Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Rafael, 32 tahun. Seorang pria dingin dan berkuasa, pemimpin kelompok kriminal yang beroperasi secara brutal dan penuh perhitungan. Ia tidak menunjukkan belas kasihan, namun di balik sikap tegas dan ancamannya, tersembunyi masa lalu kelam yang membentuk pribadinya. Rafael tak suka ketidakpatuhan dan sangat menjaga rahasia kelompoknya.
Dewi, 22 tahun. Gadis muda yang tangguh meski berasal dari latar belakang keras. Ia bekerja di dunia malam demi bertahan hidup, tapi memiliki hati yang lembut dan keinginan kuat untuk bebas dari kehidupan kelamnya. Tanpa sengaja menyaksikan pembunuhan, Dewi terjebak dalam permainan berbahaya Rafael dan harus mencari cara untuk bertahan.
Langit pagi itu mendung, tapi di dalam rumah besar bergaya klasik tempat Dewi dikurung, sinar matahari nyaris tak pernah menyentuh lantai. Tirai-tirai tebal menutup rapat jendela, dan setiap sudut ruangan terasa seperti menyimpan rahasia. Clara baru saja keluar setelah memberi sarapan, meninggalkan Dewi yang kini bisa berjalan bebas. setidaknya di kamar itu.
Ia mencoba membuka pintu. Tetap terkunci.
Napasnya berat. Kebebasan palsu. Seolah tali di tubuhnya diganti dengan dinding tak terlihat.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di balik pintu. Tapi bukan ketukan lembut milik Clara. Lebih berat. Lebih cepat.
Pintu terbuka. Seorang pria muda masuk. Rambutnya pirang gelap, matanya tajam dan gerak-geriknya seperti binatang liar yang siap menerkam kapan saja. Wajahnya mengingatkan Dewi pada seseorang, tapi ia tak bisa mengingat siapa.
“Baru seminggu di sini dan kau sudah membuat banyak perhatian,” katanya sambil berjalan mengelilingi ruangan.
“Aku heran Rafael tidak langsung membuang mu.”
Dewi berdiri kaku, tubuhnya kembali kaku seperti malam pertama ia tiba. “Siapa kamu?”
“Namaku Matteo,” jawab pria itu singkat, lalu menatap tajam. “Adik tiri Rafael.”
Dewi tersentak. “Kau... mirip...”
“Ya, semua orang bilang begitu,” ucap Matteo sambil menyeringai sinis.
“Tapi kami sangat berbeda. Aku tak bermain-main dengan ancaman seperti dia. Kalau aku yang menemukanmu malam itu... kau sudah mati.”
Napas Dewi tercekat. “Apa yang kau mau?”
Matteo menghampiri, berdiri sangat dekat. “Aku ingin tahu kenapa Rafael membiarkanmu hidup. Dia tak pernah selembut itu, bahkan pada orang-orang kepercayaannya. Clara, misalnya. Kau pikir dia betul-betul peduli padamu?”
Dewi menatap Matteo lekat-lekat. “Clara baik padaku.”
“Clara dulu tunangannya,” ujar Matteo santai.
Dunia Dewi terasa runtuh sesaat. “Apa...?”
“Ya. Tapi itu dulu. Sekarang, dia hanya hantu yang berkeliaran dalam istana ini. Dan kau... hanya korban berikutnya.”
Matteo mendekatkan wajahnya, bisikannya nyaris menyentuh telinga Dewi. “Hati-hati, Dewi. Jangan percaya siapa pun di tempat ini. Bahkan Clara. Apalagi Rafael.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Dewi membeku dalam kebingungan dan ketakutan baru.
...
Malam Hari
Clara datang kembali dengan makanan malam. Dewi duduk di pojok ruangan, memeluk lutut.
“Kau tidak makan?” tanya Clara.
“Siapa Matteo?” tanya Dewi cepat.
Clara terdiam. Tangan yang memegang nampan sedikit gemetar.
“Dia bilang kau dulu tunangan Rafael…”
Clara menunduk. “Aku... dulu percaya dia bisa berubah. Tapi Rafael yang sekarang bukan lagi lelaki yang dulu kucintai.”
Dewi bangkit, matanya berkaca-kaca. “Kau bilang aku bisa percaya padamu.”
“Kau bisa.”
“Tapi kau tidak pernah bilang siapa kau sebenarnya. Kau berbohong, Clara!”
Clara menutup mata sejenak, lalu membuka perlahan. “Aku tetap di sini karena seseorang harus menjaga agar tempat ini tidak sepenuhnya gelap. Karena kalau aku pergi… mungkin tak akan ada lagi yang tersisa dari sisi manusia Rafael.”
Dewi memalingkan wajahnya. Kepercayaan yang sempat tumbuh, kini mulai retak.
...
Sementara itu, Rafael menatap layar monitor yang menunjukkan rekaman dari kamar Dewi. Ia mendengar semua percakapan itu. Wajahnya tenang, tapi jemarinya mengetuk meja dengan ritme tak menentu.
“Matteo bergerak lebih cepat dari yang kupikirkan…” gumamnya.
Salah satu pengawalnya masuk. “Tuan, Matteo menyelinap ke kamar wanita itu pagi ini.”
“Aku tahu.”
“Apa perlu kami cegah?”
Rafael berdiri, matanya penuh bara. “Tidak. Biarkan dia berpikir dia memegang kendali. Tapi awasi dia. Jika dia menyentuhnya… bunuh.”
...
Beberapa Hari Kemudian
Dewi menemukan kertas kecil terselip di bawah bantalnya.
"Malam ini. Pukul dua. Jendela barat. Jangan beritahu siapa pun."
—M
Matanya melebar. Ia berbalik, mencari tanda-tanda siapa yang meletakkannya. Tak ada siapa-siapa.
Jam dinding menunjukkan pukul 1:55 dini hari.
Dewi duduk gelisah di atas ranjang, tangannya menggenggam kertas kecil itu erat-erat. Di luar, angin berdesir pelan, menyapu jendela yang mengarah ke sisi barat rumah. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Sunyi. Terlalu sunyi.
Dia melangkah perlahan ke arah jendela. Tirai tebal ia singkap pelan-pelan. Jendela itu terkunci, tapi seperti yang diinstruksikan dalam catatan Matteo, ada baut yang bisa dilonggarkan dari dalam.
Dengan gemetar, ia membuka baut itu. Satu per satu, hingga jendela terbuka pelan-pelan, mengeluarkan suara berdecit kecil yang menusuk keheningan malam.
“Dewi.”
Suara pelan dari luar mengejutkannya. Matteo muncul dari balik bayangan. Ia mengenakan pakaian serba hitam, menyatu dengan malam.
“Kau datang,” katanya sambil menyodorkan tangan.
Dewi memandang tangannya ragu. “Ke mana kau akan membawaku?”
“Keluar dari tempat ini. Kau tak akan bisa bertahan jika terus di sini. Rafael... dia tak akan membiarkanmu hidup jika kau tak lagi menarik baginya.”
Dengan keraguan yang masih menggelayuti hatinya, Dewi akhirnya menyentuh tangan Matteo. Ia dibantu keluar jendela. Di bawah, rerumputan basah menyentuh kakinya.
“Lewat sini,” bisik Matteo, menariknya menuju pagar samping, di mana sebuah mobil hitam sudah menunggu.
Namun baru beberapa langkah, lampu sorot menyala dari arah atas gedung. Sirine pendek berbunyi.
“Kita ketahuan!” seru Matteo. Ia menggenggam tangan Dewi lebih erat dan mulai berlari.
Beberapa pria berbaju hitam muncul dari balik semak. Dewi menjerit kecil saat suara tembakan terdengar di belakang mereka. Peluru menghantam pohon dekat kakinya.
“Matteo!” teriak Dewi panik.
“Tetap lari!” balasnya.
Mereka berlari menuju hutan kecil di belakang rumah besar itu. Nafas Dewi tersengal, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi ketakutan mengalahkan rasa lelah. Mereka menyusuri jalur licin, berkelok, hingga akhirnya Matteo menariknya masuk ke sebuah gubuk kayu tua yang tersembunyi di antara pepohonan.
Dia mengunci pintu dari dalam dan menyalakan lilin kecil.
“Tenang. Mereka takkan menemukan tempat ini dalam waktu dekat,” ujarnya.
Dewi masih terengah, tubuhnya gemetar. “Kau bilang semuanya aman!”
“Aku tak menduga Rafael akan menambah kamera di sisi barat. Ini jebakan untukku, bukan hanya untukmu,” katanya, wajahnya keras.
“Jadi ini bukan tentang menyelamatkanku?” tanya Dewi lirih.
Matteo menatapnya lama. “Separuhnya ya. Tapi kau juga kunci. Kau membuat Rafael lemah. Itu bisa kupakai.”
Wajah Dewi menegang. “Jadi aku cuma alat bagimu juga?”
Matteo mendekat. “Aku tak pernah pura-pura menjadi pahlawan, Dewi. Tapi aku bisa jadi jalan keluar terakhirmu.”
Sebelum Dewi sempat menjawab, suara kendaraan terdengar mendekat. Sorot lampu menyisir pepohonan.
Matteo mencengkeram lengannya. “Kita harus pergi sekarang.”
Sementara itu, di dalam rumah Rafael
Rafael berdiri di depan layar CCTV, menyaksikan pelarian itu dengan ekspresi dingin. Di belakangnya, Clara berdiri sambil menahan tangis.
“Kau sengaja membiarkan mereka lolos,” kata Clara pelan.
Rafael hanya diam. Matanya tak lepas dari layar.
“Kau ingin tahu siapa yang lebih berani melawa mu: aku, atau dia?” lanjut Clara.
Rafael akhirnya bicara, suaranya berat. “Tidak. Aku ingin tahu siapa yang paling tega mengkhianati ku.”
Kembali ke hutan
Dewi dan Matteo akhirnya mencapai jalan setapak berbatu. Di kejauhan, lampu sebuah pondok kecil terlihat. Matteo menunjuk ke sana.
“Kita istirahat di sana sebentar. Itu tempat persembunyianku.”
Namun sebelum mereka sampai, suara langkah dari dua arah menghentikan mereka.
“Matteo…”
Suara pria lain. Dalam bayang-bayang muncul dua pria bersenjata. Salah satunya menodongkan pistol ke arah Dewi.
“Serahkan perempuan itu. Perintah langsung dari Tuan Rafael.”
Matteo berdiri di depan Dewi, melindunginya.
“Sentuh dia, dan kalian mati.”
Ketegangan mencapai puncak.
Lalu terdengar suara lain dari arah belakang mereka. Clara muncul, tubuhnya dibasahi hujan ringan yang mulai turun. Di tangannya, pistol. Ia menodongkan ke salah satu pria itu.
“Jangan sentuh dia,” ucap Clara.
Dewi menatap wanita itu tak percaya. “Clara…?”
“Aku janji padamu, aku akan melindungi mu… walau itu berarti melawan Rafael.”
Suasana jadi semakin kacau. Tiga pihak, satu konflik. Dan di antara mereka, Dewi. korban, kunci, dan api yang bisa membakar segalanya.