Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Dewi Hijab...
Akhirnya setelah 7 tahun takdir mempertemukan kita lagi. Di langit yang cerah dan jembatan masjid Xi'an menjadi saksi pertemuan kita yang penuh bayangan masa lalu.
Aku pernah mencintaimu, dengan cara paling berdarah. Di lorong-lorong sunyi yang dipenuhi debu, peluh, dan peluru.
Kau berjalan menjauh,dengan cahaya yang tak bisa kupeluk. sementara aku tenggelam dalam dunia yang tak pernah mengenal sujud.
Namun namamu, adalah nama yang paling sering kusebut, di antara malam-malam yang tak beralas sajadah, di antara tangis yang tak tahu kemana pulang.
Kau menjadi doa, di tengah tubuhku yang najis,kau menjadi kiblat, saat aku kehilangan arah.
Tuhan mencintaimu, Hanina… dan mungkin, itulah sebabnya Dia menjauhkanmu dariku. Tapi Tuhan juga menyayangiku, karena Ia mengizinkan aku melihatmu… sekali lagi.
Kali ini, di rumah-Nya yang suci. Kau berdiri anggun di antara ayat dan hikmah, sementara aku hanya lelaki penuh dosa yang terus tumbuh dalam rindu dan penyesalan.
Jika aku tak bisa memilikimu di dunia, izinkan aku mencintaimu dalam diam, di setiap tahajud yang menitikkan namamu tanpa pernah memaksamu menjadi milikku.
"Hanina..." kusebut namanya dengan suara yang bergetar, karena rasa rindu yang menekan dadaku. Ku lihat gadis di hadapanku menatapku dengan air mata yang menggantung di kelopaknya yang merona.
"Wang Lei..." balasnya lirih, suaranya tak berubah, masih lembut dan menyentuh relungku. Setelah sekian lama akhirnya aku mendengar suaranya memanggil namaku lagi. Mendadak mataku terasa panas.
Angin musim gugur menyapu lembut kerudung birunya, membuat helaian tipis itu menari pelan di sekitar wajahnya yang masih seindah dulu, akan tetapi sedikit lebih pucat.
"Assalamualaikum..."
Hanina mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan apa yang barusan ku ucapkan.
"Waalaikumsalam..." jawabnya parau, mata Hazelnya berbinar, bibirnya melengkungkan senyum tipis. Senyum yang selama ini aku rindukan, dadaku hampir meledak karena begitu bahagia.
"Kau... Terlihat berbeda, apa yang terjadi?" tanyanya.
Aku mendengus berusaha menahan gejolak di hatiku.
"Ada banyak hal yang terjadi, tapi semuanya baik-baik saja... bagaimana kabarmu?" tanyaku.
"Aku... Aku baik. Kau?" jawabnya, sedikit gugup.
Aku mengangguk penuh syukur. "Aku juga,"
"Alhamdulillah..." ucapnya.
"Alhamdulillah..." aku mengikutinya, ikut tersenyum melihat bibirnya yang melengkung berseri-seri.
Hening. Gadis itu memainkan jarinya, nampak terlihat salah tingkah karena aku menatapnya lebih dalam penuh kerinduan yang tak terucapkan.
"Aku pikir kau tidak akan menemuiku, kau membuatku terkejut." katanya, pelan.
Aku menarik napas dalam, menatap ke langit sebelum memandang wajah Hanina.
"Aku juga terkejut, " jawabku singkat, kemudian aku membuka tas ranselku mengeluarkan sebuah buku dan menunjukannya.
"Ini. Tadinya aku hanya penasaran pada Novel 'Takdir Cinta Dewi Hijab dan Iblis Jalanan.' Orang-orang bilang ini kisah cinta yang luar biasa, Jadi akupun ikut membacanya. Awalnya kupikir hanya fiksi biasa. Tapi lembar demi lembar, jantungku memukul lebih keras. Ini… ini kisahku. Ini kisah kami. Tentang seorang kriminal yang terjebak bersama gadis yang dia sebut sebagai Dewi Hijab. Setiap adegan, setiap dialog, setiap narasi yang ditulis membuatku kembali ke masa lalu."
Aku berbicara tanpa henti sambil menatap matanya yang berair. Aku menarik napas panjang lalu melanjutkan dengan suara tegas yang penuh kerinduan.
"Putri Lebah, itu nama penulisnya. Kau tahu, aku sangat penasaran dengan orang itu, kenapa dia membuat kisah cinta yang sama persis dengan kisahku tujuh tahun yang lalu. Akhirnya setelah pencarian panjang, seseorang memintaku untuk menunggunya di sini. Dengan hati berdebar aku menantinya, dan yang ku lihat sekarang Dewi Hijab itu sendiri. Kau yang menulisnya Hanina, benar?"
Hanina menunduk. Air matanya sudah meluruh sejak tadi. Jemarinya meremas ujung hijabnya yang tertiup angin, lalu memadangku dengan mata sendunya.
Dia mengangguk kecil " Ya, aku yang menulisnya."
"Kenapa?"
Hanina tak langsung menjawab langkahnya menepi, merapatkan tubuhnya pada tembok jembatan, menatap air jernih yang mengalir di bawahnya.
"Karena aku ingin semua orang tahu, bahwa tidak ada batasan untuk mencintai, seperti Dewi Hijab yang diam diam mencintai iblis yang melindunginya, namun dia takut untuk mengungkapnya."
Jawabanya membuat jantungku semakin berdebar, aku mendekatinya, berdiri di samping gadis itu dengan tetap menjaga jarak.
"Dia memilih memendam rasa itu jauh di lubuk hati, tapi tidak berusaha melupakannya. Kenangan itu sangat berharga, lebih berharga dari berlian Xue Lian yang pernah menyelamatkannya. Apa kau ingat?" Dia menoleh ke arahku.
Aku tertawa kecil, tawa getir yang penuh luka dan rindu.
"Tentu aku ingat. Berlian Xue Lian, Berlian Teratai Salju yang menjadi simbol kesucian wanita bangsawan Dinasti Qing, yang pernah di curi sekaligus pernah menyelamatkan kehormatan seorang wanita. "
"Seluruh kota hampir hancur. pembantaian dimana-mana. Orang-orang tak berani keluar rumah, karena takut terkena peluru yang menyasar. Polisi turun, semuanya tak berakhir sebelum Berlian Xue Lian kembali ke tangan pemiliknya dan dendam pun terbalas. Semua itu terjadi hanya karena kerudung seorang wanita yang dilepas paksa oleh tangan kotor yang tak seharusnya menjamah. Aku ingat semuanya Hanina..."
Hening. Hanya suara aliran air yang menjadi pemecah kesunyian beberapa saat.
"Apa kau merindukanku selama ini?" tanya Hanina tiba-tiba.
Aku menoleh "Sangat."
"Lalu kenapa baru sekarang kau datang?"
Aku mendengus pelan, suara Hanina terdengar seolah menahan kecewa.
"Karena aku selalu merasa tidak pantas, bahkan untuk menatap wajahmu sekalipun."
Hanina diam, air matanya mengalir di salah satu sudut matanya.
"Kau tidak bisa selamanya merasa seperti itu Wang Lei. Kau tahu kau sangat berarti dalam hidupku." katanya, jemarinya mengusap pipinya yang basah dengan gerakan lembut.
Aku menunduk "Kau juga sangat berarti bagiku, Hanina."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Jika aku menginginkanmu untuk menjadi suamiku apa itu salah?"
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Seorang putri ulama yang disegani dan di hormati mengharapkan mantan bajingan sepertiku untuk menjadi suaminya?
"Sangat salah," jawabku pelan. "Masih banyak pria yang lebih baik dariku. Aku belum layak… belum bisa membimbingmu."
Hanina menggigit bibirnya pelan, menunduk sambil menahan isak.
"Kalau begitu… sampai kapan kau akan terus merasa tidak layak?" bisiknya.
Aku terdiam.
Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya seperti pisau tumpul yang ditarik lambat di dadaku. Aku tak punya jawaban. Aku hanya punya sesal, dan sesal tak pernah tahu arah.
"Lupakan aku, Hanina..." Suaraku bergetar.
Dia menggeleng lemah.
"Itu tidak bisa ku lakukan, kenanganmu akan selalu hidup di hatiku." jawabnya.
Aku menarik napas dalam, mencoba membendung gelombang yang mengamuk di dadaku.
"Hanina..."
"Kakak, calon suami kakak sudah datang! Kakek dan Nenek menyuruh kakak pulang sekarang." Seorang gadis kecil tiba-tiba muncul memegang tangan Hanina.
Calon suami? Jantungku langsung berpacu tak beraturan. Aku menoleh cepat ke arah Hanina. Tatapanku mencari sesuatu di matanya, penyangkalan, penjelasan, apa pun, tapi yang kudapatkan hanya raut syok yang dipaksakan tenang.
Hanina tersenyum ke arah gadis kecil itu dan menggenggam tangannya, kemudian mengangguk.
"Ayo pulang, " ucapnya, membuatku tak percaya.
Dia menoleh padaku. "Selamat tinggal, Assalamu'alaikum..." Dia berbalik, sementara aku hanya bisa berdiri mematung menatap punggungnya, bahkan salamnya tak mampu aku jawab.
......................
Wang Lei...
Aku menulis tentangmu bukan untuk membuatmu kembali, tapi agar dunia tahu, bahwa pernah ada luka yang kutemui dan tidak kucaci.
Aku menulis tentang kita, karena hanya pena yang tak pernah menuduhku berdosa, saat aku mencintai seorang lelaki yang tak beralas sajadah tapi menyebut namaku dalam zikir patah.
Wang Lei...
Jika kau tahu, berapa banyak air mataku jatuh di setiap kalimat yang kususun tentang kita, kau tak akan lagi bertanya mengapa aku tak pernah melupakanmu.
Kau adalah lelaki yang pernah kutemui di lorong debu dan peluru, tapi kebaikanmu selalu lebih nyaring daripada dentuman senjata.
Aku mencintaimu dalam diam yang paling pekat, dalam malam yang paling sujud. Tapi aku juga tahu,tidak semua cinta harus bersanding, karena takdir pun punya cara untuk menjadikan rindu sebagai ibadah.
Dan jika pernikahanku bukan denganmu, bukan berarti aku melupakanmu. Tapi mungkin Tuhan sedang mengajariku bagaimana mencintai tanpa memiliki, dan bagaimana merelakan tanpa harus membenci.
Di antara lembar-lembar doaku, kau selalu hadir bukan sebagai harapan, tapi sebagai pengingat bahwa pernah ada lelaki yang mengajarkanku arti kesetiaan, tanpa pernah menyentuh tanganku.
Selamat tinggal, Wang Lei...
Jika pertemuan kedua ini kita tidak disatukan, maka aku ikhlas, tapi kalau kau berubah pikiran sebelum akad ini dimulai, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.