Sayap Patah Si Gendut
~Katanya mimpi adalah bunga tidur, lantas jika mimpiku jadi kenyataan, apa namanya?~
“Syukuri apa yang ada pada dirimu, jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Bahagia tidaknya dirimu, bergantung pada hatimu … dirimu sendiri, bukan orang lain.” Lelaki kecil itu tiba-tiba menghilang berganti wujud menjadi laki-laki yang memiliki badan tinggi, tegap namun terlihat samar di bagian mukanya. Gelap-hilang.
Brak … brak … .
“Hihihihi, rasain deh … !”
“Ckckck, mangkannya badannya melar gituh doyan molor, sih.”
“Wkwkwkwk.”
Suara gebrakan di atas meja disusul suara cekikikan yang saling bersahutan, mengejutkan seorang gadis yang sedang menelungkupkan kepalanya, gadis itu tertidur saat pergantian jam, tapi nahasnya … saat guru dijam ke-2 masuk, tak ada satu pun teman sekelas yang membangunkannya.
“Kiyara Mentari … keluar dari kelas Bapak, cuci muka terus ke ruang guru ambil buku PR yang kemarin di atas meja Bapak ...!”
Ya, gadis bertubuh gendut itu … bernama Kiyara Mentari, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya 17 tahun yang lalu, dengan harapan anaknya akan secerah dan sehangat mentari pagi. Tapi, sayang … nama, tinggalah nama karena Kiyara merupakan seorang gadis pemurung, tidak mudah bergaul, dan pemalu.
“Kiyara, cepat berdiri … !”
Kiyara masih menundukan pandangannya, dia malu … malu sekali bahkan, dua tahun berada di tingkat SMA, baru kali ini dia melakukan hal konyol seperti ini. “Ba-baik, Pak.”
Suara tawa dan bisik-bisik kata hujatan terdengar menemani langkah kaki Kiyara. “Ya Tuhan … mimpi itu lagi dan kenapa harus saat tertidur di kelas … !”
Kiyara menatap cermin di hadapannya, memandang wajah bulatnya yang benar-benar terlihat seperti orang yang baru bangun tidur, ah, untung saja tidak ada anak sungai mengalir dari bibir tipisnya itu. Ini kali kesekian dia bermimpi tentang bocah laki-laki yang sudah hampir 8 tahun dia cari, teman masa kecil yang selalu mengulurkan tangannya saat dunia seolah menjaga jarak padanya.
“Hai, Ki … kamu kenapa sedih gitu ?” Tanya seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam toilet.
“Eh … emh, anu lagi cuci muka aja,” jawab Kiyara, yang kini sudah menundukkan kepalanya. Insecure, yang ada pada dirinya mungkin sudah pada tingkat tertinggi, sehingga pada siapa pun dia merasa minder.
“Heeeyyy … santai saja, Ki. Bukankah kita berteman? Aku gadis yang beberapa waktu lalu kamu tolong saat kecopetan di bus. Maaf waktu itu aku belum mengenalkan diri, namaku Fani.” Gadis itu mengulurkan tangannya, dengan ragu Kiyara menerima uluran tangan gadis di depannya.
“Aku, Kiyara.”
“Hahaha … kamu lucu juga ternyata ya, Ki. Aku udah tahu kok siapa namamu, aku dari kelas MIA 3 sebelah kelasmu, sesekali keluarlah kelas dan berbaur dengan teman seangkatan yang lain, semua orang tahu siapa kamu tapi kamu tidak tahu siapa mereka.”
Kiyara, diam … menatap dalam mata bernetra hitam di hadapannya itu. “Kamu tidak tahu perundungan yang aku terima, lalu untuk apa aku mengetahui nama mereka? Apa agar aku mengingat nama orang-orang yang selalu membullyiku?” bisiknya dalam hati, ah… Kiyara memang gadis misterius yang sulit sekali ditebak.
“Terima kasih sudah menyapaku, aku pergi ke ruang guru dulu.”
Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Kiyara keluar dari toilet lalu mempercepat langkahnya agar cepat sampai ke ruang guru.
Bruk ….
“Awww …!” Kiyara meringis, bahu kirinya yang tertabrak seseorang membuat bahu kanannya menabrak pinggiran papan mading dan sialnya ada paku kecil yang berhasil menggores bahu kanannya.
“Sorry, kamu nggak apa?” suara berat laki-laki yang berdiri di sampingnya, menyapa lembut gendang telinga Kiyara.
Kiyara, masih terdiam … matanya menatap gantungan kunci ‘A’ yang tak asing, mengabaikan rasa perih yang mulai menjalar di bahunya.
“Kamu berdarah …!”
Kiyara menggelengkan kepalanya menepis lamunan diwaktu yang salah, rambut hitam sebahunya bergoyang mengikuti gerak kepalanya. “Tidak masalah,” ucapnya sembari terus menatap gantungan kunci yang menyita perhatiannya sedari tadi.
“Ayo, aku antar ke UKS dulu,” ajak laki-laki yang masih berdiri tegak di hadapannya.
“Ti-tidak usah, aku harus ke ruang guru.” Kaki gendutnya ia ayunkan sedikit cepat, meninggalkan laki-laki yang baru saja menabraknya.
“Heiii … aku mau minta tolong … !”
Kiyara, sama sekali tak menghiraukan teriakan laki-laki asing itu, malah mempercepat langkahnya agar segera sampai ke ruang guru, mengambil tumpukkan buku PR yang mungkin akan membuatnya kesulitan jika membawanya seorang diri.
“Assalamu’alaikum … ,” ucap Kiyara, saat dirinya sudah berada di depan pintu ruang guru.
“Wa’alaikumsalam,” ucap guru piket di balik meja kerjanya.
“Selamat pagi, Bu Ziza … saya mau ambil buku di mejanya Pak Rusdi.”
“Ya, silakan langsung diambil saja,” jawab Bu Ziza.
“Baik, Bu.”
“Eh, kamu yang berdiri di pintu …!” ucap Bu Ziza, membuat Kiyara menghentikan kakinya yang hendak melangkah menuju meja Pak Rusdi dan mengalihkan pandangannya menuju pintu masuk.
“Saya, Bu?” tanya laki-laki yang tadi menabrak Kiyara sembari menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, kamu … siapa lagi?” Kata Bu Ziza, laki-laki itu pun berjalan mendekat menuju meja piket. Kiyara yang masih berdiri di dekat meja piket pun segera berlalu menuju meja Pak Rusdi.
“Kamu, anak baru itu kan? Pindahan dari Surabaya?” tanya Bu Ziza dengan suara yang masih bisa didengar oleh Kiyara, yang diam-diam mencuri dengar dari tempatnya berdiri.
“Iya, Bu. Saya Cakra Agamsyah, pindahan dari SMAN 5 Surabaya, maaf saya baru saja tiba di Bandung tadi pagi pukul 07.30 jadinya baru bisa ikut mata pelajaran ke-2.”
“Agamsyah? Apa dia Agam, yang sama?” bisik Kiyara dalam hati. “Mending aku segera membawa tumpukan buku ini,” sambungnya lagi.
Kiyara sudah membawa tumpukan buku, yang tingginya sudah hampir mencapai hidung mancungnya. Langkahnya jauh lebih hati-hati takut menabrak sesuatu sehingga merugikan dirinya sendiri, buku tercecer misalnya.
“Kamu masuk ke kelas XI MIA 2 kan, Cakra?” tanya Bu Ziza, membuat langkah Kiyara berhenti seketika.
“Ya ampun, itu kelasku,” monolog Kiyara dalam hati.
“Iya, Bu. XI MIA 2.”
“Nah, kebetulan banget … kamu ikut Kiyara, dia kelas XI MIA 2 juga. Kiyara, kamu tolongin Cakra, ya … !” ucap Bu Ziza.
“Ba-baik, Bu … saya permisi terima kasih, Wassalamu’alaikum …”
Tanpa kata, Kiyara lalu melewati tubuh tinggi Cakra begitu saja … tapi, tangan Cakra sudah lebih dulu memegang bahu kiri Kiyara.
“Sini, aku bantuin.” Tangan kekar milik Cakra hampir mengambil seluruh tumpukan buku di tangan Kiyara.
“Jangan diambil semua, kan aku yang disuruh Pak Rusdi bukan kamu.”
“Nggak masalah, kan tanganmu luka.”
“Ya udah, ayo,” ucap Kiyara, lalu berjalan mendahului Cakra.
“Aku kayak nggak asing deh sama kamu,” kata Cakra, membuat langkah Kiyara berhenti.
“Agam, mau jaga Ala sampai tua,” sambung Cakra dengan mata yang tak pernah lepas dari sosok wanita bertubuh gempal di hadapannya.
Mata bernetra coklat pekat milik Kiyara membeliak seketika, ingatannya berkelana menyusuri setiap kejadian 8 tahun yang lalu serta mimpinya tadi. “Apa dia sosok tinggi tegap yang ada dalam mimpiku tadi? Agam … Agam, sahabatku?” ucap Kiyara dalam hati, sembari menatap lekat lelaki tinggi yang kini sudah berada di hadapannya itu.
“A-apa kamu, A---.”
“Heh, Adik Kelas tergendut … tumben mau jalan bareng cowok … !” ucap laki-laki tinggi dengan paras kebarat-baratan menyentak gendang telinga Kiyara.
“Ya … Tuhan dia selalu mengganggu disaat yang nggak tepat, dasar bule gadungan,” kata Kiyara dalam hati.
Kiyara mencoba tak peduli, dia melangkahkan kembali kaki gendutnya menuju ruang kelas, diikuti laki-laki berparas manis dengan lesung pipi yang tampak menggoda saat bibirnya memamerkan seulas senyum, mengabaikan laki-laki blasteran yang menatapnya tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Megumi
baru mampir.
Biasanya kalo cowok hobi gangguin cewek itu cuma caper, padahal mah naksir
2022-09-22
0
MA¹²queen
hai kak aku ma¹² mampir kenovel, jangan lupa mampir kenovel ku ya kak,, sukses selalu🤗🤗🥰
2022-07-07
1
🐾COCO🐾
mampir baca thor..
2022-04-22
0