pertemuan yang membuat jatuh hati perempuan yang belum pernah mendapatkan restu dari sang ayah dengan pacar-pacar terdahulunya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Laila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Pukul 19 lewat 15 menit, Dona dan Maharani sudah sampai di lapangan futsal di daerah Grogol, Jakarta Selatan. Awalnya, Maharani menghampiri kakak sepupunya di kantor ADT Group setelah meeting, untuk makan malem bareng, tapi dia malah berakhir di lapangan futsal ini. Menemani kakak sepupunya nonton suaminya main futsal bareng temen-temen BEMnya dulu.
Mereka langsung duduk di bangku tribun dan menonton permainan futsal yang sepertinya baru saja berlangsung. Dona dengan semangat melambai-lambaikan tangan pada sang suami begitu mata mereka bertemu tatap. Maharani bisa lihat bagaimana Johnny tersenyum sangat lebar saat melihat kakak sepupunya ini.
“Duuh lo sama Bang Johnny kayak masih abege tau gak?” ujarnya sambil tertawa.
“Namanya juga newlywed. Masih anget beeb,” katanya diikuti gelak tawa.
“Idi idiiiiih,” tawanya, “gua masih gak nyangka lah lo akhirnya jadi sama Bang Johnny, Kak.”
“Gua juga. Gua sama dia udah pada move on, punya pasangan masing-masing. Tapi in the end of the day, gua malah jadinya nikah sama dia.”
“He-eh. Ini nih yang dinamakan kalo jodoh gak kemana,” ujar Maharani.
Maharani sesungguhnya tidak terlalu mengerti pemainan bola kaki itu. Dia hanya pernah 2 kali dulu menemani mantannya tanding bola saat masih kuliah. Ini adalah kali ketiga dia melihat para pria dewasa berebut bola di lapangan berlapis vinyl.
Saat dia mulai fokus dengan permainan yang ada di depan mata, dia melihat sesosok pria yang sudah basah dengan keringat. Jersey yang dia pakai pun menunjukkan otot di balik baju itu. Definisi tampan dan atletis.
“Kak, itu siapa namanya?” tanyanya berbisik pada Dona.
“Mana?” Dona mencari siapa yang dimaksud oleh adik sepupunya itu.
“Itu loh yang pake jersey merah, yang pake headband supreme.”
Mata Dona berkeliling mencari pria yang dimaksudkan sepupunya. Sampai dia menemukan pria itu dan dia tersenyum lebar, meledek sepupunya.
“Bukan, Kak. Iiih, buat kerjaan nih.”
“Ooohh,” Dona tertawa, “kirain naksir.”
“Ish,” Maharani merotasi matanya, “kenal?”
“Kenal.”
“Kenalin lah, Kak. Gua butuh dia buat jadi model gua nih.”
“Bener buat kerjaan?” Dona menaik turunkan alisnya dengan senyuman jail di wajah.
“Bener, serius. Kan lo ngajak gua juga biar siapa tau ketemu orang yang cocok jadi model gua. Please, bantu adek lo yang gemesin ini,” katanya mengedip-kedipkan matanya.
“Idiiiiih,” Dona tertawa melihat tingkah adik sepupunya itu, “iya, entar gua kenalin.”
Permainan di tengah lapangan futsal itu selesai. Johnny langsung menghampiri istrinya yang duduk bersama Maharani.
“Heeeeey,” Johnny tak segan untuk mengecup pipi Dona.
“Duuuuh, plis tempat umum ini,” ledeknya. Maharani sudah biasa dengan pemandangan itu semenjak mereka berdua menikah
“Napa sih anak kecil nih. Cuma cium pipi istri sendiri juga. Bukan berbuat mesum,” balas Johnny.
Dona tertawa melihat tingkah sepupunya hingga gusinya terlihat dan matanya membuat bulan sabit. Pemandangan yang paling Johnny suka dari istrinya. Kalau kata Johnny, tawa dan senyumnya seperti cahaya matahari, indah, dan hangat.
“Sayang, ada yang minta dikenalin nih,” ujar Dona menyodorkan botol minum pada suaminya.
“Sama siapa?”
“Itu, Bang,” Maharani melihat kearah pria yang sejak tadi sudah dia incar untuk menjadi modelnya.
“Oooooh. Yuk,” ajak Johnny tanpa bertanya lebih kepada kedua wanita itu.
Maharani tersenyum riang, mengikuti pria dengan tinggi 188 cm itu menuju si calon model yang sedang asik ngobrol dengan teman-temannya.
“Oi, John,” pria itu melambaikan tangan pada Dona, “ikut makan-makan gak? Anak-anak pada mau makan di pecel ayam,” katanya.
“Ikutlah, laper nih,” jawabnya ringan dan riang. “Eh, ada yang mau kenalan nih, Bas,” Johnny merangkul adiknya itu.
“Maharani, Kak,” Maharani mengulurkan tangannya dan dengan sigap ‘Bas’ ini langsung berdiri dan menyambut ularan tangannya.
“Baskara.”
“Boleh to do point ya kak?” Baskara menjawab dengan anggukkan. “Iya jadi saya punya clothing brand, Hera namanya. Kami mau launch koleksi olahraga dan 2 minggu lagi, tanggal 25 Maret, kami ada pemotretan buat launching produk baru. Nah kami butuh model, dan saya liat kakak cocok. Kakak mau gak jadi model buat Hera?” tanya Maharani, “Weekend kok pemotretannya,” katanya buru-buru menambahkan.
“Heem gimana yaa,” wajah Baskara menggambarkan keraguan.
“Please,” dengan alis yang mengkerut penuh harap pria tinggi itu bisa menjadi modelnya, “eeem, kakak bisa pikirin lagi. Tapi please kasih jawab yang positif ya,” senyum Maharani mengembang.
“Gua pikirin dulu ya. Deadline kapan nih?”
“Duh kayak lagi nugas ke dosen,” celetuk Maharani membuat Baskara tertawa, “heem sebelum jumat minggu depan gimana? Saya kasih Kak Baskara waktu mikir seminggu.”
“Oke. Gua usahain sebelum itu udah kasih kabar ya, Maharani. Gak usah kaku-kaku gitu lah ngobrolnya,” ledeknya.
Cengiran lebar mengembar di wajah Maharani, “thanks a lot, Kak. Oh iya,” gadis tinggi itu memberikan kartu namanya. “Kalo udah ada jawabannya, bisa langsung kontek gua di situ kak.”
“Oke. Sebentar,” Baskara merogoh tas dan mengambil dompet hitam. Mengeluarkan selembar kartu namanya dan memberikan kepada Maharani yang diikuti ucapan terima kasih dari gadis itu.
“Nanti ikutan juga ya makan-makan,” ajak Baskara.
“Ikut boleh kan, Bang?” tanyanya memasang wajah manisnya kepada Johnny.
“Gak gua ajak juga lo pasti mau ikut kalo soal makan-makan,” ledek Johnny membuat Maharani memanyunkan bibirnya.
“Ya basa basi dikit siiiih,” katanya memukul lengan sepupu iparnya itu.
Johnny tertawa dan berkata, “udah kan kenalannya? Gua mau mandi dulu. Gerah banget.”
“Iya udah. Makasih waktunya ya, Kak Baskara. Gue balik ke sana dulu sama Kak Dona.”
“Oke.”
Maharani yang merasa senang malam itu berjalan sambil melompat-lompat sampai dia kembali duduk di samping Dona. Baskara yang memperhatian itu hanya bisa tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
...♥
...
Hari Kamis tiba. Maharani masih pusing perkara modelnya dan selalu memantau ponselnya. Sampai sore ini, pria tinggi yang ia temui di lapangan futsal itu belum juga memberikan kabar.
Tim produksi yang memasang iklan untuk model pun, masih menyeleksi model yang cocok untuk produk mereka kali ini. Termasuk menyeleksi model dari agensi model. Namun, Maharani masih menanti jawaban dari pria yang dia temui di lapangan futsal minggu lalu, dan berharap ada jawaban positif dari pria itu. Padatnya jadwal, pekerjaan, deadline untuk launching produk baru ini, sedikit banyak menyumbangkan sakit kepalanya sore menjelang malam itu.
Ami, sekretaris Maharani, memberikan beberapa laporan dan juga jadwal Maharani untuk hari esok. Di tengah perbincangan serius mereka, ponsel Maharani berdering. Menunjukkan nomor yang dia tidak kenal.
“Halo, selamat sore.”
“Hallo. Sore, Maharani. Ini gue Baskara,” suara berat di sebrang sana membuat Maharani berdoa kalau pria itu menghubunginya karena ada kabar baik.
“HAI!” Maharani sangat bersemangat, “hai, Kak,” dia menyapa pria itu dengan lebih tenang.
“Sorry gua baru hubungin sekarang. Maaf bukan maksud mau ngelupain. Minggu depan gua bisa. Kalau tawaran dari lo masih berlaku.”
“MASIH!” Maharani semakin semangat. Dia bisa mendengar suara tawa yang merdu dari sebrang sana, “eh maaf. Masih kok, Kak. Makasih banyak loh, Kak. Kakak besok ada jadwal kosong? Atau lusa?
“Bentar ya. heeeem. Besok sore?”
“Oke. Jam berapa kira-kira kita bisa ketemu besok?”
“Jaaaaaaam setengah tujuhan kali ya.”
“Oke. Besok kita ketemuan ya, Kak. Mau kasih soal kontrak sekalian jelasin buat pemotretannya.”
“Kontrak?”
“Iya kontrak,” hening, “kak? Kakak gak mikir gua minta tolong cuma-cuma, kan?”
Gelak suara tawa berat disebrang sana terdengar merdu ditelinga Maharani, “sumpah gak kepikiran,” ucap Baskara.
“Kak?” Maharani tertawa, “Ada kontraknya jelas. Ada bayarannya juga.”
“Ketemu dimana besok?”
“Mau sekalian dinner gak?”
“Dinner meeting? Sound good.”
“Kita ketemuan di Poke Sushi gimana?”
“Oke. Kalo gua besok udah meluncur gua kabarin lo.”
“Oke. Thanks again, Kak.”
“Gua yang makasih harusnya. See you tomorrow?”
“See you tomorrow, Kak,” Maharani meletakkan ponselnya dengan wajah riang dan senang. Bebannya terangkat sudah.
“Amiiii,” Maharani keluar ruang kerjanya dan berdiri di depan meja sang sekretaris dengan wajah senang, “bilangin ke anak marketing sama anak produksi, modelnya udah ada.”
“Udah dapet jadinya, Mbak?”
“Udah udah. Barusan ini orang yang gua tunggu-tunggu.”
Wajah Maharani sore itu cerah seketika. Setidaknya, kepalanya tak terlalu terasa pusing untuk melanjutkan pekerjaannya yang masih ada di kantor.
...♥...