MILAN AND SYDNEY
Tidak ada satu pun kostum yang cocok. Dan semuanya bergeletakan di ranjang bersprei pink dengan bunga-bunga biru langit. Sepatu dan topi dari aneka kostum lainnya berserakan di lantai.
“Semuanya tidak ada yang cocok, Tuan?” tanya Darmaji putus asa.
Untuk kelima kalinya dia melirik jam dinding Hello Kitty di atas ranjang anak majikannya. Sebentar lagi Nyonya akan datang. Dia bisa marah besar bila melihat tuan muda ini belum mengenakan kostumnya. Maka Darmaji pun memunguti kostum-kostum yang berserakan dan menumpuknya di ranjang bersprei pink. Ranjang besar dengan tumpukan boneka menghiasi sandarannya.
Sementara tuan mudanya sedang mematut diri di depan cermin dengan kostum cowboy. Celana berumbai dan sepatu bergerigi di belakang tumit itu bergoyang-goyang ke sana ke mari.
“Sepertinya ini cocok buatku, benar kan?” tanya tuan muda.
“Benar sekali, tuan. Saya bereskan yang lain, ya. Kita harus segera bersiap. Sebentar lagi Nyonya datang dari bandara.”
“Menurutmu, Mama suka ini? Mama sudah membelikan kostum di lemari. Tapi aku tidak suka.”
“Ee... sebaiknya tuan memakai yang dibelikan oleh Nyonya.”
“Tapi aku tidak sukaa....”
Tiba-tiba terdengar detak langkah bergegas sepatu berhak tinggi menaiki tangga, menuju kamar. Darmaji sudah hafal dengan irama langkah itu, maka dengan sigap membereskan sisa kostum yang masih berserakan di lantai. Langkah itu berhenti di depan pintu yang terbuka lebar, dan Darmaji sudah bisa menduga, gestur tinggi langsing berambut hitam menghilat itu berkacak pinggang sembari memindai ruangan.
“Hmm... jadi kalian belum siap juga?
Masa perlu Mama yang turun tangan?”
Dan pandangan wanita yang menyebut dirinya Mama itu jatuh pada tuan muda yang juga sedang berkacak pinggang menghadap kaca sebesar lima kali dirinya.
“Oh, my God ! Kenapa kamu pakai baju menjijikkan itu, Reeey ! Ayo ganti!” sergah Mama yang bergegas mendekati anaknya dan membalikkan badannya dengan kasar.
“Aku suka kostum ini, Ma! Ini gagah!”
“Ini jelek, menjijikkan. Kamu tahu, para koboi itu adalah manusia-manusia sadis, suka membunuh, dan suka menindas orang Indian. Kamu mau jadi seperti mereka?” tanya Mama dengan suara meninggi, dan tangannya dengan cepat mulai memereteli kostum anaknya satu per satu.
“Tapi Ma...”
“Mama sudah membelikan kamu kostum paling indah untuk penampilanmu kali ini. Kamu sudah latihan berbulan-bulan, masa kamu akan meninggalkan begitu saja kelelahanmu selama ini? Come on ... kamu anak kesayangan, Mama. Mama tidak ingin ada satu orang yang tidak bertepuk tangan. Oke?”
Darmaji melihat Tuan mudanya menunduk lemas begitu kostum koboi itu satu per satu meninggalkan badannya. Lalu dengan sigap, Mama membuka lemari besar di sebelah kaca setinggi satu setengah kali tinggi tubuhnya, dan mengeluarkan kostum putim berenda lebar. Renda tipis melingkar seolah membentuk payung berlapis. Asesoris berkilat-kilatnya menyilaukan mata Darmaji ketika majikannya memutar-mutar baju itu, memamerkannya pada sang Tuan muda.
“Lihat Rey... ini baru kostum kamu. Pelatihmu merekomendasikan kostum ini buat tampilanmu hari ini. Mama sudah pesankan dari designer Itali. Cantik bukan?”
Rey melirik kostum itu, lalu melirik Darmaji yang berjingkat keluar kamar. Andai Papa ada di sini, dia pasti menyelamatkan Rey dari Mama. Mama begitu berkuasa atas dirinya, tapi begitu menyayangi dan melindungi dirinya. Meski Mama sibuk membantu bisnis Papa, tapi Mama selalu ada saat Rey membutuhkan. Tapi, Rey tetap lebih nyaman bersama Papa. Kalau bersama Papa, Papa akan mengajaknya berenang dan berkuda. Tapi bila bersama Mama?
Sepuluh menit kemudian, setelah kostum balerina itu membungkus tubuh Rey, mobil yang mereka tumpangi keluar dari gerbang berukir kepala naga. Rumah bernuansa serba coklat di tengah kota. Istana Rey-begitu teman sekelasnya sering menyebut rumah ini.
“Kita tidak ada waktu lagi, sini mendekat. Mama akan berikan sentuhan ajaib Mama buat kamu. Dan semua orang akan terpesona. Sini.”
Rey tak kuasa menolak ketika Mama membuka kotak perhiasannya. Sementara Darmaji mengendarai mobil, dengan dua majikan di belakang sibuk dengan make up. Dia harus datang tepat waktu di acara perpisahan kakak kelas Rey. Rey akan menari balet di sana dan bermain piano.
“Mama tahu apa kata teman-temanku?” tanya Rey di sela-sela kuas lembut yang menyapu wajahnya. Dia tak bisa melarikan diri dari Mama saat ini.
“What?” tanya Mama, asyik
memasang maskara di mata Rey, “pejamkan matamu sebentar.”
“They said I’m freak !”
Mama melotot, “What? Freak? They’re jealous Rey. Begitulah orang miskin melihat orang kaya. Menganggap kita aneh dan gila, hanya karena mereka tidak mampu membeli baju dari luar negeri, make up bermerk yang hanya dipakai artis papan atas. Mereka hanya iri. Let it go, Rey. You are what you’re. Come on, make Mom and Dad proud, will you?”
Rey memejamkan mata. Dan Mama menguasai wajahnya dengan brush dan pensil di sana-sini. Mungkin Mama benar, tapi Rey tetap tidak suka.
“Darmaji, kau sudah siapkan kameranya kan? Papa Rey harus mendapatkan video Rey begitu Rey turun dari panggung! Dia pasti akan meninggalkan rapat Dewan Direksi begitu video Rey masuk ke hapenya.”
“Siap, Nyonya.”
Mobil melambat, dan sejurus kemudian berhenti. Banyak orang bekerumun di sekitar mobil mereka.
“Kenapa berhenti?” tanya Mama gusar.
“Ada karnaval.” Darmaji menjawab sambil melirik kaca spion. Jalanan padat oleh manusia yang menuju satu arah. Tempat umbul-umbul aneka warna bergerak di kejauhan.
“Kenapa kau tidak cari jalan lain? Rey bisa terlambat!” sergah Mama Rey, dan dia dengan cekatan memperbaiki riasan wajahnya.
Rey menatap Mamanya dari samping. Cantik dan anggun. Meski sering berkata kasar pada para pelayan di rumah mereka, tapi hatinya baik. Meski banyak pelayan di rumah, tapi untuk kebutuhan anaknya, harus dia yang melakukannya sendiri. Bahkan Papa apabila libur, kerap tidak mendapatkan banyak waktu bersama Rey. Mama selalu memastikan Rey sudah les piano, sudah les balet, les bahasa inggris, dan rutin ke salon.
Mom prepare you to be famous, Rey.
Rey membalikkan badan. Setelah apa yang dilakukan Mamanya selama 11 tahun ini, dia tak pernah bisa menerimanya dengan lapang dada. Hatinya memberontak, tapi dia tak tahu harus bagaimana. Setiap dia hendak membantah, Mama selalu memberikan penjelasan logis tentang masa depannya.
Kerumunan anak sekolah di sekeliling mobil mereka. Mereka hanya bisa bergerak seperti keong, tidak bisa memutar atau mengambil jalan lain.
“Kita terjebak di sini, Darmaji?” tanya Mama, fokus pada cermin di kotak perhiasannya, memasang maskara dan brush di sana sini.
“Sebentar lagi ada jalan, Nyonya.”
Kerumunan anak berseragam SD di luar mobil menarik perhatian Rey. Ada seraut wajah yang berkali-kali menoleh ke kaca mobil Rey. Perlahan Rey membuka kaca mobil. Seorang gadis berambut sebahu, menjajari mobilnya dan menatap lekat-lekat ke arah Rey. Dia mengamati Rey, dan menjajarkan langkahnya dengan laju mobil Rey.
Rey menatapnya bergeming. Memindai dengan cepat detil wajahnya, bentuk hidungnya, tulang pipinya yang menonjol lembut dan tahi lalat di bawah bibir sebelah kanan. Wajah itu, seperti tidak asing bagi Rey. Dan gadis itu, seperti merasakan hal yang sama. Keningnya bertaut hingga alisnya nyaris beradu.
“Rey! Tutup jendelanya!” sergah Mama, “nanti riasanmu rusak!”
Rey menutup kaca mobil, tepat saat Darmaji sudah bisa melaju mobil. Rey menoleh ke belakang. Gadis itu masih menatap mobilnya, meski Rey yakin dia tidak bisa melihat Rey. Sesuatu menghentak-hentak dalam dadanya. Dilihatnya gadis itu berlari mengejar mobilnya, tapi Darmaji sudah melaju pesat dan berbelok di tikungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Rose Yura🌹
ok ok
2020-11-23
0
Djohan
Kak aku udah mampir nih , menyimpan like dan rate5. Semangat terus ya. Dan jangan lupa mampir blik😊
2020-09-16
0
Yhu Nitha
dh tinggalin jejak ya say..🤗
2020-06-22
0