NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Satu

***

Hidup Serena bisa dibilang seperti langit yang selalu mendung, tak pernah benar-benar cerah. Sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika usianya baru lima tahun, Serena seperti kehilangan warna dunia.

Ia kemudian tinggal bersama keluarga dari pihak ibunya: Paman Reza, Bibi Nani, dan sepupunya, Vina. Kedengarannya seperti cerita gadis yatim piatu yang kemudian mendapat cinta dan kasih dari keluarga barunya—tapi kenyataan jauh dari itu.

Bibi Nani selalu bersikap dingin dan kasar, seolah kehadiran Serena adalah beban. Kata-kata tajam keluar dari bibirnya setiap hari, dan tak jarang disertai bentakan karena hal sepele seperti piring yang tidak tertata rapi atau lantai yang kurang bersih.

Paman Reza lebih sering diam, seperti tidak punya kuasa atas istrinya. Sementara Vina, sepupu sebaya yang tampaknya memiliki segalanya—penampilan menarik, teman-teman banyak, dan perhatian dari orang tuanya—justru menjadikan Serena sebagai pelampiasan rasa iri yang tak berdasar.

Entah mengapa, Vina selalu merasa Serena lebih dari dirinya. Mungkin karena tatapan orang-orang yang kadang lebih simpatik pada Serena, atau karena nilai-nilai sekolah Serena yang selalu lebih tinggi. Tapi bukannya mengagumi, Vina memilih menyakiti dengan ejekan, sindiran, dan sikap menjatuhkan.

Serena bertahan. Setiap hari dijalaninya dengan senyum tipis yang dipaksakan, menyembunyikan luka yang sudah mengakar. Ia tumbuh menjadi gadis pendiam, tapi pekerja keras.

Di usia 24 tahun, Serena kini bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta kecil. Pekerjaannya biasa saja, gajinya pun tidak seberapa, tapi bagi Serena, itu adalah kebebasan kecil. Setidaknya, di kantor, ia bisa bernapas tanpa merasa dibenci.

Namun, hidup belum juga berbaik hati kepadanya. Di kantor pun, Serena bukan sosok yang menonjol.

Ia sering dilewatkan saat pembagian proyek penting, dan jarang sekali mendapat pujian meskipun kerjanya rapi. Meski begitu, Serena tak pernah mengeluh. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa drama, tanpa bentakan, tanpa rasa sakit.

Hingga suatu hari, seorang pria bernama Hafiz, karyawan yang dulunya kerja di bagian departemen lain dan sekarang pindah ke departemen yang sama dengan Serena menjadi Pria yang tenang, penuh perhatian, dan tidak seperti kebanyakan orang yang hanya melihat Serena sekilas lalu lupa.

Hafiz mulai menyapa, mulai mendengarkan, dan sedikit demi sedikit—membuka celah dalam tembok pertahanan Serena yang selama ini ia bangun rapat-rapat.

.

Pagi itu, seperti biasa, Serena datang ke kantor lima belas menit lebih awal. Ia lebih suka datang lebih pagi, saat suasana masih sepi dan mesin fotokopi belum berisik oleh permintaan dokumen dari berbagai divisi.

Dengan secangkir teh hangat dari pantry, ia duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan mulai mengecek laporan kemarin.

Suara pintu terbuka membuatnya menoleh pelan. Hafiz masuk dengan kemeja biru muda dan senyum kecil yang hampir selalu hadir di wajahnya.

Sejak dua minggu lalu Hafiz memang berbeda. Ia tidak sekadar ramah, tapi juga memperhatikan. Bukan dengan cara berlebihan, tapi cukup untuk membuat Serena merasa... terlihat.

"Pagi, Serena," sapa Hafiz dengan suara tenang.

Serena mengangguk pelan. "Pagi, Mas Hafiz."

"Laporan meeting kemarin sudah kamu rangkum?" tanyanya sambil meletakkan tas di mejanya.

"Sudah. Aku kirim ke email tim tadi pagi," jawab Serena singkat.

Hafiz tersenyum kecil. "Kamu memang selalu gercep, ya."

Serena tak tahu harus menjawab apa. Pujian adalah hal langka dalam hidupnya, bahkan dari hal sekecil ini pun hatinya seperti mendapat cahaya kecil. Ia kembali menunduk, menyembunyikan senyum samar yang tak bisa dicegah.

Hari itu, mereka banyak berinteraksi. Hafiz meminta bantuan Serena untuk merapikan data presentasi, dan selama itu, mereka mulai berbicara lebih dari sekadar urusan kerja.

Serena merasa nyaman, meski ia tetap menjaga jarak. Luka lama mengajarkannya untuk tidak mudah percaya.

Sore hari, saat hendak pulang, Hafiz  menyusul Serena di lobi.

"Kamu naik apa pulangnya?" tanyanya.

"Naik bus. Memang kenapa, Mas?"

"Kebetulan aku lewat arah yang sama. Mau bareng? Aku bisa anterin."

Serena ragu sejenak. Dalam hatinya, suara Bibi Nani menggaung: jangan gampang percaya sama orang. Tapi tatapan mata Hafiz jujur. Tidak ada paksaan, hanya tawaran tulus.

"Boleh," jawabnya pelan.

Dan saat itulah, Serena merasakan sesuatu yang asing namun hangat: harapan.

.

Langit senja masih menyisakan semburat jingga ketika Serena melangkah turun dari motor yang dikendarai Hafiz.

Nafasnya belum sepenuhnya teratur, sebagian karena jalanan yang padat, sebagian lagi karena rasa letih yang menggerogoti tubuhnya setelah seharian bekerja.

Rambutnya sedikit kusut, tas kerja disampirkan di bahu kiri, dan senyum tipis ia sempatkan untuk Hafiz.

"Terima kasih ya,Mas Hafiz. Hati-hati di jalan," ucapnya singkat namun tulus.

Hafiz hanya mengangguk, matanya menatap lembut wajah Serena yang tampak lelah. “Iya, Serena. Kamu juga… istirahat yang cukup ya.”

Serena membalas dengan anggukan, lalu membuka pintu pagar besi rumah sederhana itu. Belum sempat ia benar-benar menutup pagar, suara teriakan keras menghantam udara.

“SERENA!!”

Tubuhnya sontak menegang. Suara itu—tidak salah lagi—Bibi Nani.

“DASAR ANAK TAK TAHU DIRI! PAGI-PAGI PERGI, TAPI BAJU KOTOR NUMPUK DI KAMAR MANDI! LANTAI KOTOR KAYAK KANDANG AYAM, NGGAK ADA SEDIKITPUN NIAT MEMBANTU!”

Suara langkah kaki tergesa terdengar dari dalam rumah. Pintu dibuka kasar, dan muncullah sosok Bibi Nani, mengenakan daster motif bunga yang sudah kusut, rambut disanggul asal-asalan, dan wajah merah padam karena emosi.

“Kalau kamu pikir bisa enak-enakan kerja lalu pulang tidur doang, KAMU SALAH! Ini rumah siapa, hah? Rumah kamu?! Bukan! Jadi jangan bertingkah seolah-olah kamu cuma numpang ngaso!”

Serena mematung di depan pintu, bahkan belum sempat menaruh tas. Bibirnya bergetar, ingin menjelaskan bahwa pagi tadi ia terlambat bangun karena begadang menyelesaikan laporan lembur semalam, tapi suara Bibi Nani terlalu keras, terlalu menusuk.

Dari balik pagar, Hafiz yang belum beranjak pergi ikut terpaku. Ia mendengar segalanya. Tubuhnya menegang, ingin maju dan membela Serena, namun kaki seperti tertahan. Ia tahu posisinya bukan siapa-siapa bagi Serena, dan mendengar amukan itu saja sudah membuat dadanya sesak.

Dari tempatnya berdiri, Hafiz bisa melihat mata Serena mulai memerah. Tapi tidak ada air mata. Hanya diam. Seperti biasa, Serena memilih menahan semuanya dalam diam.

Hafiz menggenggam erat stang motornya. Ia ingin berteriak, atau setidaknya memanggil nama Serena—tapi suara Bibi Nani kembali memecah udara.

“Mulai sekarang, jangan harap kamu bisa hidup enak di sini kalau masih males-malesan begitu! Besok, sebelum subuh, semua harus sudah beres. Paham, Serena?!”

Serena mengangguk pelan, suaranya tercekat di tenggorokan.

“Iya, Bi…”

Tak ada yang bisa ia lakukan. Tak ada tempat untuk lari. Ini rumah di mana ia tumbuh, tapi tak pernah benar-benar merasa menjadi bagian darinya.

Hafiz akhirnya menyalakan motornya perlahan, tanpa suara. Ia tahu Serena menyadari kehadirannya, tapi sengaja tidak menoleh. Hafiz pergi, dengan satu janji dalam hati—ia harus lebih dari sekadar penonton. Serena tak pantas terus hidup dalam diam yang menyakitkan seperti ini.

.

Malam turun perlahan, membawa hawa dingin dan bayang-bayang kesepian ke dalam rumah yang tampak hangat dari luar, tapi membekukan hati di dalamnya.

Lampu ruang makan menyala terang. Aroma tumisan buncis, ayam goreng, dan sambal terasi menyebar dari dapur, menggoda perut siapa pun yang lapar setelah seharian bekerja.

Serena berjalan pelan dari kamarnya, hendak ke meja makan dengan harapan bisa mengisi perut yang sejak pagi hanya diberi kopi instan dan sepotong roti kering. Namun langkahnya terhenti begitu suara sinis memecah udara.

"Eh, jangan ikut-ikutan makan ya. Makanan ini bukan buat orang yang kerjaannya cuma bisa bawa malu dan nyusahin!"

Serena menoleh. Di ujung meja duduklah Vina, sepupunya, dengan wajah manis yang diselimuti senyum penuh racun.

Masih mengenakan seragam guru, Vina bersandar santai di kursi sambil menyendok nasi ke piring. Di sebelahnya duduk Bibi Nani yang langsung menimpali:

"Betul kata Vina! Dasar anak tak tahu diri. Ngelunjak! Numpang tinggal tapi nggak tahu aturan. Masih untung dikasih atap, jangan berharap dapet jatah makan juga!"

Serena menunduk, jari-jarinya mengepal tanpa sadar. Suara perutnya sendiri seolah menjadi pengkhianat, merengek minta diisi. Tapi hatinya sudah kenyang—kenyang dengan hinaan, kenyang dengan rasa tak dianggap.

Ia menoleh ke arah Paman Reza yang duduk di kursi ujung, memandangi piringnya sendiri tanpa sepatah kata pun.

Mata mereka sempat bertemu, tapi pria paruh baya itu buru-buru mengalihkan pandangannya, pura-pura sibuk mengaduk sambal.

Tak ada pembelaan. Seperti biasa.

Vina menyeringai, lalu menambahkan, “Malu nggak sih, udah kerja tapi nggak bisa bantu-bantu di rumah? Katanya orang kantoran. Tapi kelakuan... ampun deh. Untung Mama sabar ya, masih mau nerima dia di sini.”

Bibi Nani menimpali cepat, “Kalau bukan karena kasihan sama almarhum kakakku, udah dari dulu dia aku usir! Tapi ya dasar, makin dikasih hati makin ngelunjak!”

Serena menahan napas. Dadanya sesak. Lidahnya kelu. Tak ada satu pun kata yang bisa menembus dinding kebencian yang sudah terlalu tebal di rumah ini.

Dengan langkah pelan, ia berbalik, kembali ke kamarnya. Perutnya kosong, tapi hatinya lebih kosong lagi. Di balik pintu yang ia tutup perlahan, suara tertawa di meja makan terdengar begitu bising. Seakan mengejek sunyi yang ia peluk sendirian.

Di dalam kamar, Serena duduk di lantai, bersandar pada kasur tipis yang mulai usang. Ia membuka tas kerjanya, mengambil sepotong roti sisa bekal pagi tadi—satu-satunya yang bisa ia makan malam ini.

Sambil mengunyah perlahan, matanya menatap langit-langit. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar, “Tuhan... kalau memang harus begini terus, ajarkan aku kuat. Tapi kalau aku pantas bahagia... tolong, jangan terlalu lama.”

Di luar kamar, kehidupan tetap berjalan. Tapi untuk Serena, malam terasa seperti waktu yang membeku. Tak ada tempat baginya di meja makan itu. Tak ada kursi untuknya—bahkan sebagai keluarga.

Uang Gaji Serena selama ini pasti akan diminta oleh Bibi nya, tapi serena hanya memberi nya setengah. Sisanya ia gunakan untuk ongkos dan ditabungkan untuk keperluan mendesak. 

“Sepertinya aku harus keluar dari rumah ini, sudah cukup aku hidup menderita selama ini.” Lirih Serena. 

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!