Kulkas mendengung untuk ketiga kali. Dan kali ini lebih lama dari sebelumnya.
Reynand menghentikan jemarinya yang menari di atas keyboard laptop. Pasti ada yang terlupa lagi menutup pintu kulkas. Reynand melirik ke arah pintu kamarnya yang separuh terbuka. Selasar di luar tampak lebih gelap karena cahaya dari kamar Reynand begitu benderang. Hud, teman sekamarnya sering memprotes Reynand bila dia begadang lewat jam 12 malam. Karena Hud tidak bisa tidur dengan lampu benderang. Untunglah malam ini, saat Reynand dikejar deadline tugas mata kuliah Matematikanya, Hud berangkat naik gunung sejak lima hari yang lalu.
Perlahan Reynand menggeser kursinya, melepas kacamata dan menggosok kedua matanyanya yang mulai lelah. Setengah malas dia melangkah keluar kamar. Dia tidak bisa menyelesaikan tugas dengan dengung kulkas yang menggema di selasar. Hening akan membuatnya lebih berkonsentrasi.
Benar saja, di ujung selasar, tampak cahaya oranye dari kulkas. Tujuh pintu kamar semua tertutup rapat. Juga pintu kamar mandi yang terletak di sebelah kulkas. Reynand perlahan berjalan menuju kulkas. Pasti ini ulah Faris. Sepertinya semua tuduhan tentang kulkas terbuka, kran yang tidak ditutup, gerbang depan yang terbuka semalaman, selalu mengarah ke dia. Dan dia tak pernah menyangkal. Dia mengaku kalau dia ceroboh.
Tapi, bukankah Faris mudik sejak Jum’at ? Dia akan muncul Senin pagi. Di hari malam minggu seperti ini, Reynand lebih sering sendiri di tempat kost. Lebih dari separuh penghuninya selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus atau organisasi lainnya. Hanya Reynand, mahasiswa yang duduk manis sembari memetik gitar, atau bermain piano.
Kulkas masih mendengung ketika Reynand sudah menutupnya. Mungkin beberapa menit kemudian, suasana akan kembali hening, dan Reynand bisa menyelesaikan tugasnya sebelum jam 2. Matanya sudah berat.
“Lan? Kamu di situ?”
Reynand bergeming, tanpa memutar tubuhnya dari hadapan kulkas. Suara itu, berat tapi serak. Kalau tidak salah, itu suara Hud. Tapi, yang memanggil Lan padanya hanya satu orang. Andra.
“Andra?” tanya Reynand perlahan sembari membalikkan badannya.
Gestur ceking berdiri di depan pintu kamar Reynand yang terbuka. Cahaya benderang menerpa gestur itu. Berjaket kulit coklat dan bercelana jeans. Dia memakai topi pet bertuliskan Nike. Reynand berusaha mempercepat memorinya bekerja, mengingat siapa lelaki yang berdiri di depan kamarnya. Sementara langkahnya mendekat perlahan, memastikan bahwa lelaki itu mengenalnya dan dikenalnya.
Jaket kulit coklat itu identik dengan dosennya, Pak Nolan. Dia gemuk dan tambun. Topi Nike? Itu Milik Faris.
“Lan? Kamu baik-baik saja?” tanya gestur itu ketika Reynand sudah mendekat. Suaranya ramah dan hangat. Dan, ada nada khawatir yang berusaha ditekan.
Reynand menunduk dan memejamkan matanya sekejap. Hud. Itu suara Hud.
Saat langkahnya berhenti satu meter di depan lelaki itu, Reynand mengangkat wajahnya dan melihat wajah asing di hadapannya. Lelaki itu tersenyum.
“Kau tidak mengingatku?” tanyanya ramah.
“Hud. Cepat sekali kau datang.” Ucap Reynand, sedikti ragu. Hud berangkat naik gunung dengan membawa ransel besar, bahkan Reynand bisa masuk ke dalamnya. Tidak mungkin dia meninggalkan ranselnya di gunung.
Lelaki yang dipanggil Hud terbahak. Menepuk-nepuk kedua bahu Reynand, lalu pipi kanan Reynand.
“Aku tidak bisa mengelabuimu ya? Jaket kulit dosen killermu, topi Faris yang ketinggalan di pintu gerbang, dan Lan ? Hahaha....”
“Nice ....” sahut Reynand tersenyum pendek, lalu melangkah ke dalam kamar. Kesal
Hud melemparkan tubuhnya di ranjangnya, melempar topi Milik Faris ke lantai.
“Jadi, kau masih mengandalkan suara untuk mengenali orang? Kau harus lebih giat berlatih, Rey. Karena, aku mengubah panggilan saja kau sudah mengira aku Andra kan?”
Reynand mendengus di hadapan laptopnya. Berusaha mengumpulkan kembali konsentrasinya.
“Bangunkan aku sebelum subuh ya, mudah-mudahan kau mengingatku. Oia, please lampunya...”
Reynand memutar tubuhnya dan menatap tubuh Hud. Dia sudah mendengkur, meski lampu belum dimatikan. Mendaki gunung memang lebih melelahkan dari bermain gitar. Mata Reynand tertumpu pada ransel besar di tepi ranjang Hud, tepat di bawah gitar kesayangannya tergantung.
Hud memang sengaja mengerjainya. Dia sudah datang dan masuk kamar, lalu berakting seolah-olah baru datang. Pasti dia yang membuka kulkas dan membiarkannya mendengung
OoO
Hari beranjak sore, tetapi Hud belum juga beranjak dari ranjangnya. Sepertinya dia berniat hibernasi setelah turun gunung. Reynand hanya membangunkannya menjelang dhuhur. Hud tidak berangkat ke mesjid untuk sholat berjamaah seperti biasanya.
“Hud .... kau bisa mengantarku kan?”
Reynand duduk di tepi ranjang Hud, dan menatap punggung Hud yang bergerak naik turun. Dia masih terlelap. Reynand menggoyangnya sebentar, dan Hud sepertinya bereaksi.
“Hud?”
“Mmmm....”
“Kau bisa mengantarku? Kau sudah janji.”
“Ke mana?”
“Ke rumah.”
Hud membalik badannya, masih dengan mata terpejam.
“Kau tidak berani?”
Reynand mendesah panjang.
“Aku hanya perlu teman untuk menahan emosiku saja.”
“Memangnya apa yang akan terjadi? Kau tidak akan mendapat warisan sepeserpun?”
“Aku tidak peduli itu. Selama hidupnya, Papa sudah memberiku banyak. Aku tidak menghendaki warisannya. Aku tidak akan bisa mengurus perusahaannya.”
Hud membuka sebelah matanya, “Kalau begitu, tidak usah pulang. Beres.”
Reynand menyisir rambut dengan jemarinya. Dia kelihatan begitu gundah. Hud sangat mengenal teman sakamarnya itu. Hud tidak bisa membayangkan bila rambut sebahu Reynand harus dipotong cepak, pasti dia panik tingkat lanjut. Rambut sebahunya adalah sandaran hatinya saat dia sedang galau.
“Aku juga perlu teman untuk mengangkut beberapa barang dari sana.”
“Kau mau pindah ke mana?”
“Ke sini.”
Hud perlahan bangkit dari ranjangnya, “Kau tidak bisa selamanya tinggal di sini, Rey. Lagipula, aku tidak yakin kamar ini bisa memuat semua barang-barangmu. Kita di sini kost, Rey. Banyak aturan yang harus kita taati sebagai anak kost yang baik hati dan tidak sombong.”
“Papa sudah membayar kost di sini untuk lima tahun. Bahkan waktu itu dia berniat membeli tempat kost ini, hanya karena aku bilang kalau aku suka tempat ini.”
Hud akhirnya berdiri tegak dan meregangkan tubuhnya. Terdengar gemeletak sendi-sendi tulangnya ketika dia melakukan beberaga gerakan streching. Reynand hanya mengamati Hud. Tubuh kekar Hud, jauh berbeda dengan tubuh kerempengnya. Melakukan streching seperti itu justru akan membuat badannya sakit semua.
Sejurus kemudian Hud melakukan push up, sampai lima puluh kali. Setelah itu squad jam. Dan entah gerakan apa lagi. Reynand sampai bosan melihatnya, lalu meraih gitarnya.
Hud sontak berhenti dan berkacak pinggang di hadapan Reynand, “Aku antar sebelum maghrib. Tapi kuharap kau tidak membawa pianomu ke sini. Kau tahu, kita sepakat tidak ada musik di antara kita. Gitarmu saja sudah membuat aku pusing. Lagipula, tidak ada tempat untuk piano sebesar angkot di tempat kost ini. “
Reynand menahan jemarinya memetik senar gitar yang sudah memanggilnya. Ya, ia ingat perjanjian dengan Hud, sehari setelah dia memasuki kamar kost ini. Perjanjian di antara mereka sepertinya banyak sekali. Kadang Reynand tidak bisa mengingatnya saking banyaknya. Yang jelas, Reynand bisa melakukan apa saja bila Hud tidak ada di kamar. Demikian juga Hud. Hud berjanji untuk tidak membaca Al-Qur’an dengan bersuara bila ada Reynand di dalam kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Mustap Ibrahim
hem
2020-06-18
0
Mustap Ibrahim
yeh
2020-06-13
0
Tuvet walker
mampir
2020-06-03
0