NovelToon NovelToon

MILAN AND SYDNEY

7 Years Before

Tidak ada satu pun kostum yang cocok. Dan semuanya bergeletakan di ranjang bersprei pink dengan bunga-bunga biru langit. Sepatu dan topi dari aneka kostum lainnya berserakan di lantai.

“Semuanya tidak ada yang cocok, Tuan?” tanya Darmaji putus asa.

Untuk kelima kalinya dia melirik jam dinding Hello Kitty di atas ranjang anak majikannya. Sebentar lagi Nyonya akan datang. Dia bisa marah besar bila melihat tuan muda ini belum mengenakan kostumnya. Maka Darmaji pun memunguti kostum-kostum yang berserakan dan menumpuknya di ranjang bersprei pink. Ranjang besar dengan tumpukan boneka menghiasi sandarannya.

Sementara tuan mudanya sedang mematut diri di depan cermin dengan kostum cowboy. Celana berumbai dan sepatu bergerigi di belakang tumit itu bergoyang-goyang ke sana ke mari.

“Sepertinya ini cocok buatku, benar kan?” tanya tuan muda.

“Benar sekali, tuan. Saya bereskan yang lain, ya. Kita harus segera bersiap. Sebentar lagi Nyonya datang dari bandara.”

“Menurutmu, Mama suka ini? Mama sudah membelikan kostum di lemari. Tapi aku tidak suka.”

“Ee... sebaiknya tuan memakai yang dibelikan oleh Nyonya.”

“Tapi aku tidak sukaa....”

Tiba-tiba terdengar detak langkah bergegas sepatu berhak tinggi menaiki tangga, menuju kamar. Darmaji sudah hafal dengan irama langkah itu, maka dengan sigap membereskan sisa kostum yang masih berserakan di lantai. Langkah itu berhenti di depan pintu yang terbuka lebar, dan Darmaji sudah bisa menduga, gestur tinggi langsing berambut hitam menghilat itu berkacak pinggang sembari memindai ruangan.

“Hmm... jadi kalian belum siap juga?

Masa perlu Mama yang turun tangan?”

Dan pandangan wanita yang menyebut dirinya Mama itu jatuh pada tuan muda yang juga sedang berkacak pinggang menghadap kaca sebesar lima kali dirinya.

“Oh, my God ! Kenapa kamu pakai baju menjijikkan itu, Reeey ! Ayo ganti!” sergah Mama yang bergegas mendekati anaknya dan membalikkan badannya dengan kasar.

“Aku suka kostum ini, Ma! Ini gagah!”

“Ini jelek, menjijikkan. Kamu tahu, para koboi itu adalah manusia-manusia sadis, suka membunuh, dan suka menindas orang Indian. Kamu mau jadi seperti mereka?” tanya Mama dengan suara meninggi, dan tangannya dengan cepat mulai memereteli kostum anaknya satu per satu.

“Tapi Ma...”

“Mama sudah membelikan kamu kostum paling indah untuk penampilanmu kali ini. Kamu sudah latihan berbulan-bulan, masa kamu akan meninggalkan begitu saja kelelahanmu selama ini? Come on ... kamu anak kesayangan, Mama. Mama tidak ingin ada satu orang yang tidak bertepuk tangan. Oke?”

Darmaji melihat Tuan mudanya menunduk lemas begitu kostum koboi itu satu per satu meninggalkan badannya. Lalu dengan sigap, Mama membuka lemari besar di sebelah kaca setinggi satu setengah kali tinggi tubuhnya, dan mengeluarkan kostum putim berenda lebar. Renda tipis melingkar seolah membentuk payung berlapis. Asesoris berkilat-kilatnya menyilaukan mata Darmaji ketika majikannya memutar-mutar baju itu, memamerkannya pada sang Tuan muda.

“Lihat Rey... ini baru kostum kamu. Pelatihmu merekomendasikan kostum ini buat tampilanmu hari ini. Mama sudah pesankan dari designer Itali. Cantik bukan?”

Rey melirik kostum itu, lalu melirik Darmaji yang berjingkat keluar kamar. Andai Papa ada di sini, dia pasti menyelamatkan Rey dari Mama. Mama begitu berkuasa atas dirinya, tapi begitu menyayangi dan melindungi dirinya. Meski Mama sibuk membantu bisnis Papa, tapi Mama selalu ada saat Rey membutuhkan. Tapi, Rey tetap lebih nyaman bersama Papa. Kalau bersama Papa, Papa akan mengajaknya berenang dan berkuda. Tapi bila bersama Mama?

Sepuluh menit kemudian, setelah kostum balerina itu membungkus tubuh Rey, mobil yang mereka tumpangi keluar dari gerbang berukir kepala naga. Rumah bernuansa serba coklat di tengah kota. Istana Rey-begitu teman sekelasnya sering menyebut rumah ini.

“Kita tidak ada waktu lagi, sini mendekat. Mama akan berikan sentuhan ajaib Mama buat kamu. Dan semua orang akan terpesona. Sini.”

Rey tak kuasa menolak ketika Mama membuka kotak perhiasannya. Sementara Darmaji mengendarai mobil, dengan dua majikan di belakang sibuk dengan make up. Dia harus datang tepat waktu di acara perpisahan kakak kelas Rey. Rey akan menari balet di sana dan bermain piano.

“Mama tahu apa kata teman-temanku?” tanya Rey di sela-sela kuas lembut yang menyapu wajahnya. Dia tak bisa melarikan diri dari Mama saat ini.

“What?” tanya Mama, asyik

memasang maskara di mata Rey, “pejamkan matamu sebentar.”

“They said I’m freak !”

Mama melotot, “What? Freak? They’re jealous Rey. Begitulah orang miskin melihat orang kaya. Menganggap kita aneh dan gila, hanya karena mereka tidak mampu membeli baju dari luar negeri, make up bermerk yang hanya dipakai artis papan atas. Mereka hanya iri. Let it go, Rey. You are what you’re. Come on, make Mom and Dad proud, will you?”

Rey memejamkan mata. Dan Mama menguasai wajahnya dengan brush dan pensil di sana-sini. Mungkin Mama benar, tapi Rey tetap tidak suka.

“Darmaji, kau sudah siapkan kameranya kan? Papa Rey harus mendapatkan video Rey begitu Rey turun dari panggung! Dia pasti akan meninggalkan rapat Dewan Direksi begitu video Rey masuk ke hapenya.”

“Siap, Nyonya.”

Mobil melambat, dan sejurus kemudian berhenti. Banyak orang bekerumun di sekitar mobil mereka.

“Kenapa berhenti?” tanya Mama gusar.

“Ada karnaval.” Darmaji menjawab sambil melirik kaca spion. Jalanan padat oleh manusia yang menuju satu arah. Tempat umbul-umbul aneka warna bergerak di kejauhan.

“Kenapa kau tidak cari jalan lain? Rey bisa terlambat!” sergah Mama Rey, dan dia dengan cekatan memperbaiki riasan wajahnya.

Rey menatap Mamanya dari samping. Cantik dan anggun. Meski sering berkata kasar pada para pelayan di rumah mereka, tapi hatinya baik. Meski banyak pelayan di rumah, tapi untuk kebutuhan anaknya, harus dia yang melakukannya sendiri. Bahkan Papa apabila libur, kerap tidak mendapatkan banyak waktu bersama Rey. Mama selalu memastikan Rey sudah les piano, sudah les balet, les bahasa inggris, dan rutin ke salon.

Mom prepare you to be famous, Rey.

Rey membalikkan badan. Setelah apa yang dilakukan Mamanya selama 11 tahun ini, dia tak pernah bisa menerimanya dengan lapang dada. Hatinya memberontak, tapi dia tak tahu harus bagaimana. Setiap dia hendak membantah, Mama selalu memberikan penjelasan logis tentang masa depannya.

Kerumunan anak sekolah di sekeliling mobil mereka. Mereka hanya bisa bergerak seperti keong, tidak bisa memutar atau mengambil jalan lain.

“Kita terjebak di sini, Darmaji?” tanya Mama, fokus pada cermin di kotak perhiasannya, memasang maskara dan brush di sana sini.

“Sebentar lagi ada jalan, Nyonya.”

Kerumunan anak berseragam SD di luar mobil menarik perhatian Rey. Ada seraut wajah yang berkali-kali menoleh ke kaca mobil Rey. Perlahan Rey membuka kaca mobil. Seorang gadis berambut sebahu, menjajari mobilnya dan menatap lekat-lekat ke arah Rey. Dia mengamati Rey, dan menjajarkan langkahnya dengan laju mobil Rey.

Rey menatapnya bergeming. Memindai dengan cepat detil wajahnya, bentuk hidungnya, tulang pipinya yang menonjol lembut dan tahi lalat di bawah bibir sebelah kanan. Wajah itu, seperti tidak asing bagi Rey. Dan gadis itu, seperti merasakan hal yang sama. Keningnya bertaut hingga alisnya nyaris beradu.

“Rey! Tutup jendelanya!” sergah Mama, “nanti riasanmu rusak!”

Rey menutup kaca mobil, tepat saat Darmaji sudah bisa melaju mobil. Rey menoleh ke belakang. Gadis itu masih menatap mobilnya, meski Rey yakin dia tidak bisa melihat Rey. Sesuatu menghentak-hentak dalam dadanya. Dilihatnya gadis itu berlari mengejar mobilnya, tapi Darmaji sudah melaju pesat dan berbelok di tikungan.

 

 

7 Years Before (2)

Mulan Bramantya, istri Ariel Bramantya, pemilik maskapai Eagle Airways. Saat sendirian, dia tak pernah lepas dari ponsel. Jemari lentik bercat kuku yang mendapatkan perawatan rutin di salon kecantikan, tak berhenti menari-nari di atas layar ponselnya. Di ruangan dengan hiasan sketsa hitam putih tergantung memenuhi dinding, dia tampak lebih hidup dari sekelilingnya.

Rumor di antara pegawai maskapai, Mulan tidak akan pernah menduduki kursi Presdir meski dia berambisi memilikinya. Eagle Air adalah bisnis keluarga yang hanya diwariskan pada darah daging Bramantya. Hanya sebuah perusahaan sepatu yang bisa digenggamnya, dengan omzet yang kurang menggairahkan.

“Nyonya Mulan?”

Mulan mendongak sekilas, lalu kembali asyik dengan ponselnya. Lelaki berjas dan berdasi yang baru menyapanya, duduk di sampingnya perlahan, dengan punggung menegak. Mulan hanya melirik sekilas dan sudah memahami apa yang membuat gestur lelaki di sampingnya menegang. Perhatiannya masih belum beralih dari ponselnya. Dia harus selalu update dengan informasi seputar Maskapai. Para istri pegawai yang selalu menyanjung dan memuji kecantikannya, dia harus membagi resepnya gratis di grup-grup whatsapp. Juga rekomendasi salon dan beberapa kosmetik yang tidak murah.  Belum lagi para pegawai perempuan yang selalu menilai bahwa  pernikahannya dengan Ariel Bramantya adalah pernikahan paling bahagia layaknya putri di negeri dongeng. Dia harus bermurah hati membagikan tips tips pernikahan yang dicarinya di mesin pencari. Sharing sana sini. Semua demi sebuah pengakuan.

“Ada apa di maskapai?” tanyanya setelah beberapa menit kemudian dia memasukkan ponsel ke tas Prada yang senada dengan warna gaunnya.

“Dewan direksi gerah, Nyonya. Ada dua kubu sekarang di sana, dan saya kesulitan menyatukannya.”

Mulan mendecih, padahal ada beberapa direksi perempuan yang beberapa waktu lalu mengundangnya makan malam atau pesta, dengan senyum mengembang penuh kepalsuan. Mulan memang tidak berharap banyak jajaran atas maskapai—terutama yang perempuan—akan memberikan dukungan penuh padanya. Dia tahu, di atas sana mereka juga saling sikut dan saling sikat. Jadi, dia harus merayap di bawah, membangun simpati dari para pegawai.

“Hmm, berapa persen untukku, Ibrahim?”

“Tidak sampai sepuluh persen, Nyonya.”

Mulan meremas gantungan tasnya. Ibrahim bukannya tidak menangkap gerakan tubuh wanita jelita di sampingnya. Dadanya berdegup, nampak jelas di wajahnya yang mulai agak panik, dengan keringat mulai bermunculan di dahinya. Namun dia berusaha menenangkan diri.

“Kau tidak pernah membawa berita buruk padaku, Ib. Ya kan?”

“Benar, Nyonya,” ucap Ibrahim sedikit gugup.

“Lalu, kenapa kau berani datang ke sini....”

Ibrahim mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan memberikannya pada Mulan, setelah sebelumnya memutar sebuah video. Mulan menarik ponsel itu dari tangan Ibrahim dengan kasar. Ibrahim hanya menunduk saja.

“Kenapa video ini bisa ada padamu? Apa semua dewan direksi...

“Video itu membuat prosentase nyonya naik. Sekarang menjadi 35 %.”

Mulan memutar badannya, menatap Ibrahim tak percaya.

“Kenapa? Why? Jangan katakan kalau ini semua karena...” Mulan mendelik tak percaya, dadanya nyaris meledak mendengar prosentase yang disebut Ibrahim.

“Pesawat kita bukan benda mainan, Nyonya. Ada banyak nyawa di dalamnya di setiap penerbangan. Kami tidak mau dipimpin...”

“Aku mengerti. Kau boleh pergi, Ibrahim.”

Ibrahim bangkit dari bangkunya, merapikan jas, sedikit membungkuk pada Mulan lalu detak sepatunya menjauh. Meninggalkan Mulan tersenyum, lebih tepatnya tertawa tertahan.

“Besok pagi jam 9, Ib. Kau tahu aku selalu memberi harga pantas untuk sebuah informasi.”

Ibrahim membalikkan badan dan menyungging senyum. Dipindainya ujung rambut Mulan sampai ujung kaki. Wanita itu menggoyangkan kakinya yang sedang bertumpu, dan Ibrahim sudah mengerti apa maksudnya.

Mulan tertawa kecil ketika Ibrahim membuka pintu kaca dan melangkah keluar. Dia tidak menyangka, jalan itu terbuka begitu mudah baginya. Selama ini, dia mengira semua yang dia lakukan untuk Reynand adalah untuk tidak memberinya tempat. Tapi dampaknya ternyata lebih hebat lagi. Seolah menjentikkan jari dan semua impiannya terwujud seketika. Meski memerlukan 13 tahun, Mulan tidak merasa sia-sia.

“Mama....”

Mulan terkejut mendapati Reynand sudah berdiri di sampingnya. Diliriknya pintu kaca di depan, dan dia merasa lega mendapati Ibrahim sudah keluar dari ruangan. Lelaki itu sudah terlatih untuk datang dan pergi tanpa seorang pun tahu. Reynand tidak boleh tahu apa yang dia rencanakan bersama Ibrahim. Telinga anak kecil itu lebih panjang. Hal remeh bisa menjadi serius bila keluar dari lidah mungilnya. Apalagi bila yang menafsirkan adalah Papanya. Bagi Ariel, Reynand adalah harta paling berharga daripada Maskapainya.

Di tangannya ada selembar kertas dengan sebuah sketsa wajah. “Halo sayang, hari ini kau melukis apa?” tanya Mulan sembari menatap Reynand lembut.

Seorang lelaki jangkung dengan rambut panjang dikuncir, berdiri di belakang Reynand. Dia meletakkan kedua telapaknya di bahu Reynand, lalu menepuknya perlahan. Gerakan khas bagi pelatih lukis seperti dia, untuk membesarkan hati anak didiknya. Sementara dia menggeleng putus asa ke arah Mulan.

Mulan menautkan alis, segera memahami maksud lelaki itu. Namun, seperti biasa dia tersenyum, dan mengambil kertas milik Reynand. Sebulan ini, Reynand memaksa untuk belajar melukis, dan meminta les piano dan balet sementara dihentikan. Semula Mulan begitu marah, tapi Bramantya memenangkan argument, seperti biasa. Maka jadilah, sebulan ini dia mengubah jadwal pertemuan dengan komunitas sosialitanya, dan terpuruk setiap hari di Galery lukis. Tapi, kali ini, dia merasa pengorbanannya sangat layak, untuk sebuah prosentase baru. 35 %.

“Jadi kau menggambar ....”

“Aku... aku... “ sahut Reynand terbata, sembari menelan ludah.

“Ini? Kau menggambar dirimu sendiri? Ini keren sekali,” ucap Mulan, nyaris histeris, “Mama akan memajangnya di kamarmu, dengan pigura berukir. Akan mama pesankan sebentar lagi.”

“Apa lukisanku bagus, Ma?”

“Kamu memang luar biasa. Ayo kita pulang. Sebelumnya kita ke salon dulu ya? Sudah seminggu kau sibuk berlatih melukis. Saatnya perawatan. Lihat, bintik-bintik hitam mulai muncul di hidungmu. Kau pasti lupa lagi, selesai melukis, jangan mengusap wajah dengan tangan sebelum cuci tangan.”

Reynand hanya diam ketika Mamanya memindai wajahnya. Menyentuh kedua pipinya dan menolehkan wajahnya ke sana kemari, demi memindai semua lekuk wajahnya. Jangan sampai ada noda di sana.

Di dalam mobil yang dikendarai Darmaji, Mama kelihatan begitu senang dengan hasil lukisan Reynand. Dia berkali-kali menatap lukisan itu, membentangkannya dan tersenyum berkali-kali.

“Mama akan memajangnya di kamarmu, supaya kamu bisa melihatnya setiap saat. Kamu memang hebat, Rey. Akan mama datangkan pelukis dari Milan, untuk khusus melatihmu. Bagaimana?”

Rey menatap Mamanya. Mama kelihatan berbeda hari ini. Dia memang selalu senang dengan semua pencapaian hasil les Rey. Les piano, les balet, les bahasa Inggris, les akting, les vokal. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak hanya senang. Dia luar biasa senang, seolah-olah kembang api meledak-ledak di dadanya.

Rey ingat bagaimana Mama menolak keras keinginannya les melukis, hingga kedua orang tuanya bertengkar. Rey tidak bisa membayangkan bila besok dia menyampaikan kalau sudah tidak ingin melukis lagi. Karena dia berhasil melukis wajah itu. Wajah yang tidak bisa dilupakannya.

 

 

Hud

Kulkas mendengung untuk ketiga kali. Dan kali ini lebih lama dari sebelumnya.

Reynand menghentikan jemarinya yang menari di atas keyboard laptop. Pasti ada yang terlupa lagi menutup pintu kulkas. Reynand melirik ke arah pintu kamarnya yang separuh terbuka. Selasar di luar tampak lebih gelap karena cahaya dari kamar Reynand begitu benderang. Hud, teman sekamarnya sering memprotes Reynand bila dia begadang lewat jam 12 malam. Karena Hud tidak bisa tidur dengan lampu benderang. Untunglah malam ini, saat Reynand dikejar deadline tugas mata kuliah Matematikanya, Hud berangkat naik gunung sejak lima hari yang lalu.

Perlahan Reynand menggeser kursinya, melepas kacamata dan menggosok kedua matanyanya yang mulai lelah. Setengah malas dia melangkah keluar kamar. Dia tidak bisa menyelesaikan tugas dengan dengung kulkas yang menggema di selasar. Hening akan membuatnya lebih berkonsentrasi.

Benar saja, di ujung selasar, tampak cahaya oranye dari kulkas. Tujuh pintu kamar semua tertutup rapat. Juga pintu kamar mandi yang terletak di sebelah kulkas. Reynand perlahan berjalan menuju kulkas. Pasti ini ulah Faris. Sepertinya semua tuduhan tentang kulkas terbuka, kran yang tidak ditutup, gerbang depan yang terbuka semalaman, selalu mengarah ke dia. Dan dia tak pernah menyangkal. Dia mengaku kalau dia ceroboh.

Tapi, bukankah Faris mudik sejak Jum’at ? Dia akan muncul Senin pagi. Di hari malam minggu seperti ini, Reynand lebih sering sendiri di tempat kost. Lebih dari separuh penghuninya selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus atau organisasi lainnya. Hanya Reynand, mahasiswa yang duduk manis sembari memetik gitar, atau bermain piano.

Kulkas masih mendengung ketika Reynand sudah menutupnya. Mungkin beberapa menit kemudian, suasana akan kembali hening, dan Reynand bisa menyelesaikan tugasnya sebelum jam 2. Matanya sudah berat.

“Lan? Kamu di situ?”

Reynand bergeming, tanpa memutar tubuhnya dari hadapan kulkas. Suara itu, berat tapi serak. Kalau tidak salah, itu suara Hud. Tapi, yang memanggil Lan padanya hanya satu orang. Andra.

“Andra?” tanya Reynand perlahan sembari membalikkan badannya.

Gestur ceking berdiri di depan pintu kamar Reynand yang terbuka. Cahaya benderang menerpa gestur itu. Berjaket kulit coklat dan bercelana jeans. Dia memakai topi pet bertuliskan Nike. Reynand berusaha mempercepat memorinya bekerja, mengingat siapa lelaki yang berdiri di depan kamarnya. Sementara langkahnya mendekat perlahan, memastikan bahwa lelaki itu mengenalnya dan dikenalnya.

Jaket kulit coklat itu identik dengan dosennya, Pak Nolan. Dia gemuk dan tambun. Topi Nike? Itu Milik Faris.

“Lan? Kamu baik-baik saja?” tanya gestur itu ketika Reynand sudah mendekat. Suaranya ramah dan hangat. Dan, ada nada khawatir yang berusaha ditekan.

Reynand menunduk dan memejamkan matanya sekejap. Hud. Itu suara Hud.

Saat langkahnya berhenti satu meter di depan lelaki itu, Reynand mengangkat wajahnya dan melihat wajah asing di hadapannya. Lelaki itu tersenyum.

“Kau tidak mengingatku?” tanyanya ramah.

“Hud. Cepat sekali kau datang.” Ucap Reynand, sedikti ragu. Hud berangkat naik gunung dengan membawa ransel besar, bahkan Reynand bisa masuk ke dalamnya. Tidak mungkin dia meninggalkan ranselnya di gunung.

Lelaki yang dipanggil Hud terbahak. Menepuk-nepuk kedua bahu Reynand, lalu pipi kanan Reynand.

“Aku tidak bisa mengelabuimu ya? Jaket kulit dosen killermu, topi Faris yang ketinggalan di pintu gerbang, dan Lan ? Hahaha....”

“Nice ....” sahut Reynand tersenyum pendek, lalu  melangkah ke dalam kamar. Kesal

Hud melemparkan tubuhnya di ranjangnya, melempar topi Milik Faris ke lantai.

“Jadi, kau masih mengandalkan suara untuk mengenali orang? Kau harus lebih giat berlatih, Rey. Karena, aku mengubah panggilan saja kau sudah mengira aku Andra kan?”

Reynand mendengus di hadapan laptopnya. Berusaha mengumpulkan kembali konsentrasinya.

“Bangunkan aku sebelum subuh ya, mudah-mudahan kau mengingatku. Oia, please lampunya...”

Reynand memutar tubuhnya dan menatap tubuh Hud. Dia sudah mendengkur, meski lampu belum dimatikan. Mendaki gunung memang lebih melelahkan dari bermain gitar. Mata Reynand tertumpu pada ransel besar di tepi ranjang Hud, tepat di bawah gitar kesayangannya tergantung.

Hud memang sengaja mengerjainya. Dia sudah datang dan masuk kamar, lalu berakting seolah-olah baru datang. Pasti dia yang membuka kulkas dan membiarkannya mendengung

OoO

Hari beranjak sore, tetapi Hud belum juga beranjak dari ranjangnya. Sepertinya dia berniat hibernasi setelah turun gunung. Reynand hanya membangunkannya menjelang dhuhur. Hud tidak berangkat ke mesjid untuk sholat berjamaah seperti biasanya.

“Hud .... kau bisa mengantarku kan?”

Reynand duduk di tepi ranjang Hud, dan menatap punggung Hud yang bergerak naik turun. Dia masih terlelap. Reynand menggoyangnya sebentar, dan Hud sepertinya bereaksi.

“Hud?”

“Mmmm....”

“Kau bisa mengantarku? Kau sudah janji.”

“Ke mana?”

“Ke rumah.”

Hud membalik badannya, masih dengan mata terpejam.

“Kau tidak berani?”

Reynand mendesah panjang.

“Aku hanya perlu teman untuk menahan emosiku saja.”

“Memangnya apa yang akan terjadi? Kau tidak akan mendapat warisan sepeserpun?”

“Aku tidak peduli itu. Selama hidupnya, Papa sudah memberiku banyak. Aku tidak menghendaki warisannya. Aku tidak akan bisa mengurus perusahaannya.”

Hud membuka sebelah matanya, “Kalau begitu, tidak usah pulang. Beres.”

Reynand menyisir rambut dengan jemarinya. Dia kelihatan begitu gundah. Hud sangat mengenal teman sakamarnya itu. Hud tidak bisa membayangkan bila rambut sebahu Reynand harus dipotong cepak, pasti dia panik tingkat lanjut. Rambut sebahunya adalah sandaran hatinya saat dia sedang galau.

“Aku juga perlu teman untuk mengangkut beberapa barang dari sana.”

“Kau mau pindah ke mana?”

“Ke sini.”

Hud perlahan bangkit dari ranjangnya, “Kau tidak bisa selamanya tinggal di sini, Rey. Lagipula, aku tidak yakin kamar ini bisa memuat semua barang-barangmu. Kita di sini kost, Rey. Banyak aturan yang harus kita taati sebagai anak kost yang baik hati dan tidak sombong.”

“Papa sudah membayar kost di sini untuk lima tahun. Bahkan waktu itu dia berniat membeli tempat kost ini, hanya karena aku bilang kalau aku suka tempat ini.”

Hud akhirnya berdiri tegak dan meregangkan tubuhnya. Terdengar gemeletak sendi-sendi tulangnya ketika dia melakukan beberaga gerakan streching. Reynand hanya mengamati Hud. Tubuh kekar Hud, jauh berbeda dengan tubuh kerempengnya. Melakukan streching seperti itu justru akan membuat badannya sakit semua.

Sejurus kemudian Hud melakukan push up, sampai lima puluh kali. Setelah itu squad jam. Dan entah gerakan apa lagi. Reynand sampai bosan melihatnya, lalu meraih gitarnya.

Hud sontak berhenti dan berkacak pinggang di hadapan Reynand, “Aku antar sebelum maghrib. Tapi kuharap kau tidak membawa pianomu ke sini. Kau tahu, kita sepakat tidak ada musik di antara kita. Gitarmu saja sudah membuat aku pusing. Lagipula, tidak ada tempat untuk piano sebesar angkot di tempat kost ini. “

Reynand menahan jemarinya memetik senar gitar yang sudah memanggilnya. Ya, ia ingat perjanjian dengan Hud, sehari setelah dia memasuki kamar kost ini. Perjanjian di antara mereka sepertinya banyak sekali. Kadang Reynand tidak bisa mengingatnya saking banyaknya. Yang jelas, Reynand bisa melakukan apa saja bila Hud tidak ada di kamar. Demikian juga Hud. Hud berjanji untuk tidak membaca Al-Qur’an dengan bersuara bila ada Reynand di dalam kamar.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!