying fox. Masih banyak waktu, ini masih siang kok," usul Nala berusaha mengerti perasaan Raina yang kecewa. Alih-alih senang, Raina justru tambah merajuk.
"Tidak mauuu. Aku maunya tadi. Ini semua gara-gara Papa," tuduhnya sembari terisak.
Nala merasa tidak enak melihat Raina menangis, meskipun menyebut papanya yang salah, tapi ucapannya seakan ditujukan padanya. Nala menghampiri Raina dan berusaha meraih bahu anak sambungnya itu. Membujuknya.
Sedangkan Devana justru duduk di bangku taman dengan mata yang berdilak-dilak, dia ikut kesal pada Nala. Gara-gara dia membawa dompetnya Dana, Raina tidak bisa menaiki flying fox serta perosotan air.
"Raina, kamu mau main flying fox, kan? Tante juga suka main flying fox, ayo biar tante temenin," ajaknya berusaha membujuk Raina. Namun Raina menepis tangan Nala, dia menolak ajakannya.
"Nggak mau, aku maunya tadi. Sekarang aku cape," keluhnya sembari meraih tangan Dana dan memegangnya.
"Ya, sudah, Mas. Sebaiknya kita makan saja, Raina itu sudah cape dari tadi jalan kaki dari wahana ujung sana sampai kembali ke wahana ini. Aku juga sudah lapar dan haus," sela Devana sembari berdiri.
Nala menoleh ke arah Devana sekilas, hatinya mulai mendidih dengan sikap Devana yang sok dekat dengan suaminya, sama sekali tidak jaga image bahwa di sisi Dana ada Nala, istrinya.
"Raina lapar dan haus, kan? Ayo, sebaiknya kita makan saja. Raina mau makan apa, Sayang?" ujarnya penuh kelembutan dan penuh perhatian. Nala tidak masalah untuk perhatian Dana pada Raina, mungkin memang cara lemah-lembut seperti itu yang bisa membujuk Raina.
"Aku mau makan bakso," tunjuknya. Dana tidak menunggu, ia langsung berjalan menuju stand bakso seraya menuntun tangan Raina. Sementara Nala, mengikuti Dana di sampingnya.
Mereka berempat, kini sudah duduk dalam satu meja. "Kamu mau pesan lagi, tidak?" tanya Dana pada Nala. Nala menggeleng karena ia masih kenyang. "Kamu, pesan bakso juga?" Kini mata Dana tertuju pada Devana.
"Aku tidak akan pesan bakso, aku hanya ingin makan nasi soto saja," jelas Devana seraya berdiri dan beranjak menuju stand penjual soto. Dana mengangguk lalu berdiri menuju stand penjual bakso, dan memesan bakso untuknya dan Raina.
Setelah pesanan mereka bertiga siap, mereka menikmati pesanannya sesekali berceloteh layaknya keluarga bahagia. Sementara Nala merasa dirinya bagai orang lain yang ikut duduk di tengah-tengah mereka.
Belum kenyang bakso, Raina, Dana, juga Devana, membeli makanan lain, sementara Nala masih saja menolak, karena ia memang masih kenyang. Yang dia mau saat ini hanyalah es potong. Tapi belum ada kesempatan untuk meminta Dana membelikan es potong untuknya, sebab Dana masih sibuk mengurus Raina.
"Kamu sudah kenyang, Sayang?" Dana bertanya pada Raina. Raina mengangguk.
Karena Raina sudah tidak ada permintaan lagi, maka Dana memutuskan untuk mengajak pulang.
"Mas, tunggu. Aku ingin makan es potong itu. Tolong belikan, dong," pinta Nala menahan langkah kaki Dana, sembari menunjuk gerobak pedagang es potong.
Dana menatap Nala, lalu mengangkat bibir bawahnya menandakan ia enggan untuk pergi lagi menuju tukang es potong.
"Kamu saja yang beli, aku tunggu di parkiran," ujar Dana seraya memberikan uang biru satu lembar.
Nala tidak menerima uang itu, wajahnya ditekuk lalu berjalan mendahului Dana menuju parkiran.
Dana melongo menatap kepergian Nala. Sedangkan Devana terlihat mencibir melihat sikap Nala yang merajuk. "Istri kamu itu macam anak kecil, dia merajuk persis Raina. Raina masih mending karena dia masih anak-anak," cibir Devana seraya menjentik-jentikkan bibirnya.
Dana menjadi pusing kepala melihat Nala yang pergi karena merajuk, juga mendengar Devana memanas-manasinya. Sebetulnya dia bukan tidak mau membelikan Nala, berhubung Raina sudah menarik-narik tangannya, Dana akhirnya menyuruh Nala yang membeli sendiri es potong itu. Namun di luar dugaan, Nala justru menolak beli sendiri.
Nala membuka pintu mobil dan duduk di jok depan. Sepanjang perjalanan, Nala sama sekali tidak bicara, ia kesal pada Dana juga Devana yang sesekali sengaja memancing dirinya agar marah atau tersinggung.
Tiba di rumah, Nala langsung menuju kamarnya dan membanting tubuhnya di atas kasur seraya menangis. Ia merasa sedih dengan perlakuan Dana yang tidak mau membelikannya es potong, padahal ia tadi ingin banget makan es potong di tempat rekreasi. Sedangkan Devana dan Raina ditawarinya terus, mau ini dan mau itu. Gilirannya ingin, justru Dana tidak mau membelikannya.
Dana menyusul Nala ke kamar, lalu mengunci pintu kamar. Perlahan Dana meraih bahu sang istri yang menangis sesenggukan seperti mendapat sakit hati yang luar biasa, padahal hanya karena es potong yang tidak dibelikan Dana.
"Sayang, aku minta maaf. Tadi, aku sudah terlanjur lelah. Aku pikir kamu tidak akan meminta apa-apa lagi setelah beberapa kali aku tawari jajan," bujuk Dana sembari terus mengusap bahu Nala.
Nala bangkit, lalu menghadapkan tubuhnya pada Dana. "Mas Dana itu pilih kasih sama aku. Giliran mantan istrinya mau ini mau itu, langsung dibelikan. Tapi, kenapa saat giliran aku mau es potong, Mas Dana tidak mau membelikan?" ungkap Nala sembari terisak.
"Aku minta maaf, Sayang. Tadi itu aku sudah lelah dan pening kepala karena Raina yang rewel imbas dari gagal naik flying fox." Dana menjawab berharap Nala mau mengerti.
Wajah Nala melengos marah. "Mas Dana ini terlalu takut dengan Raina, apa salahnya...."
Belum selesai bicara, tiba-tiba suara Raina sudah berteriak memanggil dari luar kamar.
"Papa, Papaaa, Raina ngantuk. Raina pengen dikelonin sama Papa. Buka pintunya, Pa." Raina tiba-tiba mengetuk pintu dan minta dikelon. Nala menatap Dana dengan kesal.
"Sayang, aku kelonin dulu Raina, ya. Masalah tadi, aku minta maaf."
Nala tidak menjawab, ia memalingkan muka dari Dana. Hatinya sangat kesal hari ini gara-gara Dana terlalu sibuk memperhatikan Raina dan Devana.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.