Mulan Bramantya, istri Ariel Bramantya, pemilik maskapai Eagle Airways. Saat sendirian, dia tak pernah lepas dari ponsel. Jemari lentik bercat kuku yang mendapatkan perawatan rutin di salon kecantikan, tak berhenti menari-nari di atas layar ponselnya. Di ruangan dengan hiasan sketsa hitam putih tergantung memenuhi dinding, dia tampak lebih hidup dari sekelilingnya.
Rumor di antara pegawai maskapai, Mulan tidak akan pernah menduduki kursi Presdir meski dia berambisi memilikinya. Eagle Air adalah bisnis keluarga yang hanya diwariskan pada darah daging Bramantya. Hanya sebuah perusahaan sepatu yang bisa digenggamnya, dengan omzet yang kurang menggairahkan.
“Nyonya Mulan?”
Mulan mendongak sekilas, lalu kembali asyik dengan ponselnya. Lelaki berjas dan berdasi yang baru menyapanya, duduk di sampingnya perlahan, dengan punggung menegak. Mulan hanya melirik sekilas dan sudah memahami apa yang membuat gestur lelaki di sampingnya menegang. Perhatiannya masih belum beralih dari ponselnya. Dia harus selalu update dengan informasi seputar Maskapai. Para istri pegawai yang selalu menyanjung dan memuji kecantikannya, dia harus membagi resepnya gratis di grup-grup whatsapp. Juga rekomendasi salon dan beberapa kosmetik yang tidak murah. Belum lagi para pegawai perempuan yang selalu menilai bahwa pernikahannya dengan Ariel Bramantya adalah pernikahan paling bahagia layaknya putri di negeri dongeng. Dia harus bermurah hati membagikan tips tips pernikahan yang dicarinya di mesin pencari. Sharing sana sini. Semua demi sebuah pengakuan.
“Ada apa di maskapai?” tanyanya setelah beberapa menit kemudian dia memasukkan ponsel ke tas Prada yang senada dengan warna gaunnya.
“Dewan direksi gerah, Nyonya. Ada dua kubu sekarang di sana, dan saya kesulitan menyatukannya.”
Mulan mendecih, padahal ada beberapa direksi perempuan yang beberapa waktu lalu mengundangnya makan malam atau pesta, dengan senyum mengembang penuh kepalsuan. Mulan memang tidak berharap banyak jajaran atas maskapai—terutama yang perempuan—akan memberikan dukungan penuh padanya. Dia tahu, di atas sana mereka juga saling sikut dan saling sikat. Jadi, dia harus merayap di bawah, membangun simpati dari para pegawai.
“Hmm, berapa persen untukku, Ibrahim?”
“Tidak sampai sepuluh persen, Nyonya.”
Mulan meremas gantungan tasnya. Ibrahim bukannya tidak menangkap gerakan tubuh wanita jelita di sampingnya. Dadanya berdegup, nampak jelas di wajahnya yang mulai agak panik, dengan keringat mulai bermunculan di dahinya. Namun dia berusaha menenangkan diri.
“Kau tidak pernah membawa berita buruk padaku, Ib. Ya kan?”
“Benar, Nyonya,” ucap Ibrahim sedikit gugup.
“Lalu, kenapa kau berani datang ke sini....”
Ibrahim mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan memberikannya pada Mulan, setelah sebelumnya memutar sebuah video. Mulan menarik ponsel itu dari tangan Ibrahim dengan kasar. Ibrahim hanya menunduk saja.
“Kenapa video ini bisa ada padamu? Apa semua dewan direksi...
“Video itu membuat prosentase nyonya naik. Sekarang menjadi 35 %.”
Mulan memutar badannya, menatap Ibrahim tak percaya.
“Kenapa? Why? Jangan katakan kalau ini semua karena...” Mulan mendelik tak percaya, dadanya nyaris meledak mendengar prosentase yang disebut Ibrahim.
“Pesawat kita bukan benda mainan, Nyonya. Ada banyak nyawa di dalamnya di setiap penerbangan. Kami tidak mau dipimpin...”
“Aku mengerti. Kau boleh pergi, Ibrahim.”
Ibrahim bangkit dari bangkunya, merapikan jas, sedikit membungkuk pada Mulan lalu detak sepatunya menjauh. Meninggalkan Mulan tersenyum, lebih tepatnya tertawa tertahan.
“Besok pagi jam 9, Ib. Kau tahu aku selalu memberi harga pantas untuk sebuah informasi.”
Ibrahim membalikkan badan dan menyungging senyum. Dipindainya ujung rambut Mulan sampai ujung kaki. Wanita itu menggoyangkan kakinya yang sedang bertumpu, dan Ibrahim sudah mengerti apa maksudnya.
Mulan tertawa kecil ketika Ibrahim membuka pintu kaca dan melangkah keluar. Dia tidak menyangka, jalan itu terbuka begitu mudah baginya. Selama ini, dia mengira semua yang dia lakukan untuk Reynand adalah untuk tidak memberinya tempat. Tapi dampaknya ternyata lebih hebat lagi. Seolah menjentikkan jari dan semua impiannya terwujud seketika. Meski memerlukan 13 tahun, Mulan tidak merasa sia-sia.
“Mama....”
Mulan terkejut mendapati Reynand sudah berdiri di sampingnya. Diliriknya pintu kaca di depan, dan dia merasa lega mendapati Ibrahim sudah keluar dari ruangan. Lelaki itu sudah terlatih untuk datang dan pergi tanpa seorang pun tahu. Reynand tidak boleh tahu apa yang dia rencanakan bersama Ibrahim. Telinga anak kecil itu lebih panjang. Hal remeh bisa menjadi serius bila keluar dari lidah mungilnya. Apalagi bila yang menafsirkan adalah Papanya. Bagi Ariel, Reynand adalah harta paling berharga daripada Maskapainya.
Di tangannya ada selembar kertas dengan sebuah sketsa wajah. “Halo sayang, hari ini kau melukis apa?” tanya Mulan sembari menatap Reynand lembut.
Seorang lelaki jangkung dengan rambut panjang dikuncir, berdiri di belakang Reynand. Dia meletakkan kedua telapaknya di bahu Reynand, lalu menepuknya perlahan. Gerakan khas bagi pelatih lukis seperti dia, untuk membesarkan hati anak didiknya. Sementara dia menggeleng putus asa ke arah Mulan.
Mulan menautkan alis, segera memahami maksud lelaki itu. Namun, seperti biasa dia tersenyum, dan mengambil kertas milik Reynand. Sebulan ini, Reynand memaksa untuk belajar melukis, dan meminta les piano dan balet sementara dihentikan. Semula Mulan begitu marah, tapi Bramantya memenangkan argument, seperti biasa. Maka jadilah, sebulan ini dia mengubah jadwal pertemuan dengan komunitas sosialitanya, dan terpuruk setiap hari di Galery lukis. Tapi, kali ini, dia merasa pengorbanannya sangat layak, untuk sebuah prosentase baru. 35 %.
“Jadi kau menggambar ....”
“Aku... aku... “ sahut Reynand terbata, sembari menelan ludah.
“Ini? Kau menggambar dirimu sendiri? Ini keren sekali,” ucap Mulan, nyaris histeris, “Mama akan memajangnya di kamarmu, dengan pigura berukir. Akan mama pesankan sebentar lagi.”
“Apa lukisanku bagus, Ma?”
“Kamu memang luar biasa. Ayo kita pulang. Sebelumnya kita ke salon dulu ya? Sudah seminggu kau sibuk berlatih melukis. Saatnya perawatan. Lihat, bintik-bintik hitam mulai muncul di hidungmu. Kau pasti lupa lagi, selesai melukis, jangan mengusap wajah dengan tangan sebelum cuci tangan.”
Reynand hanya diam ketika Mamanya memindai wajahnya. Menyentuh kedua pipinya dan menolehkan wajahnya ke sana kemari, demi memindai semua lekuk wajahnya. Jangan sampai ada noda di sana.
Di dalam mobil yang dikendarai Darmaji, Mama kelihatan begitu senang dengan hasil lukisan Reynand. Dia berkali-kali menatap lukisan itu, membentangkannya dan tersenyum berkali-kali.
“Mama akan memajangnya di kamarmu, supaya kamu bisa melihatnya setiap saat. Kamu memang hebat, Rey. Akan mama datangkan pelukis dari Milan, untuk khusus melatihmu. Bagaimana?”
Rey menatap Mamanya. Mama kelihatan berbeda hari ini. Dia memang selalu senang dengan semua pencapaian hasil les Rey. Les piano, les balet, les bahasa Inggris, les akting, les vokal. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak hanya senang. Dia luar biasa senang, seolah-olah kembang api meledak-ledak di dadanya.
Rey ingat bagaimana Mama menolak keras keinginannya les melukis, hingga kedua orang tuanya bertengkar. Rey tidak bisa membayangkan bila besok dia menyampaikan kalau sudah tidak ingin melukis lagi. Karena dia berhasil melukis wajah itu. Wajah yang tidak bisa dilupakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Rose Yura🌹
like maratonnnnnn
2020-11-23
1
SYILA
come and get me
2020-06-20
0
¥¥ Devdan ¥¥
Suka. Oke lanjut
2020-06-03
0