Makan malam berlangsung dingin, meski semua makanan yang terhidang bersuhu hangat. Reynand hanya mengambil salad, setelah itu minum air beberapa teguk. Mamanya makan dengan porsi lebih banyak. Lebih banyak lauk maksudnya. Hud nyaris geleng-geleng kepala kalau tidak menyadari bahwa porsi makan dia tidak jauh berbeda dengan Mama Reynand.
“Itu porsi pendaki gunung, Mam,” seru Hud dalam hati. Sebenarnya dia keheranan dengan porsi makan Mama Rey. Sebanyak itu seharusnya tidak membuatnya begitu langsing. Ini makan malam. Kecuali setelah ini dia berlari lima kilometer.
Baru saja Hud menyudahi makannya, lelaki berbadan gelap–yang dipanggil Dar oleh Reynand—itu muncul lagi. Sepertinya, lelaki ini paling banyak tahu urusan rumah besar ini. Darmaji adalah kepala pelayan, tangan kanan Mama Reynand di rumah ini.
“Nyonya, Tuan Pengacara sudah datang.”
Mama Reynand tersenyum, mengelap bibirnya dan bangkit dari kursinya dengan anggun dan menuju pintu di belakangnya.
Reynand masih mengetuk-ngetuk piring saladnya yang sudah kosong. Darmaji menunggu Reynand, tanpa merasa terganggu dengan suara ketukan piring yang bagi Hud bernada morse. Ketukan itu sangat dihafalnya karena bisa jadi menjadi penyelamat jika dia sedang dalam bahaya. Reynand tidak sedang dalam bahaya. Dia gugup atau lebih tepatnya takut. Hud bisa melihat wajah bersih itu lebih pucat dari biasanya, tapi berusaha keras untuk tampak tenang.
“Hud, temani aku ya?” desis Rey perlahan, tanpa menoleh. Tatapannya tertuju pada Mamanya yang berjalan anggun meninggalkan ruang makan, dan membuka sebuah pintu besar di ujung sana, lalu menghilang.
Hud mengangguk. Sepertinya ini akan menjadi momen penting, seperti yang disampaikan Reynand. Hingga dia minta Hud menemaninya. Kode morse itu terhenti. Reynand meletakkan sendok perlahan di sebelah piring, lalu bangkit dari kursi.
“Tapi... bukankah ini acara keluargamu? Mana yang lain?”
“Hanya aku dan Mama. Kami tidak punya keluarga lain.”
Hud mengangguk, lalu mengikuti Reynand meninggalkan ruang makan. Sebelumnya melirik sisa makanan di meja dan berpikir apakah bisa membungkus semua sisanya untuk dibawa ke tempat kost. Hal yang sangat membahagiakan bagi teman-temannya. Tapi tentu saja Rey tidak akan mau melakukan hal itu. Dia bukan tipe mahasiswa yang memanfaatkan momen makan malam gratis seperti ini untuk perbaikan gizi.
***
Hud yakin ini adalah ruang kerja almarhum Papa Reynand. Ada meja kerja dan satu set sofa untuk tamu. Dindingnya berhias foto pesawat. Ada foto besar Papa Reynand, seorang diri. Juga ada foto berjajar ala stakeholder. Mungkin dengan jajaran pejabat di kantornya. Tidak ada foto keluarga di ruang ini.
Yang disebut Tuan Pengacara adalah seorang lelaki tambun berkacamata baca yang melorot ke hidung. Rupanya dia sudah menunggu di ruangan ini. Dia bangkit dan mengangguk hormat ketika Reynand masuk. Mama Reynand duduk di meja kerja almarhum suaminya.
“Hanya ini saja? Tidak ada lagi yang lain?” tanya Tuan Pengacara.
“Apa di surat wasiat suamiku ada nama lain, Pengacara Juventus?” tanya Mama Reynand ketus.
“Julius, Nyonya.”
“Maaf. Pengacara Julius.”
Hud mengatupkan bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan tawa. Dia mengambil posisi berdiri di sebelah Darmaji, di dekat pintu. Menunjukkan bahwa mereka bukan bagian anggota keluarga.
Kini mereka semua duduk berempat di sofa. Pengacara Julius membuka koper di hadapannya dan mengeluarkan secarik kertas.
“Segera bacakan surat wasiat suamiku Pengacara Julius, biar urusan ini segera selesai.”
Pengacara Julius berdehem, “Begini Nyonya Mulan Brahmantya dan Tuan Reynand Milan Brahmantya. Almarhum Tuan Ariel Bramantya pernah menuliskan surat wasiat ini, dua bulan yang lalu dan berpesan pada saya untuk membacakan 1 surat wasiat saja.”
“Satu? Memangnya ada berapa?” tanya Mama curiga.
“Ada dua. Satu untuk anda berdua. Dan satu untuk Tuan Reynand.”
“Bacakan semua!” perintah Mama Reynand.
“Mohon maaf, Nyonya. Sebelumnya saya sampaikan. Bahwa alasan almarhum menuliskan surat wasiat ini adalah .....”
Pengacara Julius memandang Reynand dan Mamanya bergantian. Hud merasa suasana menegang, karena dia melihat Reynand yang semula bersandar santai di sofa, menegakkan punggungnya.
“Karena almarhum menerima surat ancaman pembunuhan.”
Reynand terperangah, begitu juga Mamanya.
“Pembunuhan? Suamiku tidak pernah bercerita seperti itu.”
Pengacara Julius menarik napas, “Polisi sudah menerima pengaduan ini dan sampai hari ini masih melakukan penyelidikan. Meski laporan kecelakaan pesawat itu murni kecelakaan, tapi polisi masih menduga ada kaitannya dengan surat ancaman itu.”
***
Reynand melirik mamanya. Mama kelihatan resah, dia mulai tampak gugup. Dan matanya mulai berair.
“Suamiku tidak pernah bercerita apa-apa tentang hal ini.”
“Dia tidak ingin anda berdua khawatir. Makanya dia mempersiapkan semuanya. Termasuk surat warisan ini. “
Sepertinya Mama Reynand tidak lagi tertarik mendengarkan isi surat wasiat. Dia bangkit dari duduknya, berjalan mondar mandir. Duduk dan berdiri lagi. Dia kesulitan menenangkan diri.
“Apa polisi belum menemukan siapa yang mengirim surat ancaman?” tanyanya kemudian.
Pengacara Julius menggeleng, “Polisi akan ke mari besok pagi untuk mulai melakukan investigasi intensif. Saya dengar, ada mekanik pesawat yang ditumpangi almarhum, sehari sebelum kecelakaan mendadak mengundurkan diri. Sampai sekarang polisi mencari orang itu. Dia menghilang.”
Hud menghela nafas. Ternyata semua ini di luar dugaannya. Reynand hanya duduk menunduk dan meremas-remas jemari. Hud melihat matanya berkaca-kaca.
“Saya bacakan surat wasiat yang pertama. Teruntuk istri dan anakku. Aku mencintai kalian berdua. Semua yang aku kerjakan dan usahakan selama ini, hanya untuk mewariskannya pada kalian berdua. Untuk itu, sepeninggalku, tolong jaga apa yang telah aku usahakan begitu keras selama hidupku. Untuk istriku, aku memberikanmu rumah beserta isinya, termasuk 2 mobil kita, pabrik sepatu NILAM di Sidoarjo. Untuk anakku Reynand, aku mewariskan Restoran BLUESTAR dan maskapai EAGLE.”
“Apa? Maskapai itu untuk Reynand? Bisa apa dia mengelola maskapai? Dia saja kuliah di Desain, tidak ada kaitannya dengan maskapai.”
Mama Reynan histeris, sedangkan Reynand biasa saja, seolah mendengar angina mendesau.
“Selama Tuan Reynand belum siap menghandle maskapai, dewan direksi yang akan menangani semuanya. Bila Tuan Reynand sudah siap, beliau akan menjadi Presiden Direktur.”
Mama menggebrak meja. Pengacara Julius sepertinya sudah siap dengan reaksi yang diterimanya. Dengan tenang, dia melipat surat wasiat dan mengembalikan ke dalam koper.
“Satu surat wasiat lagi, almarhum meminta membacakan bila Tuan Reynand sudah menjabat menjadi Presiden Direktur.”
Mama Reynand mengeram gusar. Sepertinya, hak Reynand sangat dia harapkan akan jatuh padanya.
“Maskapai itu, aku merintisnya bersama suamiku. Kami jatuh bangun, berdarah-darah. Kalau tidak ada aku, pasti suamiku sudah lama masuk penjara karena tidak bisa melunasi hutang. Maskapai itu adalah hidup dan matiku! Kau tidak berhak mendapatkannya, Reynand! Anak haraaaam!”
***
Hud terperajat. Dia menoleh ke arah Reynand. Soktak dia berusaha mencari makna di balik kata-kata terakhir Mama Reynand. Dia memindai Reynand dan mamanya berkali-kali. Bila Reynand anak haram, pastilah dia tidak mirip sama sekali dengan Mamanya. Dan itu benar! Reynand begitu putih bersih, meski tanpa perawatan. Dan kulit mamanya agak gelap, hanya putih di bagian wajah dan leher, karena perawatan!
Reynand bangkit dari duduknya, mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah buku kecil berwarna hijau. Dia mengangkat buku kecil itu ke udara.
“Aku bukan anak haram. Ini surat nikah Papa dan ibuku. Papa memberikan padaku, untuk kuserahkan pada ibuku. Papa memberiku tugas, untuk mencari ibuku yang sebenarnya, yang sudah Mama usir dari rumah ini!”
“Kau anak haram! Anak babu! Anak *******!” jerit Mama histeris sambil menunjuk Reynand dengan mata merah menyala. Nyata sekali kebencian yang sudah dipendamnya, semua meledak di hari ini.
Hud bangkit dan memegang pundak Reynand. Ini saatnya dia menjalankan tugas, mencegah Reynand terpancing emosi.
“Mama perlu tahu. Surat nikah ini aku dapatkan dari Papa, dua bulan yang lalu. Bisa jadi setelah dia mendapat surat ancaman itu. Jadi, aku sudah tahu bahwa selama ini, Mama bukan ibuku.”
Mama Reynand terbahak pedih, “Kau memang ******* seperti ibumu! Merebut suami majikan sendiri! Tidak salah kalau aku mendidikmu menjadi pecundang!”
Hud merasa tubuh Reynand bergetar. Kata-kata terakhir itu, memahamkan Hud pada satu gambar besar di hadapannya. Reynand terpancing amarah. Dan Hud segera menggamit lengannya, menariknya keluar ruangan. Tapi Reynand menahan berat badannya, meski kekuatannya tak sebanding Hud. Hud melonggar.
“Mama tahu, apa yang Papa katakan saat memberiku buku ini? Papa menikahi ibu, agar supaya Mama bisa tetap menjadi istri Papa. Papa harus punya keturunan. Dan itu hanya bisa Papa dapatkan dari ibu. Yaitu aku.”
Reynand sontak berbalik dan bergegas keluar ruangan. Terdengar Mamanya berteriak histerik memaki Reynand dengan kata-kata yang lebih mengerikan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Van Theglang Town
good
2020-11-23
0
Yhu Nitha
like ampe eps ini dlu., nx lanjut lgi 🙏✌
2020-06-22
0
¥¥ Devdan ¥¥
Keren
2020-06-10
0