Matahari senja menimbulkan bayangan panjang Hud dan Reynand di depan pagar. Reynand menggenggam besi pagar dan menatap ke dalam halaman yang luas. Sebuah rumah bertingkat dengan pilar-pilar coklat menjulang di dalam sana. Dengan ornamen ukiran yang senada. Rumah coklat, Reynand dulu pernah menyebutnya, meski semua teman sekolahnya dulu menyebutnya Istana Rey. Semua warna di rumah itu, dari eksterior sampai interior berwarna coklat dengan gradasi berbedaman
Hud pernah bertanya apa profesi Papa Reynand ketika mendengar kabar Papanya meninggal karena kecelakaan pesawat. Reynand hanya menjawab kalau Papanya seorang pengusaha. Tapi melihat rumah besar yang pilar-pilarnya nyaris menyamai Gedung Grahadi, pastinya Papa Reynand bukan pengusaha biasa. Bisa jadi, omsetnya melebihi APBD Kota
“Kalau saja aku tidak mengenalmu, aku enggan bertamu ke sini,” ucap Hud lirih. Sudah lima belas menit mereka menunggu sejak Reynand memencet bel. Sampai Hud mengira, jangan-jangan mereka lewat gerbang belakang.
“Mama pasti sudah tahu kalau aku datang....”
“Dari CCTV itu kan?” ucap Hud seraya mendongakkan dagunya ke arah kamera kecil di pojok pagar. Reynand tidak mengikuti arah pandangan Hud. Dia masih saja menggenggam pagar.
“Dia hanya sedang mengumpulkan kebencian yang terserak, “ gumam Reynand. Tidak ada nada pedih di kalimatnya, bahkan wajahnya tanpa ekspresi, seolah dia terbiasa menerima kebencian. Sungguh hubungan keluarga yang aneh. Harta memang bukan jaminan kebahagiaan.
“Dia sudah tahu?”
Reynand menoleh ke arah Hud, “Yang mana yang kau maksud? Tentang diriku atau tentang warisanku?”
“Keduanya.”
Reynand diam, dan Hud tak menuntut jawaban. Meski dia 100 % penasaran. Seorang lelaki separuh baya berjalan mendekati pagar, dengan beberapa kunci menggantung di tangannya. Gemerincing kunci yang saling beradu membuat Hud bernafas lega. Lelaki itu tak hendak mengusir mereka berdua.
“Tuan Reynand, Nyonya sudah menunggu, “ ucap lelaki berbadan gelap itu hormat.
Sejurus kemudian, Hud dan Reynand sudah berjalan melintasi halaman berumput, tepat ketika adzan maghrib berkumandang. Di depan pintu, Reynand menegak sejenak, lalu berbalik. Hud mencegahnya.
“Jangan menyerah, Rey!”
“Kita sholat dulu.”
Hud mengangguk paham. Mereka lalu berjalan mengitari rumah besar itu, dan mendapati sebuah bangunan kecil di pojok belakang rumah. Di sebelah garasi dengan tiga mobil di dalamnya. Mobil sport warna merah, honda jazz pink muda dan sebuah travelo hitam legam. Kata Reynand, Papanya membelikan mobil sport itu untuknya ketika ulang tahun ke-17. Tapi Mamanya tak pernah mengizinkan dia memakainya.
“Mobil itu memang terlalu keren buat kamu, Hud, “ batin Hud.
Bagi Hud, Reynand adalah anak tunggal yang ingin lari dari kekangan Mamanya. Setahun yang lalu, dia masuk ke kos-kosan dan tinggal bersama Hud. Padahal, rumahnya ada di kota ini. Dia bisa berangkat kuliah dengan mengendarai mobil Honda Jazz pink dari rumahnya. Tapi dia justu memilih tempat kost yang berada di pemukiman padat, keluar masuk gang. Ke kampus pun dia harus berjalan kaki. Tapi untuk urusan makan dan mencuci pakaian, memang kelihatan bedanya dengan Hud. Setiap hari ada laundry yang menjemput dan mengantar pakaian Reynand. Dan Hud tak pernah melihat Reynand pulang membawa nasi bungkus.
Selepas maghrib, lelaki berbadan gelap itu muncul lagi dari balik pintu mushola.
“Nyonya sudah menunggu, bersama Tuan Pengacara,” ucapnya sembari menatap Reynand sekilas, setelah itu menunduk hormat.
“Temanku ini belum makan, Dar,” ucap Reynand setelah selesai merapikan sarung dan sajadahnya. Di mushola itu terdapat sebuah lemari tempat menyimpan peralatan sholat. Lebih bersih dan rapi dari mushola dekat tempat kost. Tapi Reynand tidak pernah ke sana. Hanya Hud dan beberapa teman kost yang rutin berjamaah di mushola itu.
“Nyonya menunggu di ruang makan,” sahut Dar, masih tetap menunduk.
“Oke, ayo Hud. Kita makan dulu!”
Hud dan Reynand pun menyandang tas ransel masing-masing, memakai sepatu kets sekenanya, dan mengikuti langkah Dar.
Ruang makan itu sebesar rumah kost mereka. Rumah kost mereka terdiri dari 10 kamar di lantai bawah dan 10 kamar di lantai atas. Selasar tengah tempat parkir dan jemuran. Sedangkan ruang makan ini, hanya satu ruangan luas dengan meja makan besar di tengah, lampu kristal putih menggantung di atasnya, dengan ornamen langit-langit yang mengesankan. Di sepanjang dinding ada aneka lukisa bertema alam bebas.
Hud tak menyangka bila Papa Reynand sekaya ini. Ini lebih pantas disebut aula kantor gubernur daripada ruang makan.
“Teman itu cermin. “
Sebuah suara menghentikan langkah kaki Reynand dan Hud yang hendak menggeser kursi untuk menempati posisi duduk. Hidangan sudah siap disantap. Dua orang wanita berseragam berdiri di kedua ujung meja. Hud bersyukur sejak siang dia belum makan, hingga dia bisa mencicipi semua hidangan di meja.
“Mama ....”
Reynand berjalan mendekati sumber suara. Seorang wanita berpakaian kuning emas baru saja memasuki ruangan dari pintu seberang pintu Reynand dan Hud masuk. Reynand meraih tangan wanita berkulit putih bersih itu dan menciumnya. Setelah itu, dia berjalan kembali dan duduk di samping Hud.
Hud sedikit terkejut. Seorang anak tidak akan bersikap seperti itu pada ibunya, apalagi ini masih dalam masa berkabung. Bukankah seharusnya mereka saling berpelukan dan bertangisan, saling menumpahkan rasa bahwa betapa tanpa Papa di antara mereka, hidup terasa hampa. Tapi pemandangan itu tidak ada. Hud menelan ludah. Sepertinya suasana makan malam ini akan begitu dingin. Bisa jadi, tak satupun makanan bisa lancar masuk ke lambungnya.
“Ini Hud, temanku. Hud, itu Mamaku, “ ucap Reynand datar, lalu meraih sepotong lemon dan melahapnya.
Hud bergerak mendekati wanita kuning emas itu, tapi wanita itu hanya mengangguk sedikit, memberi jarak.
“Hm, jadi kau teman sekamar Reynand?”
“Ya, Bu. Kami sekamar,” ucap Hud sembari sedikit membungkuk hormat.
Wanita kuning emas itu mengambil tempat duduk di ujung meja. Di belakangnya, dua pelayan wanita siap melayani keperluannya. Membukakan piring, menuang minuma dan mendekatkan posisi beberapa porsi makanan.
Wanita kuning emas itu menopang dagu dengan kedua punggung tangan yang ditautkan. Dia memindai Hud dan Reynand bergantian.
“Reynand, aku yakin kau tidak lagi datang ke Tante Nurin. Mama yakin sudah lebih dari enam bulan kamu tidak lagi melakukan perawatan. Kamu kusam!”
Hud menoleh ke arah Reynand. Perawatan? Yang benar saja. Tapi ... Hud ingat ketika pertama kali Rey datang ke tempat kost. Seperti artis korea baru selesai jumpa fans. Baju mahal ketat dan berleher rendah, wajah menghilap dan bau parfum mahal. Hud nyaris tidak yakin kalau Reynand lelaki tulen. Kini Reynand, jauh dari itu. Jadi, dia memang terpenjara oleh aturan Mama-nya selama ini, dan tempat kost adalah alam bebasnya.
Tidak ada lagi perawatan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Rose Yura🌹
haiiii
2020-06-20
0
.
seru banget bacanya. asliii seruuu.
2020-06-07
0
.
semangat Kakakkkk
2020-06-07
0