Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
...✧˖°. 🕯️🦢 ✧˖°....
"JANGAN LARI KAMU!"
"Aduh! Kenapa malah makin cepat larinya?!"
Gadis dengan celana jeans yang bagian lututnya robek terus berlari kencang ketika seorang wanita paruh baya mengejarnya.
"BERHENTI!"
Mereka menjadi pusat perhatian karena kejar-kejaran seperti kucing dan tikus.
Mata gadis itu berbinar ketika melihat sebuah mobil. Larinya semakin kencang dan tanpa permisi dia menerobos masuk saat pintu mobil terbuka.
"Hei—"
"Tidak ada waktu untuk protes, Paman!" Eliza menarik tangan pria itu agar masuk, lalu dia langsung tancap gas menjauh dari sana.
"Akhirnya!" Dia tertawa senang karena bebas dari kejaran orang gila tadi. Terlihat ODGJ yang mengejarnya tadi, kini sedang marah-marah ketika ia sudah menjauh.
Namun, sedetik kemudian Eliza baru menyadari sesuatu. "Eh, eh, eh!" pekiknya dengan heboh. Dia memutar setir mobil kesana kemari karena dia baru sadar tidak bisa menyetir mobil.
"Kamu—"
Ciitttt ... BRAK!
****
"Manusia malang mana lagi yang jadi korban kamu, El?"
Elizabeth cemberut. Dia baru saja sadar dari pingsannya, tapi ibunda tercinta sudah menyemprot nya dengan ucapan pedas.
"Sudah berapa kali Mama bilang, diam di rumah, nonton film atau bermain apapun, asal jangan keluar rumah! Masih baik Mama tidak kirim kamu ke Surabaya!"
"Kamu tidak kasihan dengan papa dan kakak mu? Mereka sampai harus bertemu dengan orang yang sudah kamu buat celaka untuk minta maaf! Huh, sepertinya akan ganti rugi juga. Mobil yang kamu rusak itu bukan mobil murah, El! Aduh, Mama pusing sekali! Yang cari masalah itu selalu kamu. Coba contoh kakakmu yang pendiam dan tidak aneh-aneh!" Geisha menepuk keningnya beberapa kali dengan wajah frustasi.
Eliza cemberut. Padahal ini bukan sepenuhnya salahnya. "Mama tidak bisa ya kalau tidak mengomel? Padahal aku sedang sakit sekarang," ujarnya mengeluh.
"Tentu saja tidak bisa!" sentak Geisha. "Asal kamu tau, Eliza, orang yang kamu buat kecelakaan itu adalah salah satu keluarga Pamungkas! Semoga saja mereka bisa memaafkan kamu. Kalau tidak mau, Mama tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain menyerahkan kamu ke mereka. Biar mereka kirim kamu ke barak saja sekalian," lanjutnya semakin menjadi.
Eliza melotot tak terima. "Ma, aku juga korban di sini!" kesalnya.
"Kamu itu pelaku! Korban mana yang menabrakkan mobil orang ke pembatas jalan sampai mobilnya ringsek begitu?!" Mata Geisha ikut melotot galak. Dia benar-benar tak habis pikir dengan putrinya ini.
Si bungsu yang selalu mencari masalah.
Eliza semakin cemberut. Dia membuang muka tak ingin menatap ibunya.
Ketika Geisha hendak melanjutkan ocehannya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Seketika Eliza tersenyum lebar.
"Papa!" Dia merentangkan tangannya minta dipeluk.
Austin Argantara yang tak lain adalah papa Eliza pun dengan senang hati memeluk putrinya yang sudah sadar.
"Putri Papa sudah bangun? Sudah makan?" tanya Austin. Dia mengecup kening Eliza sebelum melepaskan pelukannya.
Sadipta, kakak Eliza mendudukkan dirinya di sofa sambil melirik sang adik dengan helaan nafas.
"Belum. Mama mengomel terus sedari tadi," jawab Eliza mengadu. Dia memang orang yang suka mengadu, terutama pada papanya.
"Ingin makan apa, hm?" Austin mengusap rambut anaknya dengan lembut.
"Mie ayam. Boleh?" Eliza menatap papanya penuh harap.
"Kalau mau mie ayam, beli sendiri," celetuk Geisha. Wanita itu sedang membuka kotak berisi bubur ayam.
"Iiihh, Mama!" Eliza cemberut. Dia menatap Austin meminta pembelaan.
"Apa?!" Mata Geisha melirik sinis sang putri. Dia duduk di pinggiran ranjang Eliza. "Cepat buka mulut kamu!" Dia menyodorkan satu sendok bubur ayam, lengkap dengan kerupuknya.
"Tidak mau! Pokoknya aku ingin makan mie ayam!" Eliza menutup mulutnya sambil menggeleng. Sebagai anak bungsu, Eliza ini selalu ngeyel dan keras kepala, apa-apa harus dituruti. Si bungsu yang satu ini memang selalu manja.
"Elizabeth," tekan Geisha dengan mata melotot.
Geisha ini adalah seorang ibu yang jauh dari kata lemah lembut, dia memang bawel dan galak, tapi ketika anaknya sakit, dialah yang paling khawatir. Buktinya ketika mendengar kabar putrinya kecelakaan, dialah yang paling heboh.
"Sudah, Ma. Buburnya kamu saja yang makan, biar Eliza makan mie ayam," ujar Austin melerai. "Dipta, belikan adikmu mie ayam, sebentar," lanjutnya pada Sadipta.
Untung saja Sadipta bukanlah anak pembangkang nan manja seperti Eliza. Sekali perintah, langsung dituruti tanpa protes.
"Boba nya jangan lupa, Kak!" seru Eliza sebelum Sadipta benar-benar keluar dari ruangan.
Geisha menghela nafas kasar. Dia kembali duduk di sofa sambil memakan bubur ayam. Jika suaminya sudah memberi perintah, dia tidak bisa membantah.
"Bagaimana, Pa? Apa kata keluarga Pamungkas?" tanya wanita itu saat Austin duduk di sampingnya.
Eliza diam-diam menguping meskipun tangannya sibuk bermain ponsel.
"Altezza masih belum sadar. Kata mereka, tunggu Altezza sadar lebih dulu," jawab Austin.
"Mereka tidak membahas tentang ganti rugi?"
"Belum, mungkin nanti. Aku sudah minta tolong ke mereka agar masalah ini tidak perlu dibawa ke jalur hukum."
Eliza menelan ludahnya dengan kasar. Astaga ... apakah separah itu? Padahal dia hanya menabrakkan mobil mahal ke pembatas jalan. Andai saja tidak dikejar orang gila, Eliza pasti tidak akan seperti ini.
Elizabeth Monalisca namanya, gadis dengan sejuta kegilaannya. Iya gila, dia selalu bertindak tanpa memikirkan resikonya, seperti beberapa jam lalu. Akibat tingkahnya, seorang pengusaha ternama telah menjadi korbannya. Dan parahnya lagi, sekarang pria itu belum sadar.
Dia masih muda, 25 tahun. Tidak kerja. Ah lebih tepatnya sudah tidak kerja, karena dia baru saja patah hati.
Eliza menjalin hubungan dengan bos tempat dia bekerja. Tapi, sayangnya beberapa hari lalu, dia ditampar oleh fakta mengejutkan. Lelaki yang selama ini dia cintai, yang dia sayangi, yang dia pamerkan pada kedua temannya, ternyata telah menikah dengan wanita lain. Dan sialnya lagi, dia bukan diselingkuhi, melainkan menjadi selingkuhan.
Arhan Febryan namanya. Tampan tapi penuh kejutan. Buktinya dia berhasil membuat Eliza terkejut.
Karena tidak terima ditinggal nikah, Eliza menghancurkan dekorasi di pernikahan Arhan dan wanita itu. Lagi, Eliza bertingkah tanpa memikirkan resiko kedepannya. Akibat mengacaukan acara orang, Eliza sampai dilaporkan polisi oleh pihak keluarga Arhan. Untungnya Austin berhasil membujuk keluarga Arhan agar menyelesaikan masalahnya tanpa membawa ke jalur hukum.
Eliza benar-benar dendam pada mantan laknat nya itu. Harga dirinya seakan diinjak-injak. Bisa-bisanya dia jadi selingkuhan, bukan diselingkuhi. Dan sejak saat itulah Eliza berhenti bekerja di perusahaan Arhan. Dia benar-benar mem blacklist pria itu dari hidupnya. Eliza tidak sudi lagi menatap wajah sok tampan itu. Dia selalu berdoa agar Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik. Yang lebih tampan dan lebih kaya dari Arhan.
Sekarang sudah jam delapan malam. Eliza baru saja selesai makan malam bersama keluarganya. Di mana? Tentu saja di ruang rawatnya. Setelah ini mereka akan bertemu pihak keluarga Pamungkas untuk menyelesaikan masalah yang telah dibuat oleh tuan putri.
Eliza gugup. Dia takut dan malu. Padahal tadi siang dia tidak se-malu ini untuk mengemudikan mobil orang.
"Kalian saja ya yang ke sana? Aku malu ...," rengeknya. Padahal mereka sudah berada di depan pintu ruang rawat Altezza.
"Kalau kamu tidak ikut, semakin malu keluarga kita nanti," celetuk Sadipta.
Eliza cemberut. Dia pun akhirnya diam, duduk tenang di kursi roda yang didorong kakaknya.
Austin mengetuk pintu. Tak sampai lima detik, pintu pun terbuka.
"Tuan Austin? Mari masuk." Seorang wanita paruh baya tersenyum menyambut mereka.
Keempat orang itu masuk ke dalam. Pandangan Eliza langsung tertuju pada seorang pria yang sedang meminum obatnya.
"Hah, siapa ini? Kenapa dia berubah menjadi tampan?!" batin Eliza berteriak.
Ia berdeham canggung saat mata mereka tidak sengaja bertatapan.
"Maaf mengganggu waktunya—" Austin menyampaikan tujuannya dan meminta perdamaian dengan keluarga Pamungkas. Sedangkan si pelaku utama malah tidak menyimak dan memilih memandang pria tampan.
"Tampan dan gagah. Tapi, kenapa wajahnya terlihat menyebalkan di mataku? Dia berotot dan besar, pasti di perutnya ada enam roti sobek, oh, atau delapan, sepuluh?" batin Eliza.
"Kalau aku pegang—"
"Elizabeth," panggil Geisha penuh penekanan. Bahkan tangannya mencubit lengan Eliza hingga membuat gadis itu menahan sakit, tapi bibirnya tersenyum saat ibu Altezza menatapnya.
"Ah, iya?" Dia terkekeh canggung sambil menggaruk pipinya. "Kenapa, Ma?" Pertanyaan itu lolos begitu saja.
Baik Geisha, Austin maupun Sadipta, mereka merasa malu dengan tingkah plonga-plongo si bungsu.
"Minta maaf, Sayang," ucap Geisha lagi, ditambah senyum manisnya. Tentu saja semua itu hanya paksaan.
Eliza mengangguk patuh. Ia berdeham singkat sebelum menatap kedua paruh baya di depannya.
"Maafkan saya, Tuan, Nyonya, dan ...." Eliza menatap Altezza yang menunggu kelanjutannya. " ... Paman ...," sambungnya terdengar ragu.
Geisha memejamkan matanya dengan erat. Apa katanya? Paman? Altezza dipanggil paman? Begitu juga dengan Austin dan Sadipta yang kelewat malu.
"Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Ngomong-ngomong, kalian minta ganti rugi berapa? Satu juta? Dua, tiga, atau sepuluh? Katakan saja, Tuan, Nyonya, papa saya kaya, dia pasti—"
"O-oh iya! Saya bawakan bingkisan juga untuk Nak Altezza." Geisha menyela dan langsung memberikan bingkisan yang dia maksud pada Asteria, ibunda Altezza.
Berbeda dengan keluarga Eliza yang malu, Asteria dan Ergino Pamungkas malah tersenyum geli melihat tingkah Eliza yang unik.
"Terimakasih, Nyonya, maaf jika merepotkan," ucap Asteria setelah menerima bingkisan itu.
"Tidak repot sama sekali. Sekali lagi kami mohon maaf sebesar-besarnya, ya ...." Mereka berdua berpelukan singkat.
"Iya, tidak apa-apa." Asteria mengelus pundak Geisha setelah pelukannya lepas.
Eliza menatap keduanya dengan bingung. Ketika hendak bicara, mulutnya langsung ditutup oleh tangan Sadipta.
"Jangan bicara apapun. Lebih baik kamu diam," bisik pria itu.
Eliza mengerut tak suka. Dia ingin protes, tapi Sadipta menatapnya dengan tajam. Alhasil Eliza kembali diam anteng.
Tanpa Eliza sadari, semua tingkahnya tak luput dari tatapan Altezza. Si pria dengan wajah tanpa ekspresi nya.
bersambung...