NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Sore itu, langit pesantren Nurul Falah diselimuti warna jingga keemasan. Suara adzan Ashar baru saja berkumandang dari masjid utama, merambat lewat udara yang hangat bercampur aroma kayu dan tanah basah. Para santri perempuan bergegas menuju tempat wudhu, kain kerudung mereka berkibar tertiup angin. Suara sandal beradu dengan lantai semen terdengar di sepanjang lorong menuju mushala.

Dilara berdiri di gerbang, memeluk tas ranselnya yang sudah agak lusuh. Matanya mengamati halaman pondok pesantren yang luas, dengan pohon asam besar di tengahnya. Di sana, beberapa santri duduk sambil membaca kitab, wajah mereka serius. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa gugup yang sejak tadi membuat dadanya sesak.

Sejak kecil, ia tidak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu di pondok pesantren. Hidupnya dulu berputar di sekolah umum, les musik, dan rumah yang penuh tawa—hingga sebuah fitnah menghancurkan segalanya. Ibunya yang sakit-sakitan tidak sanggup menahan beban dan berakhir meninggal, dan ayahnya memilih pergi meninggalkannya. Kini, ia hanya punya satu tujuan, bertahan. Dan pondok pesantren ini adalah satu-satunya tempat yang bersedia menerimanya. Karena pamannya bahkan tidak mau mengurusnya. Bibiknya malah menyuruhnya ke pondok pesantren ini.

“Assalamualaikum.”

Suara berat namun hangat menyentaknya.

Dilara menoleh. Seorang pria muda dengan gamis putih dan peci hitam berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tegas, mata hitamnya tajam tapi tidak menyeramkan. Ada sesuatu di dalam tatapan itu—paduan wibawa dan keteduhan.

“Waalaikumsalam…,” jawab Dilara pelan.

“Kamu Dilara?” tanya pria itu sambil mendekat. Langkahnya mantap, tidak tergesa tapi penuh keyakinan.

“I-iya,,” jawabnya gugup.

Gus Zizan tersenyum tipis. “Selamat datang di Nurul Falah. Saya Gus Zizan, pemilik pondok pesantren ini. Bibik kamu sudah menghubungi kami sebelumnya. Oiya mari tasnya sini, biar saya bantu bawa.”

“Oh… nggak usah, Gus. Berat,” ucap Dilara spontan.

“Kalau berat, justru saya yang harus bawa. Santri baru itu tamu, dan tamu harus dimuliakan.” Gus Zizan mengambil tasnya dengan mudah, seolah tidak peduli meski ransel itu penuh buku dan pakaian.

Mereka berjalan beriringan melewati halaman. Dilara bisa merasakan tatapan beberapa santri lain yang memperhatikannya—ada yang sekadar ingin tahu, ada pula yang berbisik-bisik. Ia menunduk, mencoba mengabaikan.

“Mulai malam ini kamu tinggal di asrama putri sebelah utara. Ada Ustazah Rohmah yang akan membimbing,” jelas Gus Zizan sambil menuntunnya ke arah bangunan berlantai dua. “Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja ke ustadzah. Dan kalau ada masalah…” ia berhenti sejenak, menatap ke depan sana, “…kamu boleh langsung temui saya.”

Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa membuat hati Dilara sedikit hangat. Sudah lama tidak ada orang yang berkata seperti itu padanya.

Ia hanya menganggukkan kepalanya singkat, tidak menjawab apapun, dan Gus Zizan berjalan ke asrama yang di maksud olehnya tadi.

Asrama putri penuh dengan suara riuh. Beberapa santri duduk di lantai, merapikan buku, sebagian lagi melipat mukena. Dilara berdiri di depan pintu kamar barunya, memandangi tiga ranjang susun yang sudah terisi. Seorang gadis berkerudung biru muda menoleh dan tersenyum ramah.

“Kamu santri baru, ya? Aku Salsabila. Panggil aja Salsa,” katanya sambil berdiri menghampiri. “Kamu sekamar sama aku, Mita, sama Dewi.”

Dilara membalas senyumnya. “Iya… terima kasih. Nama aku Dilara.”

"Hai Dilara?" Dewi dan Mita datang, lalu berkenalan dengan Dilara. Mereka saling berbicara dan menyambut kedatangan Dilara dengan baik.

Salsa membantu menunjukkan tempat tidur kosong di pojok dekat jendela. Dari sini, Dilara bisa melihat cahaya matahari yang mulai redup di balik pepohonan pondok pesantren. Ia mulai mengeluarkan barang-barangnya, berusaha tidak mengganggu yang lain.

Tapi suasana hangat itu tidak bertahan lama. Seorang santri berkerudung hitam masuk, membawa ember berisi pakaian basah. Tatapannya langsung berhenti pada Dilara.

“Eh, ini yang santri baru itu, ya?” suaranya terdengar setengah ketus. “Kamu taruh tas di situ? Nggak tau kalau itu biasanya tempat aku naro ember?”

Dilara buru-buru memindahkan tasnya. “Maaf… aku nggak tahu.”

Santri itu hanya mendengus lalu pergi begitu saja. Salsa menggeleng pelan. “Itu Wulan. Mulutnya emang agak… gitu. Nanti juga kamu terbiasa.”

"Iya jangan di ambil hati, Wulan mah memang begitu galak." Celetuk Dewi.

"Husss, nggak boleh ngomong begitu, kita nggak boleh berbicara buruk. Dosa." Timpal Mita.

Dilara hanya tersenyum hambar. Dalam hati ia bergumam, Sepertinya di sini pun aku harus siap menghadapi tatapan dan omongan orang.

Malam itu, setelah isya, para santri berkumpul di aula untuk pengajian kitab. Dilara duduk di barisan belakang, mencoba menyimak penjelasan Gus Zizan yang duduk di depan dengan kitab tebal di tangannya. Suaranya mantap, penjelasannya jelas. Sesekali ia melontarkan humor ringan yang membuat para santri tertawa.

Tapi di balik senyumnya, Dilara merasa seolah sedang diuji. Matanya berkali-kali bertemu dengan tatapan Gus Zizan—bukan tatapan mengintimidasi, melainkan seakan ingin memastikan bahwa ia memperhatikan. Dilara jadi salah tingkah, jantungnya berdebar.

Ketika pengajian usai, semua santri beranjak. Dilara ikut berjalan menuju asrama, tapi di tengah lorong, suara panggilan membuatnya berhenti.

“Dilara.”

Ia menoleh. Gus Zizan berdiri di dekat tiang kayu, menunggu.

“Kamu tadi paham penjelasan tentang bab thaharah?” tanyanya.

“Sedikit, Gus… tapi aku masih bingung soal najis mutawassithah,” jawab Dilara jujur sambil menundukkan kepalanya.

Gus Zizan mengangguk. “Besok habis subuh, datang ke perpustakaan. Kita bahas berdua. Biar kamu nggak ketinggalan pelajaran.”

Dilara tertegun. Ia mengangguk pelan, lalu melangkah pergi dengan langkah ringan—tidak menyangka bahwa di antara ratusan santri, Gus Zizan mau meluangkan waktu khusus untuknya.

Namun, di sudut lorong, sepasang mata memperhatikan percakapan itu. Wulan, dengan senyum tipis di bibirnya, berbisik pada temannya, “Lihat kan? Baru masuk udah dekat sama Gus Zizan. Pasti ada apa-apanya.”

Kata-kata itu akan menjadi awal dari gosip yang pelan-pelan menyebar di antara para santri. Dan tanpa sadar, langkah pertama Dilara di pesantren ini sudah mulai menapaki jalan yang akan penuh ujian.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!